Sesak ....
Dada bergemuruh dan ingin marah pada diri sendiri.Ragaku beranjak, membuka setiap laci yang ada dilemari. Mengeluarkan semua benda dengan hati yang berkecamuk, sampai manik menemukan benda yang aku cari.Album foto, dengan sampul yang sudah pudar warnanya. Satu demi satu kutoleh semua gambar yang ada didalamnya. Tangan berhenti tergerak, saat menemukan gambar aku dan Fiona dimasa lalu.Lagi ... air mataku meluncur bebas, tubuhku bergetar dengan bahu yang terguncang hebat. Kupandangi wajah lamaku yang begitu mirip dengan anak perempuanku itu. Hati menjerit, mengingat masalalu yang begitu berkubang dosa kenistaan.Yah ... dahulu, aku memang sehina itu.Hah ... kurasa, aku tidak pantas dipanggil Ibu olehnya. Ibu nama yang tega, meninggalkan anaknya demi pergi bersama selingkuhnya. Namun, apakah aku bersalah jika ingin bahagia dengan pilihanku sendiri? Meski jalan yang aku tempuh, memang tidak bisa dibenarkan.Pov Yasir.Belakangan ini aku mendapati tingkah aneh saat melihat Ibu, dia benar-benar kaget saat aku melihat gambar didalam foto. Aku pun tak kalah terkejut saat melihat foto itu. Gambarnya sungguh mirip dengan Fiona, tidak mungkin aku salah.Lalu jika ini memang sesuai dugaanku, dari mana Ibu mendapat foto ini. Aku yakin betul, gadis kecil didalam gambar ini adalah istriku. Fiona.Wajah Ibu semakin tegang saat melihat kedatangan Fiona. Isrtiku bahkan sangat perhatian, membawa susu nutrisi tulang untuk Ibu.Fiona menyunggingkan senyum manisnya, langkahnya semakin dekat menuju tempatku berdiri.Aku menoleh pada Ibu, yang wajahnya semakin terlihat pucat pasi. Ibu menggeleng lemah, sorotnya memancar harap padaku."Mas ..." sapa Fiona, langkahnya mendekati ranjang lalu menaruh gelas diatas nakas."Diminum Ibu, mumpung masih hangat."ucap Fiona pada Ibu."I-ya ... makasih, Fi." sahut Ibu, suaran
Pov Yasir.Perlahan jemari meraih album yang sampulnya sudah memudar. Menarik nafas lalu menghelanya dari mulut. Entahlah, ada rasa berdebar saat aku menyentuh album foto ini. Karna dari setiap banyaknya album, baru kali ini aku melihat yang sekusam ini sampulnya.Lembar demi lembar aku amati gambar didalamnya. Semua nampak biasa saja, tidak ada yang aneh. Hanya berisi foto jadul keluarga, gambar masa kecil aku dan Ridwan pun ada disini. Semua terlihat normal.Kutoleh wajah Ibu yang memandang lurus keluar jendela. Tak ada gairah disorot matanya, entah apa yang Ibu fikirkan. Aku kembali menekuni gambar, sampai bagian terakhir tidak ada yang mencurigakan.Eh ... apa ini.Alisku menaut dengan keras.Bukankah ini Fiona kecil, dia sedang dipeluk dengan seorang perempuan. Aku berfikir keras, sesekali mataku menelisik sosok yang ada disamping Fiona itu."Bukankah ini, Ibu ..." gumamku. Aku masih hapal betul wajah
"Gimana, Mas?" tanya Fiona setelah terdiam cukup lama."Ya ... temui saja, siapa tahu ada masalah penting," jawabku setenang mungkin.Biar bagaimana pun, Daniel itu masalalu Fiona. Tentu saja aku tidak nyaman dia datang menemui istriku."Suruh masuk kesini, atau diluar Mas?" Fiona bertanya lagi.Aku terdiam, menimbang ucapannya."Permisi ..." suara laki-laki terdengar dari luar. Aku dan Fiona refleks menoleh kesumber suara. Terlihat Daniel sudah ada di belakang Firman, mengangkat sebelah tangannya dengan senyum canggung."Eh ..." Fiona menatapku, rautnya jelas sekali merasa tak nyaman melihat kehadiran Daniel yang tiba-tiba. Aku mengangguk kearahnya, meyakinkan semua akan baik-baik saja."Masuk, Pak." ucapku pada Daniel.Daniel menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam ruangan.Fiona kembali duduk di kursinya, sedang aku dan Daniel duduk disofa dengan suasana yang cukup canggung.
Suasana hening menyelimuti kami. Fiona terlihat lelah, tubuhnya bersandar di punggung jok mobil. Sesekali dia mengurut keningnya sendiri."Kenapa Fi?" tanyaku, menghapus sunyi. Fiona tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya."Mas ....""Iya sayang?" sahutku lembut."Besok kita pulang ke rumahku ya, Ayah mau pulang ke Desa." terang Fiona."Iya sayang, besok kita pulang." balasku sambil menggenggam tangannya. Fiona tersenyum tipis, dan menggeretkan jemarinya di tanganku.Sesampainya dirumah sudah ada Ibu dan Ridwan diruang televisi. Mereka tengah asik berbincang-bincang."Eh baru pulang, Yas?" sapa Ibu."Iya Bu ..." sahutku."Kak?" sapa Ridwan, sambil menganggukkan kepala pada Fiona."Eh iya, Wan. Putri mana?" tanya Fiona."Lagi dikamar, ngerjain tugas." jawab Ridwan. Fiona menganggukkan kepalanya.Setahuku, Putri memang masih melanjutkan studinya.
"Mas ... aku tidak ingin memaksamu, namun kamu tahu sendirikan. Aku paling tidak suka dibohongi!" Fiona semakin curiga."Jangan sampai aku mencari tahu sendiri, dan pada akhirnya aku kecewa padamu. Aku yakin, hanya perempuan itu yang menyimpan foto ini." sambung Fiona dengan tegas, sorotnya masih saja menghujamku. Membuat aku semakin salah tingkah.Aku menaruh gambar diatas nakas, lalu meremas tangan yang mulai berasa dingin. Aku bingung harus berkata apa. Tatapan Fiona semakin mengintimidasi, baru kali ini aku melihatnya seserius ini.Apa aku harus berterus terang? Bagaimana nasib, Ibu. Fiona pasti membencinya."Mas. .. semua ini ada hubungannya dengan perempuan itu, bukan?" Fiona menudingku."Kamu mengenalnya?" lagi Fiona bertanya."Ada hubungan apa kamu sama perempuan itu?" cecarnya tak sabar.Fiona bahkan memanggil Ibu dengan sebutan perempuan itu. Sungguh tragis sekali.Bismillah ....
Pov Fiona.Menutup pintu toilet dengan hati yang begitu remuk, tubuhku lunglai di baliknya. Kepala terasa berputar hebat, dengan pandangan yang menjadi buram.Bugh ... bugh ... bugh!Memukul dada sekuat tenaga, untuk menyamarkan rasa sesaknya. Kenyataan memang sangat menyakitkan. Siapa yang mengira, aku akan bertemu dengan Ibu kandungku lagi. Dan yang lebih hancur, selama ini dia bersandiwara, berpura menjadi mertua yang baik.Cih! Dasar picik. Egois. Hanya memikirkan dirinya sendiri. Dari dulu tidak pernah berubah. Selalu mementingkan dirinya sendiri. Entah dia anggap apa aku selama ini.Memori ingatan menyeret saat pertama kali aku singgah di rumah ini. Perlakuan Ibu sangat hangat dan penuh kasih sayang, hingga aku merasa nyaman didekatnya.Hah ... mengapa aku begitu bodoh, tak menyadari kejanggalan ini.Perlahan tubuhku bangkit, menyalakan sower dan berdiri dibawahnya. Ribuan tetes air menerjang kepala,
Suasana menjadi hening, Nadia hanya menatapku nanar dengan senyum tipis di bibirnya. Sementara aku, hatiku sangat kesal mengingat perempuan itu."Fi ..." desahnya."Ya?" aku mengangkat kepala."Dalam hidup, terkadang bayak sekali hal-hal yang menyakitkan. Kita di paksa untuk mengerti. Padahal, sebenarnya kita tuh memang tidak tahu apa pun." Nadia menatap hangat."Lo tahu sendirikan, betapa bejatnya Ayah gue. Beberapa kali ketahuan bermain gila. Sampai gue pernah jambak rambut gundiknya di keramaian. Tapi apa? Mamah malah memukul gue. Bisa lo banyangkan betapa kecewanya gue sama dua orang itu," wajah Nadia berubah murung. Masalalu kami memang sama-sama berat, tidak bersahabat."Hal yang paling memuakkan, saat gue tanya alasan kenapa, Mamah masih bertahan? Dia hanya bilang kasian Adik-Adikmu, mereka masih kecil. Ayahmu hanya tersesat nanti juga pasti akan tersadar dan kembali bersama lagi. Sementara Mamah sendiri tidak peduli deng
"Maksud Ayah?" tanyaku dengan alis yang menaut.Apa selama menikah, Ayah bukanlah suami yang baik hingga Ibu memutuskan untuk berselingkuh?Ayah menarik nafas, lalu tersenyum kecut setelahnya."Kami menikah karna perjodohan. Ibumu mencoba patuh pada orangtuanya. Begitupun dengan Ayah. Bisa saja selama menikah Ibumu tidak menyimpan rasa cinta untuk, Ayah. Sehingga dia pergi untuk ..." kalimat Ayah terhenti, nafasnya seolah tercekat di tenggorokan."Untuk ... ya itu, untuk mencari kebahagiaannya sendiri." Ayah tersenyum getir saat menyelesaikan kalimatnya.Dengan cepat Ayah meraih minuman di depannya, lalu meneguknya perlahan."Ayah menerima begitu saja?" tanyaku tak percaya."Yah ... Ayah bisa apa? Biarkan saja. Yang penting ada kamu disisi Ayah. Ayah sudah bahagia," jawab Ayah."Ayah bahagia, meski tidak memiliki pasangan?"Ayah menarik nafas mendengar ucapanku."Mencari pas