Ki Harjo sangat murka, ketika mendengar berita yang kini menimpa keluarga Tukiman, anak satu-satunya dari kakaknya yang kini sudah almarhum itu. Dia merasa gagal menjalankan amanat kakaknya untuk menjaga Tukiman, selayaknya anaknya sendiri.
Dia panggil Mak Siyem dan beberapa warga yang terlibat dalam pengusiran Menik beberapa waktu yang lalu.Bagaimana mungkin dia bisa tidak tahu? Ki Harjo merasa dilangkahi. Lancang sekali mereka yang berbuat demikian kepada Menik? Menik adalah anak yang dia besarkan sendiri dengan tangannya, Menik dan Tukiman adalah amanah yang dititiokan oleh orang-orang terdekatnya kepada dirinya. Namun nyatanya, beberapa waktu terakhir ini, berbagai hal buruk menimpa mereka, dan dirinya bahkan tidak tahu."Apa yang sudah kalian lakukan kepada keponakanku?""Kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan ki. Justru kami tidak ingin desa ini terkena bala karena perbuatan jahat Menik."Hari itu Mak Siyem sengaja pergi berjalan-jalan untuk membeli sesuatu, tanpa sengaja dia melihat Menik yang sedang masuk kedalam warung tempatnya bekerja.muncul rasa was-was dihati Mak Siyem, bagaimana kalau nanti Menik pulang kembali kedesa Sumber bening? bukan hanya Sumini, namun dirinya juga pasti akan terancam. bBgaimana kalau Ki Harjo tahu semua ini hanya akal-akalan nya saja, kalau sampai dia dan anaknya terusir dari kampung itu, mau kemana mereka pergi? Hancur sudah semua rencana yang sudah matang dia rencanakan sejak awal. Terlebih kehidupanya sudah sangat nyaman saat ini. Dengan tergesa, mak Siyem berjalan menghampiri Menik yang masuk ke dalam warung tersebut.Dia melongok ke dalam warung, mencari keberadaan Menik, namun tak juga ketemu, padahal warung ini tak seberapa besar, kemana perginya? Dia sangat yakin matanya tak salah lihat bahwa melihat Menik masuk kedalam warung ini tadi. Mak Siyem sengaja memutari warung makan tersebut, hin
Tukiman merasa begitu senang, saat melihat bayangan Menik yang membelakanginya di dalam kamarnya yang remang-remang dengan cahaya yang hanya berasal dari rembulan yang mengintip dari balik jendela. Tak sabar dia ingin segera memeluk tubuh istrinya. Lelahnya seharian dengan pekerjaan dan pikirannya seketika hilang. Tukiman begitu rindu, saat melihat istrinya menggunakan baju terusan warna kuning bercorak bunga Krisan. Tukiman masih ingat, baju itu dia yang membelikan dengan diam-diam sebagai hadiah ulangtahun pernikahan mereka. Menik terlihat sangat cantik ketika memakai baju itu. Ketika Tukiman merajuk, Menik selalu menggunakan baju itu untuk menyambutnya pulang, lalu menyiapkan masakan kesukaannya. Lalu Tukiman akan kembali luluh, rasa kesalnya memang tidak pernah bisa bertahan lama bila berhadapan dengan Menik. Wanitanya itu selalu bisa mengambil hatinya. Selalu bisa membuatnya jatuh cinta setiap hari. Sekarang Menik ke
Nyi Saminah mendekap erat tas berwarna merah dipangkuannya, wajahnya terlihat begitu cemas. berkali-kali Dia menyuruh pak kusno mempercepat laju andong yang membawa mereka. Namun sayangnya jalanan begitu licin, tadi malam hujan yang begitu deras disertai badai yang bergemuruh mengguyur desa Sumber bening.Jalanan didesa itu masih berupa tanah liat dengan bebatuan yang mencuat diatasnya, pak Kusno kawatir, jika harus memacu kudanya dengan cepat, maka kudanya bisa saja tergelincir dan mengakibatkan andong mereka terguling.Jika dirinya sensiri yang terjatuh tak masalah, namun dia membawa juragannya. Jika terjadi sesuatu, pastinya masalah yang lebih besar akan menantinya. Sebenarnya hari masih begitu pagi, namun nyi Saminah sudah memintanya untuk segera mengantarkan kerumah Tukiman. Nyi Saminah berkata bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan Astutik. Cucunya itu sangat takut dengan petir, biasanya ketika badai petir seperti semala
Menik tidak bisa tidur dengan nyenyak. Didalam kepalanya masih terngiang ucapan mak Siyem tempo hari. "Benarkah suami dan anak-anakku sudah melupakanku? Benarkah mereka sudah hidup bahagia tanpaku? Benarkah posisiku dihati mereka sudah tergeser oleh mbak Sumini? Buktinya benar mereka tidak mencariku hingga kini!" Hatinya terus ragu dan bertanya-tanya. Hatinya bimbang, dia ingin pulang, namun masih takut akan penolakan. Menik masih begitu trauma dengan masyarakat yang terhasut dan mengusirnya. Bagaimana jika nanti warga mengusirnya kembali, bagaimana jika warga masih terhasut oleh Mak Siyem? Bagaimana jika nanti justru keluarganya sendiri yang tak lagi mengharapkan kedatanganya untuk pulang? Bagaimana jika semua itu terjadi ketika dia belum sampai rumah, bukankah usahanya akan sia-sia. Bagaimana dengan Astutik saat ini? Anak bungsunya itu tidak pernah bisa jauh darinya. Anak itu sering kali susah makan, bisakah m
Pov. SuminiAku menghabiskan masa kecilku tanpa kehadiran seorang bapak disampingku.Dulu ketika aku masih kecil, sering kali aku bertanya kepada emak. "Siapakah bapakku? Kenapa dia tidak pernah pulang? Kenapa emak harus mencari uang sendiri? Kapan bapak bisa pulang dan mengajakku bermain seperti Siti dan bapaknya? Aku juga ingin seperti Siti yang selalu ditemani emaknya dirumah. Aku ingin emak tidak lagi meninggalkanku dirumah sendiri, bukankah bekerja adalah tugas laki-laki?" Dan jawaban emak selalu sama "iya, nanti bapakmu pasti datang jika kamu sudah menjadi orang yang hebat". Maka sejak kecil aku selalu berambisi untuk menjadi orang hebat. Orang hebat menurut pandanganku adalah orang yang pintar dan memiliki banyak uang. Namun sayangnya aku tidak memiliki kesempatan untuk sekolah. Sejujurnya aku sangat ingin. Namun Sekolah bukanlah hal yang mudah bagi anak perempuan yang miskin sepertiku. Dan opsi ke
Semakin hari tubuh Astutik semakin kurus, anak yang dulu terlihat cantik dan menggemaskan dengan pipi chubby itu kini terlihat semakin layu dan pucat. Dulu Astutik adalah anak yang selalu semangat dan ceria, Astutik adalah anak yang periang. Namun kini Astutik berubah menjadu anak yang pemurung. Astutik lebih banyak diam. Astutik yang dulu kritis, dan selalu ingi tahu, berubah mwnjadi anak yang sangat penurut, seolah semangat hidupnya benar-benar telah hilang. Astutik kini seolah bukan dirinya yang dulu. Astutik begitu merindukan ibunya, tidak pernah seharipun dia lalui hidup tanpa harapan agar ibunya segera kembali. Prestasinya di sekolah juga sangat menurun. Tak ada lagi kini sosok yang dulu selalu membawa sepiring pisang goreng kriuk untuknya sebagai teman belajar, disaat dirinya enggan untuk belajar. Ibunya selalu menyemangatinya, menemaninya menyelesaikan tugas, dan membantunya jika mengalami kesulitan. Namun kini, sudah tak
Hari ini Mak Sri sengaja tidak membuka warungnya. Dia ingin menghabiskan waktu untuk menemani Menik mempersiapkan keberangkatannya besok menuju ibu kota. Mak Sri sangat menyayangi Menik seperti anaknya sendiri. Sebenarnya, dengan membiarkan Menik pergi, mak Sri tentu akan sangat merasa kehilangan. Namun dia sadar dia tidak boleh egois. Menik tidak akan punya masa depan jika terus berada disini bersamanya. Menik harus pergi kekota. Menik harus berkembang, Menik harus maju. Menim harus mengambil apa ynag sudah seharusnya menjadi haknya. Hari itu Mak Sri menemani Menik ke toko perhiasan. Menik akan menjual semua perhiasanya yang tersisa. Perhiasan yang saat itu melekat ditubuhnya. Menik harus merelakannya. Walau Menik yakin, hasilnya tak seberapa, tapi Menik harap cukup untuknya jadikan pegangan menuju ibu kota. Walaupun jumlahnya nanti tak seberapa, tapi Menik harap bisa bermanfaat bagi dirinya. Ketika Menik melepas cincin
Sumini merasa gelisah, Sumini masih saja merasa tidak tenang, Sumini merasa takut jika suatu saat Menik kembali pulang. Selama ini Sumini sudah terlanjur nyaman, Sumini sudah merasa memiliki dirumah ini. Sumini tidak mau mengembalikan barang-barang Menik secepatnya, bahkan Tukiman pun sudah mulai luluh kepadanya. Namun sayangnya hanya satu, Sumini tak kunjung hamil juga. Padahal dia sudah melakukan segala usaha, namun semua terasa sia-sia. Setiap bulan ketika dirinya haid, hati Sumini juga merasa sedih. Sumini bahkan sempat merasa gagal sebagai seorang wanita. Setiap hari Sumini selalu merasa ketakutan, terlebih kini hampir semua masyarakat Sumber bening sudah menaruh curiga kepada mereka, bahwa apa yang menimpa Menik waktu itu hanyalah akal-akalan dia dan maknya untuk mengusir Menik dari rumahnya sendiri. Orang-orang mulai menjauhinya seperti dulu lagi. Bahkan kini mereka sudah berani dengan terang-terangan bergunjing didepannya. Sumini menjadi tak tenang walau