“Sebagai ibu, kamu nggak boleh males ngasih ASI anakmu jayak gini. Jadinya cucuku jadi kurus kering gara-gara ibunya nggak bener ngerawat anak!”
“Iya, anak muda jaman sekarang pada males ngerawat bayinya. Jangan andelin susu formula, dong!”
Kalimat pedas itu terus menyembur dari mulut Santika dan juga Fairus ibu mertua dan kakak iparku. Mendengar itu, rasanya ingin sekali menangis sekencang-kencangnya, lelah rasanya sudah bekerja siang malam menjaga bayiku, tetap saja dinilai tidak becus merawat.
Padahal, sudah sekuat tenaga aku menjaga Aghis panggilan anak pertamaku sampai begadang semalaman lantaran bayiku yang masih berusia dua minggu ini terus saja menangis kencang, entah rewel karena apa.
Rumah yang kutinggali dengan mas Marvin, memang lah berdampingan dengan tempat tinggal mertua dan ipar pertamaku. Jadi, memang sudah kebiasaan mereka mengunjungi rumah kami. Apalagi, semenjak aku melahirkan. Pagi, siang, malam ibu mertuaku pasti mengunjungi kami.
Sebenarnya, tidak masalah jika menjenguk. Aku pun senang, rumah jadi tidak sepi mengingat suamiku kerja seharian dan akan pulang saat malam hari. Sayangnya, ibu mertuaku selalu saja memberiku komentar yang kurang mengenakkan hati. Dan itu yang membuatku semakin frustasi.
Rasanya, aku tidak terima saat mereka menilaiku malas memberi ASI ke buah hati.
Akhirnya, aku berusaha membela diri.
“Sebenarnya, sudah saya coba kasih ASI bu, tapi ASIku masih seret jadi terpaksa Aghis dikasih susu formula,” ucapku memelankan suara.
Sayangnya, wajah mereka terlihat tidak mengenakkan memandangku.
“Halah, alasan! Bilang aja males,” sahut Fairus dengan tampang judesnya. Diambilnya paksa bayi yang sedang dalam pangkuanku dan mencoba mengayun-ayunkannya agar bisa tertidur.
“Harga susu formula itu tidak murah! Kamu mau terus-menerus menyusahkan anakku? Kasihan anakku kerja banting tulang dan sekarang kebutuhannya semakin bertambah!” Hardik ibu mertuaku memamerkan tampang tidak suka kepadaku.
Jika sudah begini, aku lebih memilih membisu. Diam seribu Bahasa dan membiarkan mereka berkata sesukanya. Seolah-olah apa yang diucapkan ibu mertua dan juga mbak Fairus adalah perkataan paling benar.
****
Mengertilah, menjadi ibu baru bukanlah hal yang mudah. Apalagi, tinggal satu lingkungan dengan ibu mertua dan ipar yang tidak sebaik di negeri dongeng.
Sebenarnya, aku sudah meminta mas Marvin untuk mengantarku tinggal di rumah orangtuaku saat melahirkan nanti dan meminta orangtuaku untuk membantu merawat sang bayi. Mas Marvin juga mengizinkan, sayangnya adik kandungku juga baru melahirkan tiga minggu yang lalu, lebih cepat satu minggu dariku. Oleh karenanya, aku urung memutuskan tinggal di rumah orangtuaku dan terpaksa menetap di rumah ini.
Jangan salah sangka, rumah yang kutinggali bukan lah rumah warisan dari orangtua suamiku. Bukan, rumah ini adalah tanah yang kubeli dari bonus penjualan yang kudapat dari bos tempatku bekerja. Dan rumah ini berdiri, juga dari gaji yang aku kumpulkan dari kerja kerasku bekerja sebagai seorang marketing produk kosmetik sejak jaman masih perawan.
Setelah kehamilanku menginjak tujuh bulan, Mas Marvin melarangku bekerja dan memilih fokus mengurus anak. Alhasil seluruh kebutuhan rumah semuanya ditanggung oleh suamiku seorang karena aku sudah tidak bergaji lagi.
“Furika, buatkan aku kopi dan mie goreng dong,” pinta suamiku saat tengah asyik berselonjor di depan ruang keluarga.
Aku masih menggendong bayiku yang baru saja tertidur.
“Mas, nanti dulu ya. Biar Aghis pulas dulu nanti aku buatkan,” jawabku mengusap kening anakku dan mengecupnya.
“Sekarang Furika! Aku sudah lapar sekali, sejak pagi kamu tidak melayaniku!” Kata Mas Marvin dengan wajahnya yang mulai cemberut.
Mungkin karena kelelahan kerja seharian, mood suamiku suka berantakan. Apalagi saat ngambek, pasti seperti anak kecil yang tantrum.
“Mas, aku juga belum makan, sebentar ya,” kilahku pelan. Semoga saja ucapanku tidak membuat Mas Marvin semakin marah.
Namun apa yang terjadi? Mas Marvin kerap uring-uringan akhir-akhir ini. Pria itu berdiri dengan wajahnya yang marah.
“Halah! Kelamaan! Aku beli saja di luar,” ucapnya mematikan televisi lalu membuang remotnya di atas sofa dengan asal.
“Kamu memang istri pemalas!” Sungutnya melenggang pergi keluar rumah entah ke mana.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang jika begini. Kemarin, suamiku juga marah karena seragam kerjanya belum kusetrika. Sudah berulang kali kujelaskan, tubuhku belum pulih semenjak melahirkan apalagi jahitan secar juga masih terasa nyeri.
Sayangnya, Mas Marvin masih saja tak paham.
***
“Aghis sayang, tidur ya, Nak. Ini sudah malam,” ujarku lemah lembut kepada bayi yang kugendong.
Sekarang, sudah pukul sepuluh malam. Dan Aghis bayi kesayanganku masih saja menangis entah karena apa. Sudah setengah jam lebih aku menggendongnya, mengayun-ayun berharap Aghis bisa tertidur.
Dan tiba-tiba, Mas Marvin baru saja pulang selepas keluar rumah entah ke mana. Mungkin mencari makan malam. Perutku juga lapar, aku berharap sekali mas Marvin juga membawakan aku makanan untuk kusantap sebelum tidur.
“Mas, dari mana?” tanyaku basa-basi.
Mas Marvin melirik pada bayi yang kugendong, kemudian sibuk membuka ponselnya sembari menduduki sofa.
“Dari Mang Ojak, nyari nasi goreng,” jawabnya tenang.
“Di makan di sana?” tanyaku lagi, berharap Mas Marvin lupa membawa sebungkus nasi goreng yang tertinggal di sepeda motor dan mengambilkannya untukku. Karena, mas Marvin memang pelupa.
“Enggak, dibungkus.” Jawabnya singkat.
Hatiku cukup senang, itu artinya mas Marvin lupa tidak membawa bungkusan nasi goreng itu ke dalam. Dan sebentar lagi akan mengambilnya di sepeda motor dan kami akan memakannya Bersama.
Namun, mas Marvin tetap saja tidak mengubah posisi duduknya dan semakin focus dengan gawainya.
“Mas,” panggilku lirih sambil meringis.
Mas Marvin hanya melirikku sekilas.
“Terus, nasi gorengnya di mana mas?” tanyaku akhirnya. Ternyata, suamiku tak peka juga.
“Oh nasi goreng? Udah abis tadi, Cuma beli dua bungkus buat mas sama ibu, dimakan di rumah ibu,” jelas Mas Marvin
“Tidurlah Furika, Aghis juga sudah pulas, aku tidur dulu ya, besok kerja,” pamitnya lalu berjalan memasuki kamar.Aku hanya melongo. Setengah tidak percaya dengan ucapan mas Marvin. Beli nasi goreng dua bungkus? Dan itu hanya dimakan olehnya dan juga ibu mertua? Bagaimana dengan aku? Apa mas Marvin tidak tahu, bahwa istrinya yang butuh banyak asupan makanan untuk menyusi? Dan malam ini, aku juga belum makan malam.Dengan sedikit nelongso, akhirnya aku hanya bisa diam. Tidak mungkin aku protes dan ngambek dengan sikap suamiku, yang ada malam ini kami akan bertengkar lagi.Aku tidak memasak hari ini, karena seharian Aghis rewel tidak bisa ditinggal, sementara bahan masakan di dapur pun juga sudah habis semua. Hanya ada beras, dan itu pun harus dimasak dulu agar menjadi nasi.Andai saja aku memiliki uang lebih, aku pasti akan memesan makanan juga seperti mas Marvin. Sayangnya, uang di dompetku sudah menipis sementara aku sudah tidak bekerja lagi dan menggantungkannya kepada suamiku.Kuti
“Saya hutang lagi ya mbak, saya butuh banget buah dan sayur – sayur ini,” bisikku kepada mbak Mina, seorang penjual sayuran keliling langganan.Aku tak mau ada orang lain yang mendengar dan menjadikan bahan pergunjingan, apalagi jika kebetulan mertuaku melintas dan tahu bahwa aku sedang ngutang belanja di tukang sayur. Mampuslah aku.“Oh, tenang saja mbak. Ibu menyusui harus rajin makan buah dan sayur biar ASI lancar,” ucapnya dengan senyum jumawa.Hatiku lega mendengarkannya. Setelah seharian sumpek melihat sikap ibu mertua yang selalu menyalahkanku, ada juga orang yang baik kepadaku di lingkungan ini.“Untuk totalannya, akan saya bayar bulan depan, janji deh.” Bisikku lagi.Aku ingin membuktikan perkataan ibu mertua dengan menyajikan masakan enak untuk suamiku dua hari ke depan dari sayur dan buah yang kuhutang barusan, meski pun dengan makanan sederhana sebab Mas Marvin belum memberiku uang belanja untuk minggu ini.Kebetulan Aghis tertidur, akhirnya kuputuskan membeli sayur mayur
Ibu mertua, mbak Iza dan Mas Marvin tidak berkomentar setelah itu, mereka berjalan menuju ruang tamu dan bercengkrama di sana. Tanpa memperdulikan, aku yang merasa ini semua semakin tak adil. Kenapa mereka selalu bersikap seenaknya kepadaku?Tragis. Sehumor inikah hidupku?Kenapa keluarga ini tidak pernah memikirkan perasaanku? Melahirkan bukanlah yang sepele, harusnya mereka menjaga kesehatan jiwa dan ragaku pasca persalinan. Bukannya terus menyalahkan.Mereka meninggalkanku seolah aku lah orang yang melakukan kesalahan fatal dan benar – benar fatal.Pun Mas Marvin, semakin hari tingkahnya semakin susah kupahami. Seolah tidak paham, apa yang seharusnya dilakukan seorang suami setelah istrinya melahirkan. Bukan malah menuntut seperti ini.“Jadi gimana, Dek? Kamu bisa kan pinjemin aku uang? Sebulan lagi akan kubayar.”Samar – samar terdengar suara manja mengalun dari bibir mbak Iza. Rupanya ini alasan wanita itu jauh – jauh mengunjungi kami. Untuk meminjam uang suamiku.Kakak ipar kedu
Aku semakin kesal dengan hasil musyawarah tadi sore, benar – benar Mas Marvin langsung terpengaruh begitu saja dengan ucapan mbak Iza dan ibu mertua. Malam ini, Aghis tidak diperkenankan memakai pampers oleh suamiku, dan apa yang terjadi?Sejak sore dia menangis tak berhenti, sebab risih dengan kain basah yang harus diganti setiap kali bayiku buang air kecil. Tidurnya jadi tak nyenyak dan dia semakin rewel.Aku belum istirahat sejak pagi, ibu Mas Marvin melarangku tidur siang karena ‘pamali’ katanya. Sementara, sore pun aku tidak berani tidur sebab ada mbak iza dan ibu mertua di rumahku. Mereka akan berkomentar yang tidak – tidak jika melihatku tidur sementara, bayiku tidak ada yang menjaga.Sangat miris bukan? Harusnya, setelah melahirkan seorang ibu harus memaksimalkan istirahat. Karena akan mempercepat pemulihan dan juga bisa berpengaruh terhadap derasnya ASI. Tapi mau bagaimana lagi, support sistemku alias mas bojo juga tidak peduli dengan apa yang sedang kualami.“Mas, gantiin ja
"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.“Buat sendiri nggak bisa mas?”Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.Aku mendekat, menduduki kursi rias di samp
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua