Percayalah, menjaga kewarasan sebagai ibu baru bukanlah hal muda! Apalagi nasib Furika yang kelimpungan karena hinaan ipar dan ibu mertua yang selalu memandangnya sebagai 'istri nggak becus". Sementara, Marvin sang suami malah asyik dengan dunianya sendiri dan selalu menuntut kesempurnaan Furika. Tidak sampai di situ, merasa bosan dengan penampilan sang istri yang hanya tampil berdaster, Marvin tergoda buaian sang mantan dan menikah lagi. Bahkan, si ibu mertua mendukung aksi sang putra. Lelah hidup luntang - luntung dengan perlakuan kurang mengenakkan dari keluarga suami, yang menghina bahwa dirinya tidak bisa bekerja dan dipandang rendah karena tidak menghasilkan uang. Furika tidak tinggal diam! Sebagai mantan marketing handal, sekuat tenaga ia ingin membukikan bahwa Furika bukanlah wanita lemah yang bisa seenaknya mereka hina!
Lihat lebih banyak“Sebagai ibu, kamu nggak boleh males ngasih ASI anakmu jayak gini. Jadinya cucuku jadi kurus kering gara-gara ibunya nggak bener ngerawat anak!”
“Iya, anak muda jaman sekarang pada males ngerawat bayinya. Jangan andelin susu formula, dong!”
Kalimat pedas itu terus menyembur dari mulut Santika dan juga Fairus ibu mertua dan kakak iparku. Mendengar itu, rasanya ingin sekali menangis sekencang-kencangnya, lelah rasanya sudah bekerja siang malam menjaga bayiku, tetap saja dinilai tidak becus merawat.
Padahal, sudah sekuat tenaga aku menjaga Aghis panggilan anak pertamaku sampai begadang semalaman lantaran bayiku yang masih berusia dua minggu ini terus saja menangis kencang, entah rewel karena apa.
Rumah yang kutinggali dengan mas Marvin, memang lah berdampingan dengan tempat tinggal mertua dan ipar pertamaku. Jadi, memang sudah kebiasaan mereka mengunjungi rumah kami. Apalagi, semenjak aku melahirkan. Pagi, siang, malam ibu mertuaku pasti mengunjungi kami.
Sebenarnya, tidak masalah jika menjenguk. Aku pun senang, rumah jadi tidak sepi mengingat suamiku kerja seharian dan akan pulang saat malam hari. Sayangnya, ibu mertuaku selalu saja memberiku komentar yang kurang mengenakkan hati. Dan itu yang membuatku semakin frustasi.
Rasanya, aku tidak terima saat mereka menilaiku malas memberi ASI ke buah hati.
Akhirnya, aku berusaha membela diri.
“Sebenarnya, sudah saya coba kasih ASI bu, tapi ASIku masih seret jadi terpaksa Aghis dikasih susu formula,” ucapku memelankan suara.
Sayangnya, wajah mereka terlihat tidak mengenakkan memandangku.
“Halah, alasan! Bilang aja males,” sahut Fairus dengan tampang judesnya. Diambilnya paksa bayi yang sedang dalam pangkuanku dan mencoba mengayun-ayunkannya agar bisa tertidur.
“Harga susu formula itu tidak murah! Kamu mau terus-menerus menyusahkan anakku? Kasihan anakku kerja banting tulang dan sekarang kebutuhannya semakin bertambah!” Hardik ibu mertuaku memamerkan tampang tidak suka kepadaku.
Jika sudah begini, aku lebih memilih membisu. Diam seribu Bahasa dan membiarkan mereka berkata sesukanya. Seolah-olah apa yang diucapkan ibu mertua dan juga mbak Fairus adalah perkataan paling benar.
****
Mengertilah, menjadi ibu baru bukanlah hal yang mudah. Apalagi, tinggal satu lingkungan dengan ibu mertua dan ipar yang tidak sebaik di negeri dongeng.
Sebenarnya, aku sudah meminta mas Marvin untuk mengantarku tinggal di rumah orangtuaku saat melahirkan nanti dan meminta orangtuaku untuk membantu merawat sang bayi. Mas Marvin juga mengizinkan, sayangnya adik kandungku juga baru melahirkan tiga minggu yang lalu, lebih cepat satu minggu dariku. Oleh karenanya, aku urung memutuskan tinggal di rumah orangtuaku dan terpaksa menetap di rumah ini.
Jangan salah sangka, rumah yang kutinggali bukan lah rumah warisan dari orangtua suamiku. Bukan, rumah ini adalah tanah yang kubeli dari bonus penjualan yang kudapat dari bos tempatku bekerja. Dan rumah ini berdiri, juga dari gaji yang aku kumpulkan dari kerja kerasku bekerja sebagai seorang marketing produk kosmetik sejak jaman masih perawan.
Setelah kehamilanku menginjak tujuh bulan, Mas Marvin melarangku bekerja dan memilih fokus mengurus anak. Alhasil seluruh kebutuhan rumah semuanya ditanggung oleh suamiku seorang karena aku sudah tidak bergaji lagi.
“Furika, buatkan aku kopi dan mie goreng dong,” pinta suamiku saat tengah asyik berselonjor di depan ruang keluarga.
Aku masih menggendong bayiku yang baru saja tertidur.
“Mas, nanti dulu ya. Biar Aghis pulas dulu nanti aku buatkan,” jawabku mengusap kening anakku dan mengecupnya.
“Sekarang Furika! Aku sudah lapar sekali, sejak pagi kamu tidak melayaniku!” Kata Mas Marvin dengan wajahnya yang mulai cemberut.
Mungkin karena kelelahan kerja seharian, mood suamiku suka berantakan. Apalagi saat ngambek, pasti seperti anak kecil yang tantrum.
“Mas, aku juga belum makan, sebentar ya,” kilahku pelan. Semoga saja ucapanku tidak membuat Mas Marvin semakin marah.
Namun apa yang terjadi? Mas Marvin kerap uring-uringan akhir-akhir ini. Pria itu berdiri dengan wajahnya yang marah.
“Halah! Kelamaan! Aku beli saja di luar,” ucapnya mematikan televisi lalu membuang remotnya di atas sofa dengan asal.
“Kamu memang istri pemalas!” Sungutnya melenggang pergi keluar rumah entah ke mana.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang jika begini. Kemarin, suamiku juga marah karena seragam kerjanya belum kusetrika. Sudah berulang kali kujelaskan, tubuhku belum pulih semenjak melahirkan apalagi jahitan secar juga masih terasa nyeri.
Sayangnya, Mas Marvin masih saja tak paham.
***
“Aghis sayang, tidur ya, Nak. Ini sudah malam,” ujarku lemah lembut kepada bayi yang kugendong.
Sekarang, sudah pukul sepuluh malam. Dan Aghis bayi kesayanganku masih saja menangis entah karena apa. Sudah setengah jam lebih aku menggendongnya, mengayun-ayun berharap Aghis bisa tertidur.
Dan tiba-tiba, Mas Marvin baru saja pulang selepas keluar rumah entah ke mana. Mungkin mencari makan malam. Perutku juga lapar, aku berharap sekali mas Marvin juga membawakan aku makanan untuk kusantap sebelum tidur.
“Mas, dari mana?” tanyaku basa-basi.
Mas Marvin melirik pada bayi yang kugendong, kemudian sibuk membuka ponselnya sembari menduduki sofa.
“Dari Mang Ojak, nyari nasi goreng,” jawabnya tenang.
“Di makan di sana?” tanyaku lagi, berharap Mas Marvin lupa membawa sebungkus nasi goreng yang tertinggal di sepeda motor dan mengambilkannya untukku. Karena, mas Marvin memang pelupa.
“Enggak, dibungkus.” Jawabnya singkat.
Hatiku cukup senang, itu artinya mas Marvin lupa tidak membawa bungkusan nasi goreng itu ke dalam. Dan sebentar lagi akan mengambilnya di sepeda motor dan kami akan memakannya Bersama.
Namun, mas Marvin tetap saja tidak mengubah posisi duduknya dan semakin focus dengan gawainya.
“Mas,” panggilku lirih sambil meringis.
Mas Marvin hanya melirikku sekilas.
“Terus, nasi gorengnya di mana mas?” tanyaku akhirnya. Ternyata, suamiku tak peka juga.
“Oh nasi goreng? Udah abis tadi, Cuma beli dua bungkus buat mas sama ibu, dimakan di rumah ibu,” jelas Mas Marvin
Sudah menjelang magrib, tapi toko baju masih ramai pengunjung. Furika sudah Lelah mengurus banyak hal hari ini, dan akhirnya menyerahkan semua pelayanan toko kepada karyawannya.Ia ingin bergegas pulang, Kembali ke rumah dan berjumpa dengan putra kesayangan. Namun ternyata, Aghis sudah diantar pengasuhnya ke toko karena pengasuhnya harus segera pulang karena sebuah urusan.“Sayang, kangen bunda ya?” tanya Furika sembari menciumi kedua pipi bayi yang baru genap delapan bulan.Bayi mungil itu hanya meringis sejurus kemudian memeluk Furika dengan sangat manja.Tidak terasa, bayinya tumbuh besar sangat cepat dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Aghis tidak pernah rewel saat diasuh. Menjadi anak penurut dan tidak merepotkan selama Furika merawatnya seorang diri.Meski hari-hari Furika pahit dan sepi karena statusnya menjadi orangtua tunggal. Senyum Aghis selalu berhasil membenamkan semua perih yang Furika pendam selama ini.Luka pengkhianatan, direndahkan bahkan sampai perceraian, semua suda
Selepas mengirim semua paket orderan online, Furika masih disibukkan mengurus toko online untuk laporan penjualan dan setelah itu menemui salah satu selebgram yang ia sewa untuk mempromosikan toko bajunya. Toko baju yang ia Kelola memang toko baju biasa yang tidak mempunyai brand khusus. Namun bagi seorang Furika, wajib hukumnya merawat usaha yang ia geluti dengan maksimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal juga.Apalagi di era serba modern seperti ini, Furika ingin memaksimalkan promosi online agar calon pembelinya tertarik.“Ibu owner makin hari makin sibuk aja,” goda Irzham sambal mengapit kedua mukanya dengan menelungkupkan dua tangan. Pria itu memang tak bosan-bosannya menggodai sang pujaan, meski Furika kerap ngambek karena ocehan Irzham berhasil merusak fokusnya.“Ibu owner jangan sibuk terus, dong. Sini temenin saya ngeteh,” ocehnya lagi mencari perhatian.Usahanya yang kedua, berhasil membuat Furika berdecak dan melengos ke arahnya.“Apa’an sih, dari tadi gangguin terus,”
"Kamu nggak papa, kan?"Seorang pria berjalan sedikit terburu mendekati Furika dengan wajah dipenuhi raut khawatir. Kehadirannya memang terlambat, tidak bersamaan dengan keluarga Marvin yang kebetulan menginjakkan kaki di toko Furika.Dia amat menyesal dan berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana Nasib Wanita pujaanya? Apakah dia sakit hati usai dihina mantan mertua dan suaminya? Begitulah yang terlintas di otak Irzham setelah mendengar kabar bahwa Santika beserta sang mantan suami berkunjung ke toko Furika."Si Marvin sama keluarganya emang keterlaluan, ya? untung kamu sabar." Irzham semakin dirundung kesal usai Furika menjelaskan kronologi keluarga mantan suaminya saat berjumpa dengan Furika.Furika tidak begitu sedih, tidak pula kesal. Setelah memutuskan berpisah dengan Marvin, Furika sudah siap menanggung semua resiko yang akan ia temui dikemudian hari. Termasuk, semakin dibenci laki-laki yang amat ia cintai. Marvin.Bagi Furika, mengenyam hinaan dan cacian Santika adalah hal biasa.
"Izham, kayaknya ini terlalu berlebihan deh," serat Furika dengan terus mengedarkan pandang ke seluruh ruangan.Furika memang sangat senang, senang sekali dan tidak menyangka dirinya akan menjadi owner toko baju dengan ukuran toko sebesar ini.Bayangan Furika, toko baju yang akan dibeli Irzham tidak sebesar toko baju yang ia singgahi sekarang. Tempatnya sangat luas, mewah dan dipenuhi aneka baju berjejer rapi di seluruh sudut yang ada.Matanya tidak bisa berkedip semenjak tadi."Aku nggak berlebihan kok Furi, ini adalah ganjaran untuk hasil kerasmu selama ini," kilah Irzhan dengan senyumnya yang bersahaja."Jadi, jangan anggap aku membelikan kamu toko ini secara cuma-cuma, ini nggak gratis, kok," imbuhnya lagi."Aku jadi terharu, makasih Zam. Aku janji akan urus toko ini biar terus berkembang," sirah Furika sungguh-sungguh. Netranya berkaca haru, ingin menangis namun berusaha tidak menangis."Aku suka gayamu, hehe."Setelah berpisah dari Marvin, Furika benar-benar mengatur strategi un
Sebenarnya Marvin cukup kesal dengan kejadian yang mengusiknya pagi-pagi buta. Tempat nyaman yang ia tinggali, akhirnya harus ia relakan diambil alih orang lain. Marvin sadar diri, memang tidak seharusnya ia menguasai rumah itu, karena memang rumah yang ia inggali dengan Isyani tidak lain adalah hak milik Furika."Tidak perlu sedih bu, aku tinggal di rumah ibu tidak akan lama," ujar Marvin berusaha menenangkan sang ibu.Sejak mengetahui putranya terancam jadi gelandangan, jelaslah sang ibu sedih dan tidak tega. Sedangkan, tidak mungkin Marvin dan Isyani tinggal di rumahnya. Sebab, rumah yang ia tinggali sekarang bakal di waris oleh adik terakhir Marvin."Nggak sedih gimana toh, kamu bakal jadi gelandangan nak! Memang Furika keterlaluan, bisa-bisanya jual rumah kamu!" omelnya kian kesal."Ibu lupa sesuatu?" celetuk Marvin memelankan ucapannya.Marvin sedang berada di kamar sang ibu, sementara Isyani tengah sibuk menata barang di kamar Marvin."Lupa? lupa apa lagi?" oceh sang Ibu tambah
POV Marvin Pagi-pagi buta, ketenangan Marvin dan Isyani terusik ketika ada dua tamu yang menginjakkan kaki di rumah mereka. Tepatnya, pukul 07.00 saat Marvin siap-siap berangkat ke kantor. "Kalian ini ngaco? tidak mungkin saya menjual rumah yang masih saya tempati. Aneh kalian." Ketus Marvin kesal. Sejak tadi ia menjelaskan bahwa ia tidak merasa menawarkan rumahnya kepada siapapun, namun dua tamu yang berkunjung ke rumahnya masih saja kekeuh. "Memang bukan anda yang menawarkan, karena anda bukan pemilik sah rumah ini," balas Jovi tidak mau kalah. Jovi adalah Asisten kepercayaan Irzham yang dikirim untuk mengurus perkara jual rumah Isyani. Dan pak Somad adalah saudagar kaya yang berniat membeli rumah Isyani secepatnya. Marvin geleng-geleng tertawa, dia ngeri sendiri jika benar rumah ini dijual oleh Isyani. Namun seingatnya, Isyani tidak pernah membahas surat tanah dan rumah yang selama ini ia sembunyikan. "Ah, nggak mungkin Isyani yang menjual rumah ini, surat-suratnya sudah kusem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen