Share

Bab 2

“Tidurlah Furika, Aghis juga sudah pulas, aku tidur dulu ya, besok kerja,” pamitnya lalu berjalan memasuki kamar.

Aku hanya melongo. Setengah tidak percaya dengan ucapan mas Marvin. Beli nasi goreng dua bungkus? Dan itu hanya dimakan olehnya dan juga ibu mertua? Bagaimana dengan aku? Apa mas Marvin tidak tahu, bahwa istrinya yang butuh banyak asupan makanan untuk menyusi? Dan malam ini, aku juga belum makan malam.

Dengan sedikit nelongso, akhirnya aku hanya bisa diam. Tidak mungkin aku protes dan ngambek dengan sikap suamiku, yang ada malam ini kami akan bertengkar lagi.

Aku tidak memasak hari ini, karena seharian Aghis rewel tidak bisa ditinggal, sementara bahan masakan di dapur pun juga sudah habis semua. Hanya ada beras, dan itu pun harus dimasak dulu agar menjadi nasi.

Andai saja aku memiliki uang lebih, aku pasti akan memesan makanan juga seperti mas Marvin. Sayangnya, uang di dompetku sudah menipis sementara aku sudah tidak bekerja lagi dan menggantungkannya kepada suamiku.

Kutidurkan bayiku, dan karena aku sangat lapar namun tidak mungkin aku memesan makanan delivery akhirnya dengan sangat terpaksa agar perutku tidak keroncongan, hanya ada air putih dan biscuit di rumah yang bisa kunikmati untuk pengganjal perut.

****

“Oek... Oekkk...”

“Oekkkk….”

Suara tangisan bayiku semakin kencang. Padahal, masih pukul satu dini hari. Baru saja aku selesai merampungkan pekerjaanku. Mencuci seragam kerja Mas Marvin dan menyetrika sebagian yang sudah kering.

Kenapa aku melakukannya malam–malam begini? Semua bukan karena tanpa alasan.

Aku tidak sempat melakukannya saat pagi, sebab Aghis hanya tidur dua jam selepas mandi pagi setelah itu rewel minta digendong dan tidak mau diletakkan di Kasur.

Tidak masalah jika kukerjakan semua malam–malam, karena jika tidak mas Marvin akan ngambek lagi karena merasa aku ‘tidak melayaninya’ seperti kemarin.

“Oeeeek.. Oekkk..”

Aku berlari kecil menuju kamar, menggendong Aghis dan menenangkannya. Dan ternyata benar, Aghis menangis karena risih pampersnya sudah penuh. Memang aku terakhir menggantinya tiga jam yang lalu.

Jangan meniruku! Aku terpaksa melakukan ini. Tidak mungkin aku mengganti diapers setiap dua jam sekali, karena itu akan dinilai boros, Mas Marvin dan keluarganya pasti akan memarahiku jika aku berbuat boros.

Aku hanya memakaikan diapers untuk bayiku saat malam hari saja, saat pagi dan siang Aghis kupakaikan popok kain agar lebih menghemat pengeluaran.

“Mas Marvin, tolong buatkan susu buat Aghis,” pintaku kepada Mas Marvin yang tertidur di samping bayiku.

Sayangnya Mas Marvin tak kunjung bangun. Dan akhirya, aku terus menggoyang-goyangkan tubuhnya. Aku tidak mungkin meninggalkan bayiku yang menangis semakin kencang.

“Mas, bangun!” Ucapku meninggikan suara.

“Apaan sih dek! Berisik banget anakmu itu!” Bentaknya kasar.

Mas Marvin hanya bangun sekejap, setelah itu memiringkan tubuh membelakangi kami.

Jika mas Marvin sudah marah, aku selalu diam dan mengalah atau jika tidak pasti akan semakin menjadi.

“Mas, kalau gitu bantuin gendong Aghis biar aku yang buatkan susu,” pintaku dengan terus menggoyangkan tubuh mas Marvin.

Aku terlalu takut jika membuat susu dalam kondisi bayi rewel, aku takut jika itu sangat beresiko. Bagaimana jika air panasnya tumpah dan mengenai bayiku? Aku tidak rela. Itulah alasanku membagi tugas ini.

“Ih! Aku ngantuk Dek, seharian Mas kerja!” bentak mas Aghis yang akhirnya terduduk.

Lama-lama juga risih karena terus kubangunkan dan mendengar suara tangisan bayi kita.

Dengan tampang cemberut, dan matanya yang belum terbuka lebar. Akhirnya, dengan terpaksa Mas Aghis memangku bayi kita. Dengan segera aku kedapur, membuatkan susu untuk bayiku.

“Kamu males banget sih nenenin bayi kita! Ngrepotin banget,” cibir Mas Marvin yang mendekatiku di dapur sambil menggendong Aghis yang terus menangis.

“Aku nggak males mas, ASI-ku belum keluar,” belaku sambil mengaduk susu.

“Lagian apa nggak bisa nidurin bayi sendiri, aku capek kerja seharian!” Protes Mas Marvin.

“Iya, maaf. Habis ini aku gendong anak kita.”

 “Aghis sayang, minum susunya ya, Nak. Setelah ini mari kita tidur,” bujukku dengan lembut pada si bayi.

Dengan cekatan, aku meraih Aghis dan menggendongnya berharap bayi kesayanganku segera terlelap dan aku pun bisa segera istirahat.

****

“Hari ini aku lembur jadi pulang agak malam, Dek." Tutur Mas Marvin sembari mengecup kening Aghis dengan lembut.

Aku mengangguk kemudian menyiapkan segala keperluan mandi untuk bayiku setelah menyiapkan kebutuhan mas Marvin. Kecuali sarapan, hari ini aku bangun kesiangan gara-gara Aghis menangis semalaman dan baru mau tidur jam 3 pagi tadi.

Jadi, aku tidak sempat belanja sayur dan membuatkan bekal untuk suamiku seperti dulu saat aku masih hamil.

Untungnya, Mas Marvin tidak marah. Cuek-cuek saja.

“Oh, jadi sekarang menantuku semakin malas ya? Masak anakku nggak pernah dimasakin, kasihan dong." Terdengar suara yang sangat tidak asing dari ruang tamu.

Dan aku tahu siapa pemilik suara itu. Pagi-pagi begini ibu mertua sudah berkunjung.

“Bu- bukan begitu bu, Furika—”

“Halah, semenjak kamu melahirkan makin pinter alasan terus, kemarin alasan nggak bisa ngasi ASI bayimu, sekarang lagi nggak pernah masakin suami,” cibir ibu mertuaku menyela ucapanku yang belum selesai.

“Sarapan itu penting Furika, apalagi untuk pekerja seperti Marvin, benar-benar kamu tega sama suamimu.”

Gemas sekali aku dengannya, selalu bersikap seenaknya saja.

“Jangan banyak alasan, semua sudah jelas! Kalau kamu itu pe-ma-las,” ucapnya mengeja dengan penekanan.

Mas Marvin hanya melirikku sekilas, kemudian sibuk merapikan dasinya.

Kenapa mas Marvin tidak membelaku? Serba repot jadinya jika begini, hidup terus dikomentari dewan juri seperti ibu mertua. Sementara, aku tidak bisa menjawab apa-apa, segala yang kuperbuat semua serba salah.

“Semalam Marvin juga makan nasi goreng di rumah, kasihan banget, capek-capek kerja nggak pernah dirawat istri, kamu nggak kasihan anakku, hah?”

Ibu mertua merebut Aghis yang kugendong dan masih tertidur pulas. Karena gerakan ibu mertua yang cukup keras, sampai akhirnya membangunkan anakku. Dan apa yang terjadi?

Aghis menangis sekencang-kencangnya karena kaget.

“Oekkkk…oeeek…”

“Lihatlah anakmu Marvin, dia jadi cengeng gara-gara perutnya kelaparan, ibunya nggak pernah memberinya ASI!” Ujar sang ibu menatap sinis ke arah Furika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status