Mungkin hari ini adalah hari yang sangat menyebalkan untuk wanita yang menyandang status sebagai single parent yang tak lain dan tak bukan adalah Rose Alyne Everleight.
Bagaimana tidak, sepagi ini kakaknya yang sangat menyebalkan itu tiba-tiba menunjukkan batang hidungnya, pun merecok pula.
Jeffry Argiato Samanta. Ya. Pria yang sedang asik duduk bercengkrama dengan Candra itu adalah dalangnya; mengatakan dan melebih-lebihkan informasi sehingga watak kakaknya yang sangat berlebihan itu membuat tubuhnya yang kekar menyempatkan waktu untuk mampir menuntut penjelasan.
Apalagi jika bukan tentang pertemuan Vee Kanesh Bellamy dengan putrinya Lily Berna Samanta waktu lalu.
Rasanya saat ini Rose ingin sekali menggorok leher Jeffry. Seakan belum cukup Jeffry mengatakan hal ini kepada bapak Fernandez yang terhormat hingga pria tua itu bernafsu lagi untuk menghancurkan Vee.
Namun, niat menggorok leher Jeffry terpaksa diurungkan oleh Rose, menginga
Ok, anggaplah hari ini memang adalah hari yang benar-benar sial untuk Rose. Belum sempat raganya mendudukkan diri untuk sekedar minum kopi. Kini, netranya menatap kertas dari tangan lentik milik sekertaris pribadi sekaligus salah satu Dokter di Rumah Sakit ini, parasnya cantik, semua mengakui."Kau gila?" Rose membanting kertas itu sampai ke lantai, anggaplah Rose saja yang gila, bukan wanita di depannya. Namun, bagi Rose, sekertaris yang merangkap menjadi teman semasa sekolah menengah atasnya, dulu, lebih gila darinya.Shane. Nama wanita itu Shane, pribadi dengan pawakan bak model, molek aduhai yang tengah menghembuskan napas beratnya. "Boleh aku berbicara sebagai teman?""Ya, silahkan," jawab ketus Rose."Sekarang apa masalahmu Rose, ayolah, ini demi Rumah Sakit, " bujuk Shane akhirnya, sangat serius bahkan beribu-ribu kali lipat lebih serius.Rose tetap diam ketika tubuh menjulang tinginya itu sudah duduk tenang di kursi kebesarannya. Direktur U
Suara pantulan bola menggema melengkapi sunyi yang begitu kelam di malam hari ini, sepasang kaki itu tak henti berlari, memutar bahkan melompat dengan tangan yang menggiring benda bulat orange. Peluh yang meluruh dari dahi dibiarakan begitu saja. Lantas, kakinya telanjang tanpa terbungkus apapun, banyak goresan bahkan cairan kental merah berceceran mengikuti jejak pijakannya. Bukan hanya kondisi fisik yang tersiska dibalik napas engahnya, hatinya tersiris perih, pun menjalar, belum lagi punggungnya yang saat ini dipasrahkan pada lantai paping dingin di pinggir lapangan. Vee Kanesh Bellamy, sekali lagi dilemparkan pada ingatan masa lalunya saat mata hangat itu menatap langit gelap menembus tanpa batas menampilkan pijaran bintang yang samar tak terlihat. Kepalanya berpangku pada tangan yang di lipat dibawahnya. "Begini sangat nyaman," gumamnya sembari memejamkan mata. Semilir angin yang tiba-tiba berhempus mampu menggoyangkan anakan rambutnya, dilihat d
Benda bulat yang mengeluarkan terik panas itu sudah menggantung di langit atas, Vee yang saat ini baru terbangun mendadak mengrenyit karena silau dari matahari menembus matanya. Pria itu mendudukkan diri dengan keadaan mengenaskan, pandangannya kini berpindah untuk memindai sekelilingnya, lalu seakan dibungkam dengan keadaan saat matanya melotot pada gelang jam yang sedang dengan santainya menunjukkan pukul tujuh pagi. "Haiiis, sial, kenapa aku bisa ketiduran di lapangan ini," rutuknya bersamaan itu mencoba untuk berdiri. "Akash," ringisnya menyadari saat dirasa kakinya memanas sakit ketika mencoba untuk sedikit melangkah. Benar kata Leon tadi subuh, luka sobekan itu sangat parah dan harus dijahit. Vee yang sekarang sedang menatap pada kaki itu merasa ngilu sendiri. Ayolah, jangankan untuk dijahit, disuntik saja pria dewasa itu ketakutan setengah mati. Sedangkan di luar sana, puluhan pasang kaki melangkah ingin memasuki gedung Jakarta Revolution Eleme
Tidak lagi terasa perih, kini kakinya pun dapat menekan gas mobil dengan rapih. Membelah kota Jakarta yang nyatanya terlewat sepi ditemani jalanan yang tak cukup isi. Vee Kanesh Bellamy, sudah melakukan berbagai cara dengan modal pita suara, meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, kenyataan tetap kenyataan, Lily cukup membuatnya membungkam dan nurut saja. Vee, seakan dibuat lupa untuk kesekian kali. Ada perasaan aneh yang selalu memaksa untuk menuruti gejolak jiwa. Lily Berna Samanta, gadis cilik itu seakan menghipnotisnya, benci sekali pun sungguh tidak bisa. Perangai manisnya tengah mampu menarik total tubuh Vee untuk nyaman berada di dekatnya. Pria dewasa itu yakin, pun sadar dengan perasaan yang tidak bisa ditarik begitu saja, benar-benar nyaman dan apa adanya. Sekarang lihat saja, betapa bahagianya buntelan kecil dengan kantung plastik berisi makanan yang asik nangkring di pahanya. Duduk dibagian jok samping dimana Vee sedang menyetir, gadis itu, Lily, m
Sebegitu membingungkan segala urusan yang berada di depan mata, pun dengan keadaan terluka hatinya. Rose, masih terbayang akan satu kata yang kian lama kian menusuk tanpa ampun.Bagai luka yang digoreskan begitu dalam, Rose hanya mampu membayangkan bagaimana caranya untuk tenggelam, bersembunyi dari masa kelam. Baginya, kata—jalang—yang didengar dua hari yang lalu masih saja terngiang dan menimbulkan luka baru yang bahkan hasil tikaman dimasa lalu sampai saat ini masih ternganga lebar.Tidak pernah Rose membayangkan, walau sekali saja ,pun untuk menjawab segala pertanyaan di hatinya seakan buntu. Wanita dengan kacamata membingkai matanya itu sampai bingung tak menentu. Menurutnya ada sesuatu yang mengganjal di balik kata, jalang.Meski Rose berkali-kali mengatakan jika hanya Lily saja yang mampu mempengaruhi hidupnya saat ini, namun dengan adanya pria itu, yang berada dihadapannya langsung mampu mebuat otaknya kembali kotor oleh prasangka buruk, sepe
Lily lapar, oleh sebab itu beberapa saat yang lalu, Rose memanggil perawat Selena untuk membawanya ke restoran dekat rumah sakit. Pekerjaan Rose masih menumpuk sebukit. Belum lagi, dirinya baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang bertambah semakin rumit. Vee masih disini, dengan luka goresan di siku tangannya, kulit sedikit mengelupas, tapi tidak parah yang mengharuskan ada proses jahitan. Terpaksa, juga karena naluri seorang dokter, Rose mengobati luka itu dengan telaten sembari tetap mengontrol degub jantungnya yang sedari awal sudah menggila. "Selesai. Jangan lupa setiap hari dibersihkan. Untuk luka jahitan, seminggu setelah ini anda bisa datang kemari. Kalau anda tidak mau dirawat oleh saya. Anda bisa menghubungi Dokter lain. Terserah anda saja mana baiknya." Rose berkata dengan gerakan tangan yang super sibuk membereskan peralatan, juga matanya yang tidak fokus menatap lawan bicara. Jika kasus lain dengan dua lakon yang berbeda, mungkin Rose sudah m
Benci? Tentu saja benci itu ada. Tapi, bukan itu alasan utamanya. Hanya saja, Rose tetap mempertahankan logikanya untuk digunakan secara baik dan benar. Tidak mau dan tidak akan pernah Rose membiarkan Lily untuk merasakan kasih sayang yang terbagi dari seorang ayah. Itulah mengapa Rose belum siap untuk membuka lebar kenyataan yang selama ini tertutup rapi bak memori yang terkubur dalam peti mati. Walaupun begitu sakit, Rose masih akan tetap menahan semua hujaman penderitaan dari masa lalunya. Wanita itu harus tetap bertahan demi apa yang diperjuangkan—Lily putrinya. Alasan sampai saat ini Rose dapat melebarkan ranumnya untuk mempertontonkan semburat senyum yang nampak bahagia dari luar. Hingga tidak ada yang pernah tahu bahwa wanita itu selalu menyisihkan waktu untuk membuang air matanya yang serasa tidak pernah ada habisnya. Jika ditanya, apakah Rose masih mencintai ayah dari anaknya? Of course, yes! Bodoh? Menurut Rose, cintanya
"Ada apa malam-malam mengajak ku ke tempat ini?" Tanya Jaeko sembari tangannya meletakkan gelas berisi air bening berwarna sedikit cokelat di atas meja. Vee mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya memasrahkan punggungnya di sandaran empuk sofa, "Huh, ada sesuatu yang sangat ingin aku tanyakan," jawabnya sedikit ragu. Vee sepenuhnya lesu. "Memangnya apa yang ingin kau tanyakan, jika aku tau dengan senang hati akan ku jawab." Bersamaan itu pula tubuh Jaeko ikut disandarkan di punggug sofa. "Dimana Lala sekarang?" Mendengar nama istrinya disebut, sontak saja membuat Jaeko terduduk dengan tegak kembali. "Vee, kau sedang tidak tertarik dengan istriku 'kan?" Satu jitakan mulus meluncur di kepala Jaeko. Bisa-bisanya kelinci bodoh itu berpikiran konyol. Mana ada Vee tertarik dengan wanita super bar-bar seperti Lala. Vee berdecak kesal dengan lirikan tajam menghujam. "Aku bicara serius, Ko!!" "Aku juga serius, Vee. Melih