Benci?
Tentu saja benci itu ada. Tapi, bukan itu alasan utamanya. Hanya saja, Rose tetap mempertahankan logikanya untuk digunakan secara baik dan benar. Tidak mau dan tidak akan pernah Rose membiarkan Lily untuk merasakan kasih sayang yang terbagi dari seorang ayah. Itulah mengapa Rose belum siap untuk membuka lebar kenyataan yang selama ini tertutup rapi bak memori yang terkubur dalam peti mati.
Walaupun begitu sakit, Rose masih akan tetap menahan semua hujaman penderitaan dari masa lalunya. Wanita itu harus tetap bertahan demi apa yang diperjuangkan—Lily putrinya. Alasan sampai saat ini Rose dapat melebarkan ranumnya untuk mempertontonkan semburat senyum yang nampak bahagia dari luar. Hingga tidak ada yang pernah tahu bahwa wanita itu selalu menyisihkan waktu untuk membuang air matanya yang serasa tidak pernah ada habisnya. Jika ditanya, apakah Rose masih mencintai ayah dari anaknya?
Of course, yes!
Bodoh?
Menurut Rose, cintanya
"Ada apa malam-malam mengajak ku ke tempat ini?" Tanya Jaeko sembari tangannya meletakkan gelas berisi air bening berwarna sedikit cokelat di atas meja. Vee mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya memasrahkan punggungnya di sandaran empuk sofa, "Huh, ada sesuatu yang sangat ingin aku tanyakan," jawabnya sedikit ragu. Vee sepenuhnya lesu. "Memangnya apa yang ingin kau tanyakan, jika aku tau dengan senang hati akan ku jawab." Bersamaan itu pula tubuh Jaeko ikut disandarkan di punggug sofa. "Dimana Lala sekarang?" Mendengar nama istrinya disebut, sontak saja membuat Jaeko terduduk dengan tegak kembali. "Vee, kau sedang tidak tertarik dengan istriku 'kan?" Satu jitakan mulus meluncur di kepala Jaeko. Bisa-bisanya kelinci bodoh itu berpikiran konyol. Mana ada Vee tertarik dengan wanita super bar-bar seperti Lala. Vee berdecak kesal dengan lirikan tajam menghujam. "Aku bicara serius, Ko!!" "Aku juga serius, Vee. Melih
Menjejalkan telapak tangan pada kantung celana, Vee berdiri dari balik jendela raksasa yang mempertontonkan hilir mudik transportasi Jakarta di bentangan jalan raya. Matanya memincing tajam, terkadang pula tawanya renyah merana. Vee menatap penuh ruangan dengan ukuran ekstra lebar yang berada diujung gedung tinggi memuncak sebuah perusahaan. Hari menjelang sore, Vee sudah membuat janji temu dengan seseorang. Beralih pandangan pada kursi duduknya, pria itu mengayunkan torsonya untuk segera menyamankan bokongnya di sandaran empuk itu. Jemarinya melatuk menimbulkan suara yang beradu di atas meja, pikirannya kosong melalang buana entah kemana. Suara ketukan pintu mengalihkan afeksinya, pria itu berujar untuk mengucapkan sandi agar benda kotak dengan bahan
Suasana riuh dari balik ruang VIP restoran Italian yang dipenuhi tanda tawa dan lemparan argumen kekanakan dari dua keluarga yang saat ini sedang melakukan temu kangen. Terlebih ungkapan laki-laki kecil dengan gelagat dewasa itu sangat menggelikan untuk Lily yang berada di sampingnya. "Aku akan segera tumbuh dewasa, menjadi pria keren yang melamarmu dengan caraku. Aku yakin kamu tidak akan menolak sweety." Lily memincingkan matanya, tatapan itu lebih ke arah kejengahan. "Sean, berhenti sok dewasa dan berbicara omong kosong," pintanya dengan nada dingin. Ya, bocah cilik yang menjelma sebagai roman picisan itu adalah Sean. Sepeti yang sudah-sudah, laki-laki terlewat tampan itu sudah sangat kebal medapat bantahan kasar dan tatapan sedingin kutub utara dar
Sore berganti malam, langit yang semula menguning pun jadi semakin temaram. Cahaya yang selalu diagungkan Dunia menghilang dalam sekejap mata. Seperti hatinya yang saat ini lara karena kebodohannya. Jika ditanya kenapa—penyesalan—selalu datang diakhir. Maka, satu suku kata itu tidak akan pernah terlahir. Seperti Vee, bermodal otak dangkal, mengambil keputusan tanpa akal. Lalu, apa yang dilakukan pria itu? Apakah usahanya sudah mencapai titik temu? Jawabannya belum sepenuhnya. Nyatanya pria itu saat ini hanya mengumpat dengan sumpah serapahnya. Keabsahan yang baru saja dilempar tepat di depannya memberikan efek yang membuatnya seakan mati rasa. Perasaan benci yang selama ini ditumbuh
Rose mengoyak isi etalase dengan matanya. Sembari tersenyum, sorotnya menatap berbagai kue yang sudah di desain sangat indah di dalam sana. Hari ini, Rose akan membelikan kue khusus untuk Lily; seperti biasa, mencari kue dengan coklat yang menumpah ruah diatasnya. Beruntung, hari ini sangat banyak stok yang sesuai kriteria kesukaan putrinya. Tempat ini begitu sunyi dengan musik lirih mengiringi. Suasana hati Rose sangat buruk jika melihat dari kilat matanya. Hidupnya terusik lagi dengan hanya melihat Vee yang beberapa kali berhadapan langsung di depan matanya. Mengingat lagi, dua hari yang lalu saat Jaeko menerima telefon dari Vee dengan raut mengawatirkan juga membuat Rose kalang kabut memikirkan. Berbagai spekulasi mengerubung tidak jelas dalam benaknya. Ingin acuh namun jujur wanita itu tidak bisa.
Bar malam di kota Jakarta yang terkenal rupanya tak begitu berbeda seperti delapan tahun yang lalu. Kenzo, pemilik sekaligus bartender di dalamnya tampak masih mempesona bahkan lebih dengan otot sempurna di setiap lengannya. Penari latar yang menggoda dengan lengkungan tubuh yang sedikit terbuka, menampakan belahan dada yang sintal membuat berbinar pria mata keranjang. Vee, meskipun kurang belaian atau mungkin memang tidak pernah terbelai tak akan mudah terlena dengan kepiawaian gadis jalang. Di membenci wanita seperti itu, mengingatkan pada Rose yang diduganya dulu memiliki peringai yang sama seperti wanita liar dengan minuman memabukkan—tapi tidak dengan sekarang. Secara sadar Vee mengakui salah menilai dan menyesal. "Aku ingin meminta bantuanmu." "Woyo, miliader sepertimu meminta bantuanku, Bang. Apa aku tidak salah dengar," jawab Kenzo diiringi bercanda. "Mau minum apa dulu. Aku beri gratis karena sudah lama kau tidak mampir kesini," t
Apapun itu jika sudah menjadi bangkai maka akan mengeluarkan bau yang teramat busuk. Bayangkan jika hidup dengan bangkai dalam satu radar yang sama; mungkinkah akan bertahan dengan sengatan yang menyekatkan penciuman, atau bisakah menahan tampang menjijikannya. Vee Kanesh Bellamy; pria itu menganggap Zara yang tak lebih dari hewan yang telah membusuk dengan lalat mengerubung di sekelilingnya; mungkin lebih pantas juga dibuang untuk dijadikan makanan hewan karnivora atau omnivora yang lebih membutuhkan. Namun, anggapan hanyalah anggapan saja jika itu adalah Vee, ia tidak akan pernah memperlakukan Zara sebagai hewan. Vee masih punya akal dan hati nurani juga. Memilih angkat kaki dari rumah megah ini daripada repot-repot menyeret Zara untuk dibuang ke jalanan. "Vee, kau bercanda 'kan!" protes Zara sembari meronta seperti orang gila. Vee melipat tangan dibawah dada, menatap lurus Zara yang tengah bergetar dengan tangan kanan memegang selembar kertas
"Lily, kau pulang dengan siapa?" tanya Sean saat tubuh mereka berdua sudah ada di pelataran Sekolah. Cuaca sangat terik menjelang jarum jam menuju angka satu lebih lima menit di siang hari. Sean yang sudah akan pulang dengan Jaeko lantas menyempatkan untuk mengobrol sejenak sembari menunggu ayahnya mengambil mobil dari garasi. "Aku jalan kaki ke Rumah Sakit seperti biasa, Sean. Mungkin main sebentar di arena skateboard dekat taman," jawab Lily. Gadis itu juga menunjukkan papan skate yang sudah digapit antara lengan dan pinggang. "Apa aku boleh ikut?" Lily menegakkan jari telunjuknya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri. "Tidak boleh," tolak Lily. "Kau harus