Rose mengoyak isi etalase dengan matanya. Sembari tersenyum, sorotnya menatap berbagai kue yang sudah di desain sangat indah di dalam sana. Hari ini, Rose akan membelikan kue khusus untuk Lily; seperti biasa, mencari kue dengan coklat yang menumpah ruah diatasnya. Beruntung, hari ini sangat banyak stok yang sesuai kriteria kesukaan putrinya.
Tempat ini begitu sunyi dengan musik lirih mengiringi. Suasana hati Rose sangat buruk jika melihat dari kilat matanya. Hidupnya terusik lagi dengan hanya melihat Vee yang beberapa kali berhadapan langsung di depan matanya.
Mengingat lagi, dua hari yang lalu saat Jaeko menerima telefon dari Vee dengan raut mengawatirkan juga membuat Rose kalang kabut memikirkan. Berbagai spekulasi mengerubung tidak jelas dalam benaknya. Ingin acuh namun jujur wanita itu tidak bisa.
Bar malam di kota Jakarta yang terkenal rupanya tak begitu berbeda seperti delapan tahun yang lalu. Kenzo, pemilik sekaligus bartender di dalamnya tampak masih mempesona bahkan lebih dengan otot sempurna di setiap lengannya. Penari latar yang menggoda dengan lengkungan tubuh yang sedikit terbuka, menampakan belahan dada yang sintal membuat berbinar pria mata keranjang. Vee, meskipun kurang belaian atau mungkin memang tidak pernah terbelai tak akan mudah terlena dengan kepiawaian gadis jalang. Di membenci wanita seperti itu, mengingatkan pada Rose yang diduganya dulu memiliki peringai yang sama seperti wanita liar dengan minuman memabukkan—tapi tidak dengan sekarang. Secara sadar Vee mengakui salah menilai dan menyesal. "Aku ingin meminta bantuanmu." "Woyo, miliader sepertimu meminta bantuanku, Bang. Apa aku tidak salah dengar," jawab Kenzo diiringi bercanda. "Mau minum apa dulu. Aku beri gratis karena sudah lama kau tidak mampir kesini," t
Apapun itu jika sudah menjadi bangkai maka akan mengeluarkan bau yang teramat busuk. Bayangkan jika hidup dengan bangkai dalam satu radar yang sama; mungkinkah akan bertahan dengan sengatan yang menyekatkan penciuman, atau bisakah menahan tampang menjijikannya. Vee Kanesh Bellamy; pria itu menganggap Zara yang tak lebih dari hewan yang telah membusuk dengan lalat mengerubung di sekelilingnya; mungkin lebih pantas juga dibuang untuk dijadikan makanan hewan karnivora atau omnivora yang lebih membutuhkan. Namun, anggapan hanyalah anggapan saja jika itu adalah Vee, ia tidak akan pernah memperlakukan Zara sebagai hewan. Vee masih punya akal dan hati nurani juga. Memilih angkat kaki dari rumah megah ini daripada repot-repot menyeret Zara untuk dibuang ke jalanan. "Vee, kau bercanda 'kan!" protes Zara sembari meronta seperti orang gila. Vee melipat tangan dibawah dada, menatap lurus Zara yang tengah bergetar dengan tangan kanan memegang selembar kertas
"Lily, kau pulang dengan siapa?" tanya Sean saat tubuh mereka berdua sudah ada di pelataran Sekolah. Cuaca sangat terik menjelang jarum jam menuju angka satu lebih lima menit di siang hari. Sean yang sudah akan pulang dengan Jaeko lantas menyempatkan untuk mengobrol sejenak sembari menunggu ayahnya mengambil mobil dari garasi. "Aku jalan kaki ke Rumah Sakit seperti biasa, Sean. Mungkin main sebentar di arena skateboard dekat taman," jawab Lily. Gadis itu juga menunjukkan papan skate yang sudah digapit antara lengan dan pinggang. "Apa aku boleh ikut?" Lily menegakkan jari telunjuknya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri. "Tidak boleh," tolak Lily. "Kau harus
Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam, namun Vee masih belum beranjak dari duduknya di ruangan kerja. Pria itu lantas melepas kaca mata yang membingkai wajahnya. Vee tersenyum geli saat mengingat pertemuannya dengan Lily yang tak terduga ternyata tahu jika ia ayahnya. Perasaan gembira sontak merubung hatinya, harinya total berubah menjadi sempurna meski Rose saja mungkin masih belum bisa memaafkannya. Berbicara tentang mantan kekasih sekaligus ibu dari putrinya itu. Vee tidak tahu harus berbuat apa. Malu untuk menunjukkan muka, tapi terlalu rindu juga. Pantaskah Vee untuk dimaafkan? Pria itu mengaku jika dirinya patut dihukum saja. Penyesalan memang selalu datang di akhir, jika takdir hidupnya seperti ini, Vee hanya ingin meminta satu hal, biarkan dia membahagiakan putrinya di sisa akhir hidupnya, kalau bisa Rose sebagai bonusnya. Ngelunjak! Ya biarkan saja! Orang bebas punya pikiran seperti apa. Vee malu
Bagaimana rasanya setelah diabaikan, dibuang lalu dipungut kembali. Setelah akal mampu menerima meskipun tak ada kejelasan sejak dulu, Rose masih merasakan sakit yang sama, sakit saat dirinya harus berjuang sendiri untuk membesarkan anak-anaknya, harus kehilangan seorang putranya tanpa adanya Vee yang seharusnya bersama mereka. Rose bukan sampah yang tak berharga, bahkan dirinya adalah sebuah berlian yang harus dijaga. "Kau tidak waras, tuan Vee." Rose sudah tersungut emosi, matanya memerah dengan amarah yang membuncah. Mudah sekali bagi Vee untuk mengatakan hal konyol seperti itu. "Aku masih sangat waras, aku sehat dan aku sadar mengatakannya," jawab Vee penuh penekanan. Pria itu serius, sangat serius sampai nekat meninggalkan rasa malunya untuk disimpan rapi di rumah. Rose membuang muka kesamping seraya mengangkat tangannya keudara, sangat tidak mengerti akal Vee yang sudah lebih dari orang gila yang berlarian di jalanan menunjukkan tubuh bugilnya.
Bola mata bulat dengan iris coklat itu mengedip lucu, kepalanya mendongak menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuh yang hanya memiliki tinggi satu meter lebih sedikit itu sedang berdiri diantara dua manusia dewasa yang diketahuinya adalah Mommy dan Daddynya. "Lily bingung nih, mau tanya apa ya?" ucapnya dengan jari meremat boneka Tata yang ada didekapnya; pemberian Candra Uncle tempo hari saat ulang tahunnya. Rose pun Vee tak kalah bingung dong, justru mereka yang sedang kalang kabut memutar otak mencari alasan. Ya salah sendiri, pagi-pagi sudah ribut saja, tidak sadarkah masih ada Lily dirumah? Mungkin saja gadis itu terbangun dari tidurnya karena ulah mereka. Lily tak mendapatkan jawaban. "Emh. Uncle, selamat pagi, awal yang bagaimana ya, sedikit mengejutkan. Tapi, Lily tidak penasaran," ungkap gadis itu dengan cengirannya. Sengaja bikin Daddy gugup nih ceritanya. Sedangkan Vee yang disa
"Waw, Grandma," seru Lily. Lantas gadis kecil itu berlari dengan senyum merekah bak sinar matahari yang dengan benderangnya menyinari Bumi. Kesenangan apa yang di dapati Lily hingga gadis itu terburu dalam langkahnya menuju Nyonya Dera yang duduk di kursi. "Lily," sambut Dera. Bersamaan dengan senyumnya; Ibu dari Vee Kanesh Bellamy itu sedikit membungkuk serta merentangkan tangan menunggu Lily yang akan datang, memeluk dalam dekapan saat gadis kecil itu sudah ada di hadapan. Sedangkan Rose dan Vee termanung di ambang pintu, menyeleksi segala spekulasi yang sedang ditonton bak drama dengan berbagai rahasia di dalamnya. Jika dipikir seribu kalipun, mustahil untuk Lily bisa mengenal Dera, dimana dan bagaimana cara bertemu mereka menjadi pertanyaan besar untuk keduanya. "Apa yang grandma lakukan di rumah Vee uncle?" tanya Lily tak tanggung-tangung. Wajah keriput itu sontak mendongak ke arah pintu masuk, mata Dera memincing sejenak hingga a
"Ssst, diam Lily." Mungkin puluhan kali Rose mengatakan hal itu saat Lily memanggilnya dengan sendu. Bahkan ingin mengatakan sepatah kata pun Lily tak mampu. Tubuh kecil itu di dekapan ibunya semalaman hingga fajar tiba. Yang benar adalah Rose sama sekali tidak mau memulai pembicaraan, entah bertanya ataupun menginterogasi putrinya, pun tidak mau mendapatkan kejelasan juga. Sudah cukup bagi Rose mengetahui jika Lily sudah tahu sandiwaranya, cukup malu juga karena ia tidak tahu-menahu bagaimana asal mulanya. Sedangkan Lily yang saat ini sedang mengguyur tubuhnya dibawah shower lantas berhembus nafas kasar beberapa kali. Inginnya menceritakan perihal dirinya yang tahu begitu saja hingga membentuk lakon bagai pemeran sebuah drama bersama ayahnya. Namun, ingin mengecap sepatah kata sudah dihentikan dengan perintah yang layak untuk dilakukan. Semalaman Lily tidur bersama Rose, ia tahu ibunya tidak benar-benar memejamkan mata, karena dirinya pun juga sama.