Pak Ghazali yang pamit pulang diantar Tiara, mungkin sampai depan rumah. Sempat tadi terlihat olehku, Tiara mengambil beberapa lembar duit untuk diselipkan ke saku kemeja Pak Ghazali.
Sungguh kelakuan istri boros. Padahal, cukup diberi ucapan terima kasih. Namanya juga tetangga, ya, harus saling tolong-menolong. Betul, kan?
Derap langkah dan bayang hitam di bawah pintu menandakan Tiara akan segera masuk ke kamar. Bergegas kuselimuti diri hingga menutupi wajah, lalu berpura-pura tidur.
"Abaaang!" Tiara berteriak kencang. Saking kencangnya, kalau kuntilanak dengar pasti sawan.
Selimut ditariknya. Mata kupejamkan seketika. Tak lama, telinga kananku dipilas Tiara. Aku lantas berbalik badan dengan cepat untuk melepaskan diri, lalu mengusap telinga yang terasa amat perih akibat perbuatannya.
"Sakit, Dek ...!"
"Obat apa yang Abang minum? Hah?!" Matanya melotot garang. Aku terintimidasi.
"I-itu ...." Aku bingung hendak menjawab apa. Kalu jujur, bisa-bisa Tiara marah.
"Itu apa?" bentaknya. "Minum sampai empat butir pil itu untuk apa?"
"Bu-buat ngebales delapan ratus ribu tadi siang." Aku terpaksa mengatakannya secara jujur. Mau bagaimana lagi, berbohong juga percuma.
"Astaga buah naga!" Tiara mendengkus kesal.
Aku hanya membalas lewat cengiran.
"Suami perhitungan!" sambungnya, kemudian keluar dengan membanting pintu.
Tiara kalau sudah ngamuk, sungguh mengerikan. Kurasa, setan pun enggan melawannya.
******
Esoknya, aku hendak ke warung Kak Limah. Biasanya, jam segini sahabat-sahabatku sedang nongkrong di sana. Kan lumayan, aku bisa menumpang minum kopi gratis.
"Jaket Abang mana, Dek?" Aku mengobok-obok lemari pakaian.
"Yang mana?" tanyanya sambil memoles krim putih di wajah.
"Yang ada gambar Akatsuki."
"Jangan asal bongkar, Bang. Capek Adek ngemasinnya," omelnya. "Jaket Abang yang itu belum dicuci."
"Apa? Kan itu jaket kesayangan Abang. Kok, belum dicuci? Abang nggak pede kalo nggak pake itu."
Saat memakai jaket itu, aku merasa seperti Itachi Uchiha. Baik secara kekuatan, maupun perawakan. Jadi, wajar dong aku pede.
"Mulai sekarang Adek nggak mau nyuci di papan penggilesan lagi," keluhnya. "Abang pake baju bentaran, udah langsung lempar ke baskom. Ganti lagi yang baru. Capek dan letih Adek, Bang. Pokoknya beliin Adek mesin cuci, kalo masih mau dicuciin."
"Dikira Abang ini konglomerat, yang batuk aja keluar duit," protesku.
"Kalo nggak mau, baju celana Abang akan numpuk sampai setinggi Himalaya," ancamnya.
Kenapa pula si Tiara jadi manja begini? Biasanya, dia rajin mencuci. Ini pasti ulah emak-emak komplek yang menghasutnya. Dasar emak-emak perusak rumah tangga orang! Jahat!
Kutinggalkan dia yang masih sibuk memoles krim sambil duduk di depan kaca. Mungkin agar rata di wajahnya. Perutku terasa lapar, seharian belum makan karena sibuk di kebun. Durian dan langsat sudah siap dipanen.
"Deeek!" Aku berteriak kencang, sampai menembus dimensi lain agaknya.
Dia yang kupanggil datang setelah lima menit. "Apa, sih, Bang? Teriak mulu kayak penganten baru."
Sontoloyo ini anak. Ngomongnya suka ngejeblak.
"Kok, kosong?" Kutunjuk meja di bawah tudung saji yang melompong tanpa isi.
"Abang, kan, nggak ada ngasi duit belanja."
"Yang tiga setengah mana?"
"Tiga setengah?" Wajahnya tampak bingung.
"Yang Abang kasih dua minggu sekali," ujarku mengingatkan.
"Ooh ... bukan tiga setengah, tapi tiga ratus dua puluh lima ribu rupiah. Kan yang dua lima ribu Abang minta buat beli rokok Anaconda."
Ampun Gusti. Seteliti itukah dia?
"Iya, yang itu. Mana? Kenapa nggak dibelanjain?"
"Udah abis," jawabnya santai dengan wajah berlumuran krim putih, mirip kue moci.
"Habis? Adek apain? Nyawer?"
"Iiisssh! Buat bayar Kak Emy."
"Emy mana lagi ini, Tiara Kunyit-chova binti Izamudin Mat Saleh." Kusebut nama lengkapnya biar dia tahu kalau saat ini aku sedang marah. Bisa-bisanya duit belanjaan yang kuberi saban dua minggu itu, habis begitu saja. Boros sekali dia.
"Kak Emy temannya Abang."
"Emy Wahid? Yang kalo marah suka manjatin pohon kelapa?"
Tiara mengangguk pelan.
"Yang kalo lapar, suka gigitin kursi plastik?"
"Tepat sekali, Alfredo."
"Yang kalo kentut, baunya bisa bikin orang meriang?"
"Iya!"
"Untuk apa bayar dia?"
"Adek pesan sabun dan krim wajah sama dia. Barang yang dijualnya itu bagus."
"Nggak kemahalan?"
"Nggaklah. Ada harga, ada kualitas. Jujur saja, harganya cukup murah untuk kualitas yang ajib begitu. Apa Abang mau, Adek kulitnya kusam dan mukanya kusut?"
Ah, pandai sekali Tiara mengancamku. Memang, aku tak mau kalau Tiara yang cantik jelita berubah. Bukannya apa, punya istri cantik itu bisa dipamerin dan dibanggain. Bisa juga untuk membungkam mulut-mulut ghibah para tetangga yang dulu meremehkan tampangku.
"Ya, udah. Ambilin dompet Abang." Merengut wajahku saat menyuruhnya. Alamat bakal keluar duit lagi.
Tiara beranjak, lalu tak sampai lima menit datang lagi sambil mengunjukkan dompetku.
"Eh, kok, sisa seratus?" Aku mengurut kening, mengingat duit keluar ke mana saja.
"Kemaren Adek ambil buat nambahin beli gorden hologram. Duit Adek kurang." Tiara tersenyum.
Aku langsung jatuh terduduk dalam kegamangan. Tangan dan kakiku mulai mengentak lantai. Aku meringis, merengek bak anak kecil yang diejek nama emaknya. Duit yang sudah susah payah kukumpulkan demi membeli satu set figure baja hitam telah lenyap. Amblas. "Emaaak ...!"
------
Empat hari berlalu, tetapi aku masih kesal dengan sifat boros Tiara. Habis semua duit hasil jual kambing dikebasnya. Kalau begini, bisa-bisa aku kawin lagi. Eh ....
"Bang ... bangun!" Tiara menggoyang-goyangkan badanku.
Aku sebenarnya sudah bangun, tetapi pura-pura masih tidur. Mau merajuk, biar dibujuk."Bang ... bangun! Shalat Subuh. Adek tau Abang udah bangun."
Aku masih berpura dengan terus memejamkan mata.
"Kalo nggak mau bangun buat Subuh, Adek cari suami lain. Buat apa punya suami yang nggak ingat Allah."
Ancaman macam apa itu? Anehnya, tubuh ini langsung bergerak sendiri, bergegas bangun untuk mandi dan bersujud pada Illahi. Tanpa basa-basi, kutinggalkan dia yang sedang duduk di ranjang belah tepi.
"Abang masih marah?" tanyanya dengan suara manja setelah aku selesai berdoa.
"Heeemh." Kubuang muka dengan sombong. Pertanyaannya kubiarkan menguap hilang, seperti janji manis mantan.
Duduklah aku di sofa sambil men-scroll layar hape. Sebuah postingan dari Sella muncul tak terduga. 'Beli lima gratis satu', begitu bunyi postingannya. Menarik.
Tiara datang membawakanku segelas kopi panas, yang dia letakkan di meja. Setelahnya, langsung berlalu pergi. Mungkin mau berberes rumah.
Kulirik sekilas kopi buatannya itu. Ciiih ... dipikirnya aku bakalan luluh hanya karena segelas air minum. Sorry, yah, aku nggak segampangan itu. Ipit kali, nih.
[Beneran gratis satu, Sel?] Kukirim pesan pada Sella lewat aplikasi.
[Bener, tapi beli lima] balasnya.
[Itemnya harus sama atau boleh beda?]
[Boleh beda].
Mantap kalau begitu, jadi aku bisa mencoba satu-satu makanan yang dijual tadi. Masalahnya adalah kalo beli lima, kebanyakan buat aku sendiri. Si Tiara tidak usah dibelikan. Biar saja dia. Siapa suruh boros, menghabiskan duit suami.
Kulihat satu persatu gambar makanan yang Sella jual. Ada korket kerja paksa, mie tiaw reunian, sayur asam asin, ayam goreng kejepit, risoles jago ngeles, tauge pok ame-ame, sop ketela curiga, pempek tenggiri, bitter molen keju, dan masih banyak lagi. Kesemuanya tampak lezat.
Muncul ide di kepala. Kutawarkan saja pada teman yang lain. Harganya naik sedikit. Dengan begitu, aku membeli sisanya dengan lebih murah.
Angga dan Andi kujadikan korban. Setelah kutawarkan, keduanya setuju untuk membeli. Angga memesan dua mie tiaw reunian. Sedangkan si Andi, memesan ayam goreng kejepit dan sop ketela curiga. Cakep!
"Sel, pesan mie tiaw reunian, dua. Lalu, satu ayam goreng kejepit, satu pempek tenggiri, Terakhir, sop ketela curiga, satu. Berapa semua Sel?"
Begitulah pesan yang kukirim pada Sella. Selang beberapa jenak, balasannya muncul.
"Oke, dicopy."
"60 + 10 = 70." Bunyi pesan kedua yang masuk. Tepat dua menit setelah pesan pertama.
"Yang 10 apaan, Sel?"
"Ongkir."
"Masak keluarga pakai ongkir?"
Aneh-aneh saja si Sella. Bukannya kami masih hitungannya keluarga. Masak dengan keluarga sendiri perhitungan. Pelit amat.
"Oi, Jigong T-rex! Kau pikir dari Sungai Rengas ke Sungai Jawi, motor aku pakai air hujan?"
"Baaaah ... diskon, lah, dikit." Aku menawar.
"Dah, bayar aja 65."
"Sip ... terus bonusnya apaan? Aku minta bitter molen keju, ya," pintaku lewat pesan.
"Milih pula, tuh."
"Please-lah, kan keluarga," rayuku.
"Ah, kau ngaku keluarga pas perlu aja. Okelah, jam 9 nanti aku antar."
"Abis Isya aja Sel."
Dia mengakhiri pesan dengan emot yang menyatakan 'OK'.
Karena masih lama makanan datang, lebih baik aku berjalan-jalan pagi sekitar rumah. Kain kuganti dengan celana training panjang. Baju koko kutukar dengan baju bola Inter. Lalu cuuus, berjogging ria sambil cuci mata.
Pas mau keluar, tak sengaja aku melihat kopi di atas meja yang tadi enggan kusentuh. Aku tersenyum. Lalu, sruput, lah, sudah. Sayang kalau tak diminum. Mubazir. Kopi sama gula kan belinya pakai duit, bukan pakai daun kelor.
***********
Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela
"Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik
Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."
"Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha
Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak
Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela