Home / Lainnya / Katanya, Aku Pelit / Mecahin Telor Jep

Share

Mecahin Telor Jep

last update Last Updated: 2021-07-08 15:38:10

Segar juga rasanya jalan-jalan pagi di kampung. Udaranya masih adem. Namun, jangan coba-coba ke luar rumah kalau sudah agak siangan sedikit. Pontianak panas luar biasa. Saking panasnya, kalau ada yang letak telur mentah di luar, terus ditinggal sebentar, balik-balik pasti sudah jadi anak ayam. Ajaib, kan?

Aku ikut berbaur dengan komplotan janda-janda muda yang berkumpul di lapangan voli untuk latihan senam diiringi musik india bernada koplo. Enak, enak, joosss! Sesekali mataku nakal mencuri pandang. Lumayan buat penyegaran.

Seusai senam, janda-janda muda itu mulai berbicang hangat. Mulanya, mereka membahas mengapa harga terong meroket. Lalu, beralih ke pembahasan politik. Dan akhirnya beralih ke topik awal, yaitu terong. Namun, terong yang dimaksud berbeda dari yang awal. Aku saja sampai senyum-senyum malu mendengarkannya.

Ada baiknya ternyata ikut berkumpul dengan mereka. Selain mata jadi cerah, pikiranku yang semulanya kalut juga menjadi sedikit lebih baik. Walaupun, rasa kesal masih tersisa di hati.

Oleh karena matahari mulai meninggi, aku pun memutuskan berjalan pulang. Namun, langkahku berhenti bila mana melihat dua orang pemuda berusia tanggung sedang bersantai di bawah pohon mangga.

Sepertinya dua orang itu sedang berdiskusi tentang masalah yang kuyakini tak sampai di otak mereka.

Sebagai pemuda ramah dan baik hati, aku pun mendekat dan menyapa mereka. "Helloow, everybody."

"Eh, Bang Ipit Kalishgan." Shuaib menundukkan kepala sedikit, menaruh hormat padaku yang bertampang lebih tua.

"Iya. Aku Ipit Kalishgan. Lelaki yang berubah tamvan jika berdiri tepat di bawah sinar rembulan. Jadi, apa yang kalian omongkan dari tadi? Pasti masalah Kak Nurmah yang pagi-pagi rambutnya selalu basah, kan?" tuduhku.

Salah satu rumor yang kudengar ketika berkumpul dengan janda-janda muda tadi ialah ini. Mereka mengghibahkan Kak Nurmah yang rambutnya selalu basah saat pagi, padahal janda juga. Aku malah menganggap itu hal yang wajar karena jika orang habis mandi, tentu saja rambutnya basah. Mana ada orang mandi kering. Iya, kan?

"Ah, Abang suudzon. Biar muka jelek, asal hati baik, Bang." Jep sepertinya sedang menyinggungku. Untung saja aku bukan tipe orang yang emosian. Jika iya, tentu dia sudah kutonjok sampai babak belur.

"Lalu, apa yang kalian ributkan?"

"Ini, si Shuaib mau ketemuan sama cewek. Mereka dijodohkan."

"Nyamanlah kau, Ib." Kutepuk pundak Shuaib, lalu mengguraunya, "Tak kesepian lagi kalau malam."

"Masalahnya, dia ini pemalu," ungkap Jep.

Aku menimbang sejenak sembari mengelus dagu. Sepertinya, hal ini bisa kumanfaatkan untuk mendapatkan uang. Ini zaman edan, mana ada yang gratis. 

"Kalau gitu, biar aku ajarkan. Tetapi, ada imbalannya." Aku tertawa kecil.

"Berapa, Bang?"

"Tak usah banyak. Cukup bayar aku seratus ribu saja."

"Boleh, Bang. Tapi, bayarnya nanti sore, ya," tawar Shuaib.

Karena menganggap hal tersebut bukan sebuah masalah, aku pun menyetujuinya, lalu mulai memberikan saran. "Nanti si Jep pura-pura jadi ceweknya."

  

Mereka berdua tampak sangat serius mendengarkan.

  

"Terus si Jep bakalan nanya-nanya ke kau, Ib," lanjutku 

"Nanya apa, Bang?" Jep menggaruk kepalanya.

"Nanya yang mudah aja. Misal, hobi kau apa. Ntar kau jawab, Ib. Paham?"

"Paham, Bang." Mereka kompak bersuara.

"Oke. Mulai!" Aku melipat tangan kiri sedikit di atas perut dan menggigit jari telunjuk kanan. Kurasa tingkahku sudah mirip sutradara drama Jepang.

Jep memajukan kaki selangkah. 

  

"Kamu hobinya apa, Bang?" Suara Jep jadi cempreng mayor. Mungkin dia melakukannya supaya terdengar seperti suara cewek. Namun, kenyataannya malah terdengar seperti suara kambing disembelih.

"Eeettt ...." jawab Shuaib gugup.

Sontak aku terkejut, lalu menghentikan peragaan mereka. Saat aku mendekati Shuaib, Jep mengambil dua langkah ke belakang.

"Nggak ada orang yang jawabnya 'eeettt' gitu, Ib. Macam bunyi engsel kurang oli pula kudengar," omelku.

"Saya malu, Bang."

"Ini si Jep kan kawan kau mandi berkubang sambil telanjang waktu kecil. Apa lagi yang mau dimalukan?"

"Oke, Bang. Ulang." Dia menegakkan badan, berlagak seolah-olah siap.

"Ulang, ya," ujarku sambil menarik napas dalam. Sesudah mengembuskan napas lewat mulut, kuperintahkan keduanya untuk memulai adegan. Jep kemudian maju selangkah.

"Kamu hobinya apa, Bang?" tanya Jep dengan suara cempreng yang kali ini agak minor.

"Eeettt ...." Shuaib mengeluarkan suara yang sama seperti sebelumnya.

Puuk!

  

Kadung kesal, kusentil bibir Shuaib. Jep terkejut, kemudian mundur tiga langkah.

"Ib, inikan udah yang kedua kali. Kenapa kau masih gugup?"

"Ma-maaf, Bang." Wajah Shuaib mengiba.

"Ulang?"

Shuaib mengiakan.

"Mulai, Jep." 

Jep maju dua langkah.

"Eeettt ...." Kubekap mulut Shuaib.

"Jep kan belum nanya, kenapa kau udah bersuara 'eeettt' begitu!" teriakku.

"Sabar, Bang," pujuk Jep

Kutarik napas dalam, lalu melepasnya panjang. Setelah emosi agak turun, kutawarkan padanya untuk mengulang sekali lagi. Shuaib mengangguk. Kulepas bekapan tanganku dari mulutnya.

"Eeettt ...." Shuaib bersuara tanpa komando dariku.

Emosiku memuncak. Kutampar muka Shuaib sampai menimbulkan bunyi. Dia pun tersungkur menyamping, menyusur tanah dan pingsan dengan mulut menganga.

"Belum apa-apaan kau udah bersuara! Jangan bikin aku naik darah ya!" Dengan semua bulu di badan berdiri, kumarahi dia yang terkapar tak sadarkan diri.

"Eh, kawan saya itu, Bang." Jep di belakangku menyatakan ketidakterimaannya.

Aku yang kadung jengkel, lalu berbalik badan dan mengangkat si Jep. Tubuhnya kuempaskannya ke atas tanah, seperti adegan di Smack Down. Jeritannya melengking, sementara badannya melengkung. Belum puas, kutendang selangkangannya. Detik kemudian, Jep ikut pingsan dengan lidah terjulur.

"Banyak protes kau! Aku ini lagi merisau di rumah. Eh, kalian pula cari gara-gara." Aku mengeluarkan unek-unek di hati.

Sebelum melangkah pulang, kuletakkan duit sepuluh ribu. "Duit ini kau belikan telor ayam, Jep. Buat ganti rugi tel*rmu yang mungkin aja pecah."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Katanya, Aku Pelit   Sabil

    Sepulangnya Sabil, Tiara terus melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku tahu dia memikirkan banyak kemungkinan. Jiwanya berkecamuk. Perang antara logika dan perasaan tak terelakkan.Aku tak ingin mengakui ataupun menyangkal, jika dia mengajukan pertanyaan tentang hubunganku bersama Sabil karena memang tidak ada yang perlu dijelaskan."Kenal sama orang yang tadi?" Tiara duduk di sofa dengan tangan dan kaki yang bersilang. Dia sudah memulai untuk menggali informasi lewat interogasi."I-iya."Kenapa aku gugup? Ini bukan situasi yang tepat untuk itu."Kok gemeteran suaranya?""Le-lemes, Dek. Bolak-balik WC."Matanya kini menyipit. Dia juga menggeram. Aku tahu kalau istriku itu sedang menahan marah.Tiara bangkit dan berjalan masuk ke kamar. Pintu terhempas keras ketika ditutup olehnya. Bunyi itu membuatku terperanjat dan mela

  • Katanya, Aku Pelit   Makan Daging

    "Mau belanja apa hari ini, Dek?" tanyaku kepada wanita berdaster biru dan rambut berikat satu yang sedang duduk sambil membaca buku."Nggak perlu belanja, Adek nggak masak," jawabnya dengan nada datar."Kenapa pula?""Panci bocor, kualinya bonyok.""Kaaan! Itu jadinya kalo nurutin marah.""Abisnya, Abang, sih." Dia menaruh buku, lalu memanyunkan bibir. Minta dicipok kali."Bukan Abang yang lempar-lempar panci sama kuali," kilahku."Tapi, itu gara-gara Abang yang nggak mau beli dispenser baru."Aku menghela napas. Susah menangnya kalau sudah berdebat sama istri. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar."Oke, lah. Kita makan di luar aja sambil cari dispenser baru.""Kuali sama panci gimana?""Iya, sekalian!" Pandai sekali dia mencari kesempatan."Asyik

  • Katanya, Aku Pelit   Adit dan Angga

    Lembayung fajar melengkung menyisir langit. Indahnya tak memupus kisahku yang perit. Di dalam, hati mengalami pergolakan sengit. Oleh karena sikap dirinya yang sedikit rumit.---------Beberapa hari berlalu, rumah tangga kami kembali dengan lika-likunya. Suaraku memecah sunyi nestapa, memanggil Tiara. Ternyata, gadis yang kuperawani itu berada di samping rumah. Dia menyahut panggilanku dengan satu kata: oi."Oi, ai, oi, ai, oi ... jawabnya yang bener dong." Kepalaku melongok keluar jendela.Seperti biasa, setiap dikasi tahu hanya ekor matanya yang bergerak. Aku pun segera berusaha mencairkan suasan dengan sedikit berbasa-basi. "Ngapain di situ pagi-pagi, Dek?""Ngaduk semen," ucapnya tanpa beban."Iya, iya. Abang yang salah. Udah tau Adek lagi ngambil air ujan, masih aja Abang nanya."

  • Katanya, Aku Pelit   Malam Pertama

    "Ayo, kita ke masjid sekarang. Pak Penghulu mungkin masih ada di sana," ajak Tiara bersemangat."Tunggu dulu. Orang tua Adek nggak dikasi tau?" Tumben ada orang cantik yang ngebet banget nikah sama orang jelek, yaitu aku."Saya hidup sebatang kara, Bang. Udah nggak ada keluarga." Wajah ayu nan elok itu menunduk lemah. Raut kesedihan mulai menjalar naik."Keluarga yang lain?" Aku coba memastikan keadaan. Dia menggeleng sambil memilin ujung kerudung.Bunyi helaan napas berat dariku memecah keheningan yang tercipta sesaat. "Ayo, lah," ajakku.Tiara menaikkan pandangannya. Mungkin sedang mencari kejujuran lidah ini. Sebelum akhirnya dia mengangguk dengan buliran kecil yang bergerak perlahan di sudut matanya.*******"Saaaaah ...." Suara kawan-kawan yang ha

  • Katanya, Aku Pelit   Awal Perjumpaan

    Sepulang dari membayar si tukang martabak, aku merasa kepala agak berat, ngenyut di belakang. Perut juga mual, pengen muntah.Jangan-jangan aku hamil? Eh ....Pintu kamar kuketuk pelan. Tiara membukanya dengan wajah yang masam dan kusut, kayak bulu ketiak yang kelamaan dikepit. Paham, kan?"Apa, sih, Dek? Kecut gitu mukanya?"Jodoh yang katanya cerminan diriku itu pun duduk bersolek di depan kaca tanpa menjawab. Masih marah agaknya."Ingat, lho, Dek ... istri shaleha itu kalau suaminya pulang akan menyambut dengan wajah yang menyenangkan," lanjutku mengingatkan. "Meruntuhkan semua beban." .Makhluk secantik bidadari yang kutegur, melirik. Ekor matanya bergerak pelan seakan-akan ingin menepis kebenaran kata-kataku barusan.Tubuh ini jatuh menelentang di atas springbed. Tanpa sengaja, adegan cicak

  • Katanya, Aku Pelit   Martabak

    Bulan mengadu sendu pada malam, gelap telah menyakitinya sangat dalam sehingga cahayanya mulai temaram dan langit pun menjadi kelam.Kupanggil manja si dia yang mengambil keperjakaanku."Apa, sih, Bang?" Tiara melihat ke arahku sebentar, sebelum kembali fokus ke layar pipih yang harganya lebih mahal dari milikku.Melantai aku di dekatnya. Perlahan, tangan bergerak memegangi ujung daster berumbai itu, mencoba menyingkapnya."Aigooo ...!" Kepalaku digetok Tiara yang matanya membulat seperti mau melompat, sedangkan bibir bawah dia gigiti.Tak terima, badan berlemak ini pun bergoyang tak tentu arah. Wajah pas-pasan kupasang mengiba, suara merengek mulai keluar. Reaksiku sudah persis anak kecil yang minta dibelikan Kinderjo*, tetapi tak dikasi."Apa sih?" ujarnya, yang mungkin mulai merisau dengan ketidakjela

  • Katanya, Aku Pelit   Nikahan Adit

    Cakrawala menyapa rindu pada arunika, setelah setengah hari tak berjumpa.Tanpa memedulikan Tiara, aku melangkah keluar kamar setelah membuka pintu. Sesak di dada kutahan sebisa mungkin. Harga diri suami sedang dipertaruhkan.Aku melewati jalanan berdebu aspal dengan kecepatan tinggi, membawa diri untuk menyepi. Menyadari diri ini bukanlah sosok yang dia cintai, hanya membuatku semakin sakit hati. Inikah rasanya dikhianati?Aku berhenti di ujung sebuah bukit. Hamparan pemandangan indah di atas jurang kupandangi dalam. Dersik pun menjadi kawan."Tiaraaa!" teriakku. Gemanya terdengar berkali-kali. "Kenapa kau berkhianaaat?!"Namun, tiba-tiba saja kepalaku seperti ada yang ngegeplak. Badanku sontak berbalik ingin melihat siapa gerangan yang berani berbuat demikian. Seorang lelaki tua berdiri dengan berkacak pinggang.

  • Katanya, Aku Pelit   Sakit Hatiku

    Sesampainya di rumah, aku langsung memanggil Tiara. Barang-barang pesanannya kuletakkan ke atas meja.Tak lama, Tiara berjalan dari arah dapur. Menghampiri, lalu mencubit pipiku yang membulat macam bakpao. "Makasih, Abang. Tapi, ini kenapa basah?" Tiara menunjuk bajuku."Oh, tadi kena air pas nyuci muka. Cuaca panas," kilahku.Tiara langsung kembali ke dapur. Aku menyusul. Hening tercipta karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku pun berinisiatif mencairkan suasana."Hmmm." Tiara menjawab dengan gumaman sesaat setelah kutegur.Kupeluk dia dari belakang. "Abang boleh kawin lagi nggak?""Apaaa?!" Suaranya yang menggelegar mungkin saja terdengar sampai ke Arktik (Kutub Utara)."Bergurau, Dek ... kan Adek yang bilang kalo suami-istri itu harus sering

  • Katanya, Aku Pelit   Pengakuan Renata

    Permintaan Tiara semakin hari semakin banyak dan semakin mengada-ada saja. Pulang kampung? Untuk apa? Itu malah membuat kami mengeluarkan duit pada hal-hal yang tidak perlu. Pemborosan. Padahal, dulu dia tak pernah protes dengan apapun yang kuberikan, tak juga meminta untuk dibelikan. Dia berubah setelah mulai membaca cerita di grup kepenulisan. Aku semakin yakin, kalau emak-emak di sana, lah, yang mengajarinya, menjadi mentornya.Awas kalian, emak-emak. Tunggu pembalasan Gerandong."Bang, beliin Adek kapas bersayap, dong." Tiara menghampiriku yang sedang asyik membaca surat kabar lama. Aku memang lebih memilih membeli surat kabar yang telah lewat masanya dalam jumlah banyak sekaligus. Dihitung perkilo. Harganya lebih murah jika dibandingkan harus membeli yang baru tiap hari. Sudah mahal, dapatnya cuma satu lagi."Apaan?" Aku melepaskan kacamata."Pem-

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status