Share

2. Gara - Gara Leher

     Kanya menghempaskan tubuhnya ke kasur dengan menghela nafas berat. Pelajaran olah raga hari ini begitu melelahkan. Membuat tubuhnya terasa remuk.

Kanya melirik kalender yang sebagian angkanya di lingkari spidol merah, tidak terasa sudah 3 minggu dia di sini di temani gosip yang tidak kunjung hilang. Malah gosip yang semakin hangat.

Gosip terakhir yang kini berkembang itu semua masih ulah pelaku yang sama yaitu Nata.

Kanya mendesah lelah mengingat itu. Sungguh muak dan rasanya ingin mencabik - cabik wajah si pelaku yang begitu santai menanggapi semuanya.

Jelas saja semua gosip semakin berkembang, Nata selalu mengikutinya dan jika ada kesempatan dia selalu mengusap leher Kanya dengan tidak tahu tempat. 

Tentunya tidak sopan juga dan bisa di bilang pelecehan!

Kanya akui dia lelah jadi bahan gosip seantero sekolah, telinganya selalu panas rasanya.

Tak hanya itu, gosip dirinya dengan Nata membuat harga dirinya jatuh.

Kanya selalu menjaga kesuciannya. Kanya merasa rendah saat orang - orang menganggap hubungannya dengan Nata menjurus ke hubungan yang kotor.

Hanya karena satu ruangan? Sempit sekali memang pikiran mereka! Gemarnya menduga - duga pun menjadi alasannya.

"Sebenarnya ada apa sih di leher aku—" gumam Kanya seraya berjalan menuju cermin.

Wajahnya di tekuk lesu, kusut dan muram.

Kanya mengamati lehernya, sudah tidak terhitung berapa kali tetap saja tidak ada jawaban.

Kanya memperhatikan leher orang lain, sama saja seperti miliknya perasaan.

Entah sihir apa yang ada di lehernya. Kanya menyerah untuk terus bertanya soal itu!

***

"Lo serius incer murid baru? Cewek itu? Bukannya lo anti cewek selama ini?" tanya Fajar terheran - heran, tidak percaya dan penasaran tentunya.

"Gue engga bilang engga suka cewek, kalian semua aja yang bikin gosip itu." jawab Nata seperti biasa, acuh. Nata tidak terlalu ambil pusing soal pemikiran orang terhadapnya.

Mereka jelas tidak bisa Nata kendalikan, jadi ya biarkan saja. Mereka tidak tahu kehidupannya seperti apa.

"Jadi lo normal? Guru - guru bahkan percaya soal lo gay!" Fajar berseru agak gemas. Nata benar - benar acuh, bahkan pada sahabatnya sendiri.

Fajar harap, Nata bisa berubah atau di ubah. Kecuekan Nata berlebihan seperti lemak si Agus.

Nata mengangkat bahunya tak peduli."Soal itu gue ga tahu, gue akui gue tertarik sama Kanya." akunya jujur.

"Itu karena lo terlalu cuek, kesalahpahaman kalo terus di biarin itu ga baik Nat," Fajar menghela nafas pendek saat Nata masih betah cuek - cuek bebek."bahaya dong kalo lo terus satu ruangan sama dia." lanjutnya saat sadar soal fakta itu.

Nata meletakkan seragam basketnya ke loker lalu menatap Fajar dengan senyum menyebalkan."Doain aja gue bisa tahan, liat lehernya aja gue bisa hilang kendali." kekehnya pelan di akhir.

Fajar menggeleng samar."Lo bajingan ternyata," Fajar bergumam pelan." gue doain kalian di pisahin ruangannya!" serunya dengan begitu menggebu.

Nata kembali menata lokernya."Gue ga yakin soal itu, jangan lupa, gue anak dari yang punya sekolah." balasnya begitu enteng.

Fajar mendengus, sialnya dia hampir melupakan fakta itu!

***

Kanya menghela nafas panjang, sudah ketiga kalinya dia mengirim surat agar di pindahkan ruangannya atau meminta solusi lainnya. Tapi, tetap saja tidak ada jawaban. Mereka seolah tuli dengan apa yang di mintanya.

Membuat Kanya frustasi saja!

Kanya membawa langkahnya keluar dari ruang guru dengan lunglai, sang papa yang sibuk di luar kota rasanya kasihan untuk berkeluh kesah padanya.

Kanya tidak ingin menambahkan beban di pundak sang ayah.

"Ngapain?" bisik seseorang di belakangnya. Kanya sontak tersentak kaget, dengan cepat mengusap dada.

Di tatapnya Nata yang kini di sampingnya itu dengan benci dan penuh permusuhan."Bukan urusan kamu!" ketus Kanya seraya mempercepat langkahnya, mengabaikan poninya yang berantakan karena terpaan angin. 

Yang paling utama, Kanya tidak ingin anak - anak semakin menyebarkan gosip yang tidak - tidak. 

Nata mengikuti Kanya dengan santai, bibirnya yang tidak pernah tersenyum kini terangkat walau sedikit.

Kedua matanya masih asyik menatap ikat rambut Kanya yang terlihat kesana - kemari, seolah melambai - lambai.

Nata berdecak tidak suka, leher Kanya hanya untuknya, hanya boleh di lihat olehnya sendiri.

Nata mempercepat langkahnya lalu menarik ikat rambut Kanya yang sontak membuat Kanya menoleh kaget.

"Apaan sih?!" semprot Kanya dengan sewot.

Kanya merapihkan rambutnya yang sempat seperti singa itu lalu kembali melangkah, malas untuk berurusan dengan Nata.

Nata kembali mengekor dengan santai, kakinya yang panjang tidak mempersulitnya, bahkan Kanya lari pun baginya hanya berjalan biasa, Nata masih bisa mengimbangi langkah pendek Kanya.

Nata memainkan ikat rambut milik Kanya di jemarinya dengan tatapan masih menyorot punggung cantik itu.

Anak - anak yang kepo di sekitaran kelas hanya menatap keduanya gemas.

Yang satu jual mahal dan yang satu tidak pantang menyerah, membuat yang melihatnya menjadi baper sendiri, mengesampingkan rumor gay Nata.

Kanya mengerang kesal saat Nata masih mengekor di belakang. Kanya membelokan langkahnya menuju toilet wanita.

'Tau rasa! Ga bisa masukkan!' batin Kanya berseru dengan begitu puas.

Kanya mengatur nafas lalu menatap cermin di depannya."Oh astaga!" pekik Kanya saat melihat bayangan Nata di dalam cermin.

Kanya mengusap dadanya lalu membalikan badannya, menatap Nata berang."Apa - apaan sih! Keluar!" teriak Kanya dengan nafas memburu karena emosi.

Nata malah mendekat lalu berhenti satu langkah di depan Kanya. Tangannya terulur hendak mengikat rambut panjang Kanya yang sebagian basah oleh keringat.

Cuaca memang panas di luar, Kanya pasti gerah pikir Nata mengalah.

Kanya beberapa kali menepis, menolak sebisa mungkin namun Nata masih bisa mengendalikan pemberontakan Kanya.

"Diem! Kesannya aku lagi anuin kamu." ceplos Nata dengan santainya.

Kanya membolakan matanya kesal, bibirnya menipis saking kesalnya. 

Apa? aku - kamu? Kanya menggeram muak. Rasanya Kanya mual! Menggelikan!

"Bisa ga sehari engga ganggu? Aku cape!" teriak Kanya di depan wajah Nata, tidak peduli jika nafasnya bau!

Nata pingsan lebih bagus.

Nata mengusap kepala Kanya, merapihkan hasil ikatannya. Nata menatap Kanya santai, memasukkan tangannya ke dalam saku celana tanpa mengubah jarak.

Kanya kini menatap Nata redup, dia memang lelah dan tertekan. Semua orang tidak ingin dekat dengannya, selalu menghindarinya karena gosip itu dan parahnya para laki - laki merendahkannya baik lewat ucapan atau tatapan.

Emosinya yang menumpuk membuat Kanya rasanya ingin menangis saja saking tidak tersalurkan dan Kanya tidak kuat menahannya.

"Aku cape, aku mau kehidupan sekolah yang normal seperti sebelumnya, aku mau pulang—" kini Kanya menangis meraung - raung seperti bocah 5 tahun. 

Kanya bingung harus berkeluh kesah pada siapa, sahabatnya yang dulu susah di hubungi.

Nata menatap Kanya datar. Nata berpikir pasti Kanya tertekan begini karena anak - anak di sekolahnya, haruskah dirinya memperingati semua anak - anak di sekolah ini?

Kalau Nata yang harus mundur, maaf dia tidak bisa. Sejauh ini Kanya yang hanya bisa membuatnya tertarik.

Kanya menghentikan tangisnya walau masih tersedu - sedu. Mata merah basahnya menatap Nata yang kini mendekat, tanpa kata Nata kembali mengusap leher Kanya sekilas.

"Jangan nangis, aku pergi." Nata pun berlalu.

Bukannya mereda, Kanya malah semakin keras menangis. Air matanya tiba - tiba tumpah tidak terkendali.

Sepertinya, untuk lepas dari Nata akan sulit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status