Dewa menghela nafas lirih, dia yang selalu terlihat dingin, brutal kini turun harga jadi menggemaskan, tentu saja Dewa merasa tak terima tapi dia tidak bisa marah karena Dewi pelakunya dan Dewa semakin tidak bisa marah karena ulahnya Dewi begitu senang, selalu tertawa ketika menggodanya, seperti saat ini.
"Lucu.." Dewa membingkai wajah Dewi yang tengah tertawa itu dengan mengulum senyum kecil penuh cinta.
Perlahan Dewi menghentikan tawanya lalu di ganti senyuman kecil."Hm, kamu lucu kayak anak kecil." balas Dewi dengan semakin melebarkan senyumnya yang membuat kedua mata itu menyipit ikut tersenyum.
Dewa mengusap pelan pipi Dewi."Maksud aku, kamu lucu kalo terus kayak gitu, aku semakin semangat buat bikin kamu bahagia.." Dewa menggigit bibir bawahnya menahan senyumnya saat melihat bias merah menghiasi pipi Dewi.
Dewi melepaskan kedua tangan Dewa dengan salah tingkah, Dewi berdehem pelan.
Braya menahan Dewa yang hendak maju melawan Nando, anak sebrang sekolahnya."Jangan di ladenin Wa, inget! Kita udah beda jalan sama dia.."bisik Braya dengan serius."Cemen ya sekarang, di ajak ga mau, takut lo?" ledek Nando yang langsung mengundang tawa anak buah Nando."Mungkin mereka mau pake rok Nan.."tambah Dodit, teman Nando.Dewa tersenyum miring."Gue ga peduli dengan pemikiran kalian, yang tahu hidup gue ya gue, gue udah bahagia jadi ga perlu usik hidup orang lain, lo usik gue kayak gini karena hidup lo ga bahagiakan?" Dewa melebarkan senyumannya dengan begitu puas.Wajah Nando mengeras."Ini perkara sejarah turun temurun sekolah kita! Ga ada sangkut pautnya sama hidup pribadi gue.."tekan Nando dengan menunjuk wajah Dewa."Sejarah? Lo bangga dengan mengorbankan nyawa demi sejarah sekolah itu? Ah! Soal harga diri? Gue ga pentingin itu yang jelas gue ga mau ada lagi
Elsa tengah menonton televisi di samping Dewa dan Atiya."Jadi pacar kamu anak Harry? Mama langsung setuju." ucapnya dengan sesekali mengunyah.Dewa tidak merespon, dia masih asyik dengan acara sepak bola di depannya."Dewi kayaknya baik, kapan di ajak main ke sini. Mau mama ajak takutnya Dewi malah ga nyaman."Atiya melirik Dewa yang masih bungkam itu lalu menggeleng samar. Atiya bahkan tidak paham dengan mereka yang menonton pertandingan bola dalam keadaan hening.Ajang dunia di hadapan mereka dan reaksi mereka acuh tak acuh, seolah hanya ingin tahu hasil akhirnya saja."Papa mau ajak kita liburan, menurut kalian gimana?"Dewa tersenyum miring."Ngapain? Jangan buang - buang waktu, bukannya uang lebih berharga? Terus aja cari uang!" balasnya.Elsa memberengut sedih."Katanya tobat? Kok masih aja marah? Papa sibuk bukan kema—"
Dewi tersenyum ramah menyambut Nata, kakek Dewa. Di usianya yang sudah menua tetap terlihat segar. Tampat tentunya."Mantu kakek ada di sini, mana Dewanya kok kamu di tinggal, nak." di peluknya Dewi sekilas."Dewa lagi mandi dulu katanya gerah, kek.""Eum begitu. " Nata masih duduk di kursi roda samping Dewi."kakek udah siapin rumah, kalian cuma siapin gaun sama cincin yang lainnya biar para orang tua yang sibuk ya, resepsi juga di adain setelah lulus kuliah aja ga masalah?"Dewi sudah membicarakan hal itu dengan Dewa dan dia setuju."Iya kek, Akad aja dulu." balasnya."Hm, kakek seneng dengernya, zaman sekarang itu terlalu bebas daripada menumpuk dosa lebih baik di sahkan lebih cepat.." Nata menerawang jauh."dulu, dengan mendiang nenekmu, kakek nikah muda. Walau banyak yang harus di pertimbangan, tapi percayalah, nikah muda itu lebih baik dari pada menumpuk dosa." lanju
Dewa menatap Dewi yang sudah terlelap di sampingnya. Keduanya sudah sah beberapa jam yang lalu, hanya ijab dan keluarga terdekat saja yang hadir."Malam pertama malah di tinggal tidur.." guman Dewa lalu memeluk Dewi gemas. Dewa tidak menyangka keduanya sudah sah."Hm, Jangan kenceng peluknya.." lirih Dewi dengan suara serak."Aku masa di tinggal sayang, malam pertama kita loh sekarang.." bisik Dewa terkekeh pelan."Aku cape."rengek Dewi pelan tanpa membuka kedua matanya yang terasa berat."Aku becanda, masih ada besok kok.."***Dewa dan Dewi saling melempar senyum, pagi yang begitu indah pikir keduanya. Matahari sudah semakin tinggi tapi keduanya malas untuk beranjak dari tempat tidur."Ih jangan liatin aku kayak gitu, malu." Dewi menutup wajahnya dengan kedua
Dewa menatap tak terbaca mantan sahabatnya itu. Jessy menunduk lesu, terlihat kurus dengan rambut tak terurus."Hal gila apa yang lo lakuin Jes?"tanya Dewa buka suara."Semua kecelakaan, sebelumnya aku mabuk." jawab Jessy dengan cepat, tangannya mulai kembali bergetar, rasa cemas pun mulai menyapa."Tapi lo harus tanggung jawab, keluarga Abimanyu pasti ga akan diem." ucapan Dewa semakin membuat Jessy gelisah ketakutan.Jessy pun akhirnya terisak."Bantuin gue Wa, gue ga sengaja hiks gue kalut saat tau lo nikah sama Dewi."aku Jessy pilu.Dewa memejamkan matanya sekilas."Dengan lo mabuk - mabuk keadaan akan berubah? Engga Jess, lo malah memperburuk keadaan, gue ga bisa bantu, minta ke bokap, nyokap lo yang jelas berhenti berulah lo ga gini sebelumnya, jangan jadiin gue sebagai alasan.." tegasnya.Jessy menghapus air matanya."Iya maaf Wa tapi gue minta tolong, ba
Dewa, Dewi, Atiya, Elsa dan Rafa baru saja sampai di kediaman Qiano dan Syasya yang ada di Milan. Semua terlihat bahagia, Qiano dan Syasya menyambut dengan sangat hangat."Cucuku." Syasya memeluk Dewa dan Atiya bersamaan lalu beralih pada Dewi, mengusap punggung lalu pipinya."Jadi ini yang membuat cucu nenek berubah, lebih bahagia?"Dewa mengangguk."Dewinya Dewa, nek." balasnya."Nama yang indah, jaga kalau punya anak namanya Revan ya, titip nama nenek hehe." suara nenek - nenek begitu khas dan menenangkan."Ayo masuk, kita ngobrol di dalam." kata Qiano dengan tenang namun hangat.Mereka masuk, saling memeluk dan mengobrol hangat. Rasanya sudah lama Qiano dan Syasya tidak sebahagia itu.***"Jadi mau rencana punya anak berapa? Apa di tunda?" Syasya masih setia
Bella merangkul Rachel dengan senyum terus terbit di bibirnya yang tengah sariawan itu. Bella tidak peduli dengan rasa sakitnya karena ada yang lebih sakit dari itu dan Bella sudah terbiasa."Lo engga capek emang Bell?" tanya Rachel heran."Ha? Senyum maksud lo?" tanyanya masih dengan senyuman lebar.Rachel berdecak seraya melepas rangkulan Bella di bahunya."Lo ngejar Revan terus, gelayutan sana - sini. Engga malu emang banyak di katain?" kini Rachel yang merangkul Bella.Keduanya tengah berjalan menuju kelas setelah makan di kantin."Enggalah, udah biasa mungkin. Kita itu dari jaman pake popok bareng terus jadi jangan bilang gue ngejar tapi takdir aja yang demen deketin gue sama Revan." acuhnya dengan mengangkat bahu.Rachel terkekeh seraya menoyor pelan kepala Bella."Tapi tetep aja lo dempet Revan terus, sampe dia jomblo selama ini! P
Bella yang belum pulih itu dengan keras kepala ingin ke rumah Revan. Bella tidak bisa diam saat tahu kalau Revan sakit. Pantas saja waktu jalan wajah Revan sedikit pucat, ternyata bukan perasaannya saja."Di kamar baru selesai makan, kalau di paksa sama kamu pasti mau minum obat. Gih samperin.." ujar Dewi, mama Revan.Bella mengangguk kecil lalu membawa langkahnya yang masih lemas itu ke lantai atas di mana kamar Revan berada."Gue masuk ya.." perlahan Bella masuk, pandangannya mencari Revan yang ternyata baru keluar dari kamar mandi."Ngapain di sini, pulang." acuhnya seraya melangkah menuju kasur.Bella menutup pintu dengan bibir cemberut, padahal dia berjuang untuk sampai di depan Revan."Jenguk,"Revan merebahkan tubuhnya yang sangat terasa dingin dan lemas itu."Orang sakit jenguk yang sakit? Jangan banyak tingkah, pulang." us