"Pokoknya, Mas nggak akan pernah menerima perceraian ini, Wa! Kamu selamanya akan tetap jadi istri Mas!" ucap Bian keras kepala.
Kehilangan Najwa adalah kejatuhan paling rendah dalam hidupnya. Wanita itu adalah harapan terakhir yang tersisa untuk Bian bisa kembali hidup senang seperti dulu.Namun, jika sekarang Najwa benar-benar sudah lepas dari genggaman, itu artinya hidup Bian selamanya akan terus dipenuhi penderitaan."Kenapa susah sekali untuk kamu memaafkan aku, Wa? Padahal, aku sudah mengaku salah! Aku sudah bilang, kalau aku khilaf. Aku menyesal karena telah menyakiti kamu dengan menghadirkan Salma ditengah-tengah kita.""Dan aku juga sudah pernah bilang, Mas! Nggak ada gunanya menyesal! Karena selamanya, aku nggak akan pernah mau kembali lagi sama kamu!"Bian merasa sangat frustasi. Apalagi yang harus dia lakukan demi membuat Najwa kembali padanya?"Ayo, Pak, Bu! Kita pulang!" ajak Najwa pada kedua orangtuanya.""Astaghfirullahaladzim!! Ibu kenapa?" tanya seorang wanita berhijab yang datang menghampiri Bu Jannah bersama suami dan anaknya."Huhuhu... Tolong Ibu, Nak! Ibu sepertinya ditinggalkan sama anak Ibu," jawab Bu Jannah."Ya Allah, kasihan sekali!" pekik suami wanita itu tertahan. "Memangnya, kenapa Ibu sampai ditinggal ditempat seperti ini?"Bu Jannah menggeleng. Hendak berterus terang, namun dia juga tak tega jika orang-orang ini nantinya malah memperkarakan Bian ke kantor polisi."Mungkin, anak Ibu lupa kalau Ibu masih ada disini, Nak!" jawabnya kemudian."Ibu hafal, alamat rumah Ibu?" tanya wanita itu lagi."Hafal," jawab Bu Jannah."Kalau begitu, Ibu beritahu saja dimana alamat rumah Ibu! Nanti, saya dan suami saya yang akan mengantarkan Ibu pulang.""Terimakasih, Nak! Terimakasih," timpal Bu Jannah lega.Akhirnya, dia tak jadi terlantar. Sebaliknya, mungkin hidupnya akan kembali enak setelah ini."Bu, apa benar, ini rumahnya?" tanya wanita itu pada Bu Jannah."Benar, Nak! Ini rumah
Najwa menghela napas panjang. Dia tahu, keputusannya menerima Bu Jannah malam ini dirumahnya, pasti akan menimbulkan keberatan disisi sang Ayah. "Bapak nggak setuju kalau perempuan tua yang licik itu ada disini, Nak!" ujar Pak Haris bersikeras. "Pak Haris! Tolong maafkan kesalahan saya di masa lalu! Demi Allah, saya menyesal telah berbuat jahat sama Najwa. Dan, sekarang saya sudah mendapatkan karmanya. Anak saya sendiri tega menyiksa bahkan membuang saya." Raungan pilu Bu Jannah kembali membahana. Namun, Pak Haris sama sekali tak tersentuh dengan isak tangis perempuan lumpuh itu. Hatinya sejak lama sudah mati untuk orang-orang yang tega memperlakukan Najwa dengan tidak adil. "Ibu lebih baik istirahat dulu! Nanti, biar Najwa yang bicara sama Bapak," ujar Najwa menengahi. "Terimakasih, Nak! Terimakasih! Kamu memang perempuan berhati malaikat!" puji Bu Jannah. Namun, ekspresi Najwa tampak biasa saja sa
"Nggak! Saya nggak mau pulang! Saya mau di sini!" teriak Bu Jannah histeris. Pak Haris, Bu Dahlia serta Najwa hanya bisa menggeleng pelan. Sementara, Bi Iroh terlihat sudah sangat kesal dengan kelakuan Bu Jannah yang sedari tadi terus saja memerintahnya dengan kalimat kasar. "Kamu nggak bisa mengusir Ibu dari sini, Wa! Ibu juga berhak tinggal di sini! Di rumah ini, ada hak Bian juga." "Hak Bian? Anda melantur, ya? Jelas-jelas, rumah ini dibeli oleh pakde Syamsul untuk Najwa!" sangkal Pak Haris sambil tertawa meremehkan. "Tapi... perabotan di rumah ini, pasti dibeli pakai uang anakku, kan? Nggak mungkin, selama dua tahun membina rumah tangga, Najwa tak pernah membeli sesuatu dengan uang milik anakku!" "Ah, Ibu benar. Memang, aku pernah membeli perabotan dengan menggunakan uang Mas Bian." Senyum penuh kepuasan terbit di wajah Bu Jannah. Dia yakin, jumlah perabotan yang dibeli menggunakan uang anaknya pasti lumayan banyak. "Ibu ingat rak piring kecil yang pernah di rusak Net
"Ibu nggak usah takut! Aku jamin, Mas Bian nggak akan pernah berani menelantarkan Ibu lagi setelah ini," ucap Najwa setelah merasa cukup berbicara dengan Bian."Tapi, Ibu, maunya ikut kamu saja, Wa!" kata Bu Jannah lirih dengan mata berkaca-kaca. Sesekali, dia melirik takut ke arah Bian yang tampak berdiri kaku dengan tangan terkepal.Tatapan Bian yang terlihat begitu mengintimidasi membuat Bu Jannah merasa gentar. Dia yakin, setelah ini sang putra pasti akan membuat perhitungan dengan dirinya.Apa dia akan disiksa lagi?Andai, Najwa bersedia membuka hati untuk membawanya pergi dari tempat itu, pasti Bu Jannah akan bahagia sekali."Maaf, Bu! Tapi, aku benar-benar nggak bisa merawat Ibu lagi. Aku sibuk kerja. Sementara, Bi Iroh juga sudah kerepotan mengurus rumah. Sekarang, Ibu tinggal sama Mas Bian saja, ya! Aku yakin, Mas Bian kemarin hanya khilaf. Iya kan, Mas?" Najwa menoleh menatap mantan suaminya.Gugup, lelaki itu mengangguk. Dia berusaha tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya i
"Mas Bian! Apa-apaan, kamu? Udah gila, ya?" pekik Najwa saat melihat siapa pelaku pemukulan itu."Kamu yang gila!" balas Bian. "Ngapain kamu jalan sama lelaki lain disaat status kamu masih sebagai istriku, hah?" bentaknya keras hingga mengundang perhatian dari banyak orang.Deva yang tadi jatuh terduduk, kembali berdiri dengan tegak. Wajahnya terlihat kesal namun masih berusaha menahan diri untuk tidak membalas Bian karena ada Najwa ditengah-tengah mereka."Maksudnya, apaan nih, Bro?" tanya Deva pada Bian."Najwa istri gua! Ngapain Lo, ngajakin dia jalan berduaan kayak gini? Apa kalian berdua ini nggak punya malu, hah? Kenapa kalian terang-terangan selingkuh di depan banyak orang seperti ini?""Yang selingkuh siapa, sih?" protes Deva tak habis pikir. "Ada, gue pegang-pegang tangan Najwa atau peluk-peluk dia?" lanjutnya sambil tersenyum sinis."Nggak usah ngelak, Lu! Gue udah liat semuanya!" ucap Bian dengan suara keras. "Kamu juga, Wa! Ngapain jadi perempuan terlalu kegatelan? Apa aku
Sial! Sial! Sial! Bian benar-benar merasa sangat kesal karena Najwa tega tidak mengakui Bian sebagai suaminya. Wanita itu bahkan pergi begitu saja dan membiarkan Bian jadi sasaran bully pengunjung lain di supermarket itu. Mereka mengatai Bian sebagai pria yang halu. Pria gagal move on dan masih banyak lagi. Tentu saja, hal itu membuat kuping Bian benar-benar terasa sangat panas. "Awas kamu, Wa! Kalau Mas nggak bisa kembali sama kamu, maka laki-laki lain pun nggak boleh mendekati kamu." * "Najwa! You oke?" tanya Deva yang tadi setengah mati berlari untuk mengejar Najwa. Beruntung, dia berhasil menemukan Najwa sebelum wanita itu naik ke dalam mobilnya. "Ya, aku oke, Mas! Maaf, gara-gara aku, kamu harus terluka seperti ini," ucap Najwa merasa tak enak. Deva meraba sudut bibirnya. Memang masih terasa agak perih, namun masih sanggup dia tahan. "Nggak apa-apa. Yang penting kamu aman," timpal Deva dengan perasaan lega. "By the way, apa benar, kalau laki-laki tadi sudah jadi mantan su
Kening Bu Dian berkerut. Dia mulai menangkap adanya kejanggalan dari ekspresi wajah putrinya."Kamu kenapa, Salma? Kok, muka kamu mendadak pucat, begitu? Kamu sakit?""B-Bu...,"panggil Salma lagi. Wanita itu meremas ujung gaun selutut yang dia pakai."Apa, sih?Kenapa kamu panggil Ibu terus?" tanya Bu Dian tak sabaran."Se-sebenarnya...,""Iya, sebenarnya kenapa?" Bu Dian menunggu dengan tak sabaran."Se-sebenarnya...,""Apa sih, Salma? Kalau ngomong, yang jelas, dong!" bentak sang Ibu yang semakin membuat nyali Salma jadi menciut."U-uang di rekening sudah habis tak bersisa, Bu!" jawab Salma jujur sambil menutup matanya. Setengah mati dia mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kalimat itu."Ha-Habis?" Mata Bu Dian langsung melotot tajam. "Maksudnya, gimana? Kok, uang di rekening bisa habis? Kamu apakan?" lanjutnya dengan suara melengking."Beberapa hari yang lalu, Dika sempat telepon dan bilang kalau Bapaknya kena serangan jantung, Bu! Jadi, Salma kirimin dia duit tiga puluh juta u
Salma akhirnya pulang dengan tangan hampa. Selain itu, hatinya pun ikutan patah. Lelaki pujaan yang selama ini begitu ia cinta, ternyata tak lebih dari seorang penipu semata."Sialan!!" umpat Salma sambil memukul tasnya sendiri. Dia anggap, tas itu sebagai pengganti sosok Dika untuk menerima kemarahan darinya."Kalau kayak gini, masa' aku harus beneran minta uang sama Mas Seno, sih? Apa dia punya? Sementara, kemarin kita jalan-jalan dan main di hotel aja, malah aku yang disuruh bayar."Salma menggigit kuku jarinya. Dia gugup, bingung, cemas sekaligus takut."Ya, nggak ada pilihan lain. Aku harus minta tolong sama Mas Seno," ucap Salma mantap.Mobil rentalan yang dia kendarai akhirnya melesat meninggalkan kampung Dika. Tujuan berikutnya dari perjalanan ini adalah kantor tempat Seno bekerja.Semoga saja, di sana, Salma bisa mendapatkan solusi. Toh, bukankah Seno sangat tergila-gila padanya? Apapun selalu lelaki itu berikan meski nominalnya tak pernah lebih dari satu juta perhari."Loh,