"Bukan sekarang Sayang, tetapi besok. Pasti besok dia datang lagi." Aku membujuk Naya terus menerus agar ia mau mendengar usulanku segera ke kamar.Aku sangat mengantuk, tetapi tidak mungkin membiarkannya duduk sendiri di sini semalaman. Sebenarnya aku tidak ingin membuat putriku bersedih untuk kesekian kalinya karena membutuhkan sosok ayahnya. Namun aku juga tidak ingin dibodohi dan dibohongi oleh lelaki yang dipanggilnya Ayah itu. Hatiku sudah beku untuknya. Bagaimana mungkin dia mengkhianatiku dan menikahi sahabatku sendiri. Dan wanita itu seakan tidak ada penyesalan di matanya, atau sekedar menyapaku lewat WA atau FB dengan kata maaf atau semacamnya.Luka yang mereka tinggalkan untukku belum sepenuhnya kering. Hati ini seakan tersayat belati dan masih menyisakan luka yang lebar. Sangat sulit untuk diobati. Mereka berkhianat kepadaku dan seakan telah lama merencanakannya di belakangku. Aku tidak mungkin mau terjerumus ke lembah yang sama. Seperti biasa, Naya akhirnya menyerah ju
"Ini apa, Han?" Ia meraih berkas yang aku berikan kemudian menatapku dengan seksama. Ia memerhatikan isi dokumen tersebut dengan teliti. Kebetulan pagi tadi setelah mengantar Naya, aku langsung ke kantor pengadilan untuk mengambil berkas pendaftaran perceraian. Aku sudah mendaftar beberapa hari yang lalu."Kamu serius, Han?" Aku hanya mengangguk mendengar pertanyaannya sambil menoleh ke samping, tidak ingin menatapnya. Bismillah aku sudah siap dengan keputusanku! "Dengar! Bagaimanapun juga, aku tidak bersedia berpisah. Mas tidak akan pernah mau." Suaranya terdengar berat dan bergetar karena marah.Ia membuang dokumen yang aku berikan begitu saja di atas meja. "Ini keputusanku, Mas! Kau tidak punya hak mengaturku. Aku berhak memutuskan apapun yang terbaik untukku," ujarku tak kalah geram dengan kelakuannya. Aku pun berlalu, tidak peduli dengan reaksinya.Ia hendak meraih tanganku, tetapi aku tepis. "Han! Aku tidak bisa melepaskanmu dan juga Naya. Aku punya tanggung jawab pada putr
POV AdnanSiapa sebenarnya lelaki itu? Hampir setiap hari aku melihatnya ke kedai ini dan bercerita bersama Jihan. Mereka terlihat sangat akrab. Aku benar-benar tidak fokus bermain dengan putriku. Mata ini memerhatikan mereka dari kejauhan. Jihan nampak asyik mengobrol dan bersenda gurau dengan lelaki di depannya. Senyum menyungging dari bibirnya. Beberapa minggu ini aku tidak pernah lagi melihat senyum tulus itu, seakan tidak ada beban.Senyum tulus yang hanya diberikan kepada orang yang seharusnya tidak boleh dia berikan. Sepertinya, aku merindukan senyum itu.Argghh, aku tidak bisa diam begini saja!"Ayah, kenapa tidak jemput Naya di sekolah? Ayah ... Ayah ...." Aku baru saja tersadar dari lamunan. Naya memanggilku dengan menarik celanaku berkali-kali. "Oh, iya. Kenapa Nak? Naya baru saja bilang apa ke Ayah?""Naya bilang, kenapa Ayah gak jemput aku di sekolah?""Oh, Ayah sibuk bekerja, Nak. Lain waktu saja, ya. Ayah janji akan datang menjemputmu ke sekolah.""Janji ya, Ayah!"
POV Adnan"Naya, cepat masuk, Nak! Sudah malam. Mas seharusnya membawa jam tangan atau jam walker sekalian agar mengingat waktu.""Maaf, tadi Naya keasyikan bermain sehingga lupa waktu. Lain kali, aku akan memerhatikan lagi waktu." Aku meminta Naya agar segera masuk. Aku tidak boleh gegabah membuat kesalahan untuk sementara waktu. Tidak boleh secepat ini. Sebisa mungkin Jihan harus luluh dengan usahaku memperbaiki diri agar dia yakin denganku. Wanita dengan bulu mata lentik itu tidak menyahut atas jawabanku. Dia hanya berbalik dan hendak menutup pintu. "Ayah!" Naya berbalik, memanggilku. Tadinya, aku akan pergi."Iya, Nak.""Ayah gak bobo di lumah? Kok, bobo di tempat kelja telus?" Mata gadis kecil itu masih menatapku, menunggu jawaban.Aku jadi kikuk, bingung akan menjawab seperti apa. Pertanyaan anak kecil itu cukup membuatku salah tingkah. Entah akan berkata jujur atau tidak. "Iya, Sayang. Dia harus kembali bekerja, tidak ada hari selain bekerja dan bekerja," sahut Jihan dengan
POV Adnan"Nak, semua itu?" tanya Ibu dan menatapku juga. Aku belum menjawab pertanyaan mereka. Semakin aku menjawab, semakin mereka akan bertanya kenapa dan mengapa."Coba kami periksa, ya. Akan kami informasikan kalau sudah mencukupi atau ada yang kurang," ucap mereka, kemudian menerima perhiasan yang aku berikan."Baik, Pak. Tolong buatkan kwitansi dan bukti pembayaran untuk kami." Setelah mereka membuatkan kwitansi dan menyerahkan padaku, kedua lelaki itu izin pamit. Kami diminta untuk menunggu kabar selanjutnya dari mereka.Aku berbalik dan menyerahkan beberapa dokumen ke Mama dan adikku, Lisa. "Mas, pokoknya Lisa gak terima. Hanya itu perhiasan yang aku miliki," ucapnya dengan nada cemberut."Mama sudah lama ingin ngoleksi semua perhiasan itu dan setelah semua sudah terkumpul, kamu langsung berikan ke orang. Gimana Mama bisa dapatin lagi, Adnan?" Mama juga ikut protes padaku."Terus, kita harus gimana lagi? Kalian akan membayar pakai apa?" tatapku ke mereka dengan kesal. Aku
POV Adnan"Ya, sebelumnya, Mas masih nyari-nyari peluang kerja di teman-teman yang lain. Setelah itu, aku ke rumah Mas Yanto. Telepon aja kalau tidak percaya!" ucapku meyakinkan. Untungnya, dia tidak menelepon balik. Ia pasti ragu untuk menelepon karena khawatir mengganggu, dan juga tidak memungkinkan di waktu jam kerja seperti ini. Aku sudah mempertimbangkan dengan menyuruhnya menghubungi. Lagi pula, dia tidak mungkin seberani itu.Ia lekas membalikkan badannya karena kesal dengan ucapanku. Aku pun tak ingin menggubris karena sudah sangat lelah bukan karena kerja, tetapi lelah hati memikirkan Jihan yang masih bersikukuh, ditambah lagi Raisya yang menanyaiku seakan menginvestigasi.Aku bangkit dari tempat duduk, hendak ke ruang makan. Aku sangat lapar hari ini. Mungkin karena mood yang lagi kurang baik, perut pun ikut protes. "Sya, siapin makanan, ya! Mas mau makan." Aku berjalan sedikit cepat untuk menghampirinya sebelum dia masuk ke kamar. "Dia atas meja sudah ada, Mas. Buka aja
POV Adnan"Mas dari rumah Jihan 'kan?""Bukan seperti itu, Sya. Mas hanya kunjungi Naya""Mas kenapa mengunjungi Naya terus?""Naya kan putri, Mas. Jadi, aku masih punya tanggung jawab untuk mengunjunginya.""Trus mas gak sayang lagi sama Dita? Aku tidak pernah lihat lagi Mas bermain dengan Dita. Mas lebih sibuk di sana 'kan?""Bukan itu masalahnya, Sya. Dita, putri Mas dan begitu juga Naya. Mas hanya ....""Hanya apa? Oh, ok, sekarang aku sudah mengerti, Mas tidak perlu menjelaskan. Mas sepertinya belum move on dari Jihan.""Kamu salah paham, Sya!" Ia menepis tanganku, yang hendak meraih lengannya."Aku tahu, kok, Mas dari rumah Jihan. Mas tidak usah berkelit. Pokoknya Mas harus ceraikan Jihan mulai dari sekarang! Mas harus memilih salah satu. Aku tidak mau Mas membagi kasih sayang dengan yang lain selain kepada kami." Raisya meninggalkanku sendiri di meja makan dengan ekspresi tajam. Aku masih terdiam dan hanya melihat punggungnya dari belakang. Bagaimana dia tahu aku belum pisah d
POV AdnanAku sedikit mengernyitkan dahi. Lelaki di depanku ini terlalu banyak yang dia ketahui tentang aku dan Jihan. Pasti Jihan yang memberitahu, tak ada orang lain yang bersamanya selain Jihan."Kami belum resmi. Tunggu! Dari mana anda tahu?""Tidak penting dari mana aku tahu." Dia menyodorkan kartu namanya padaku.Dahiku berkerut. Aku meraih dan melihatnya. "Anda pengacara? Itu artinya, Jihan klien anda?" Dia hanya tersenyum.Aku tahu sekarang. Dia pengacara Jihan dan jelas telah tahu secara keseluruhan."Anda terlalu naif menyia-nyiakan wanita seperti Jihan. Dia wanita yang baik, penyabar, dan juga pintar. Bagaimana anda bisa mengkhianatinya?" Seketika jari-jariku mengepalkan tinju. Caranya berkata seperti mengejekku."Apa maksudmu?" tanyaku padanya sambil menatapnya tajam."Ayah ...." Aku menoleh pada suara yang menyapaku. Suara Naya mencairkan ketegangan di antara kami."Iya, Sayang." Ia mendekat kemudian meraih tanganku. Aku pun beranjak dari tempat duduk, mengikuti langkah k