Leonard duduk di kursi dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua telapak tangannya saling meremas, seakan sedang menahan sesuatu dari dalam dadam. Ia sedang menerka-nerka maksud pembicaraan kedua orang tuanya. Di hadapannya, duduk sang ayah bernama Vico Mahesa, memandangnya dengan wajah tegas dan tatapan penuh perhitungan. Di sampingnya, Felice, sang ibu, menyilangkan kaki sambil menegakkan punggung. Senyumnya tipisnya tapi sama sekali tidak menenangkan, justru membuat Leonard merasa semakin tidak tenang.“Leonard,” suara Felice memecah keheningan, dingin dan penuh tekanan. “Seperti yang sudah ayahmu bilang, sejak pertunangan Felix dengan Maharani gagal, reputasi bisnis kita ikut tercoreng. Tapi ada cara untuk memperbaikinya. Kamu bisa menggantikan posisi Felix.” Leonard menoleh cepat, kedua alisnya berkerut. “Menggantikan Felix? Maksud ibu, aku yang bertunangan dengan Maharani?” Felice mengangguk mantap. “Ya. Itu solusi paling logis. Keluarga Hilmawan butuh kepastian. Kalau buk
Alma terdiam mendengar permintaan Felix. Ia tahu Felix tidak bermaksud menekannya, tapi permintaan sederhana itu terasa begitu berat. Matanya bergetar menatap wajah lelaki yang sejak tadi memanggilnya “sayang” dengan begitu tulus. Bibirnya bergerak, ragu. “Felix … aku—” ia menelan ludah, jemarinya meremas tas di pangkuan. “Ini terlalu cepat. Aku … belum siap.” Suara Alma terdengar gugup, bergetar di ujung kalimat. Ia buru-buru melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar tanpa berani menoleh lagi. “Alma, tunggu—” panggil Felix, tapi pintu sudah tertutup dengan bunyi sedikit keras. Alma menunduk, berjalan cepat masuk ke rumahnya. Bahunya bergetar menahan campuran perasaan yang sulit diurai. Sementara itu, Felix hanya bisa menatap punggung Alma yang menjauh. Ada sesal yang menyesakkan dada. Ia bersandar ke kursi, menepuk setir mobil dengan kesal pada dirinya sendiri. “Bodoh, Felix. Kamu harusnya bisa sabar,” gumamnya lirih. Ia menutup mata sejenak, menarik nap
Pak Hilmawan menoleh pada Alma dengan senyum ramah yang penuh wibawa. “Dokter Alma, saya sangat berterima kasih. Kalau bukan karena Anda, mungkin cucu saya tidak akan tertolong. Saya dengar, Anda yang pertama kali sigap menangani.” Alma menunduk sopan. “Itu memang sudah kewajiban saya sebagai dokter, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.” "Tapi saya lihat, Dokter Alma bukan hanya melakukan kewajiban,” sahut Hilmawan. “Tapi juga sebuah pengabdian. Tidak semua orang bisa bekerja dengan hati seperti itu.” Tatapannya penuh penghargaan, membuat Alma sedikit salah tingkah. Felix tersenyum lebar mendengar ucapan kakek Maharani. Ia menepuk tangan Alma dengan bangga. “Saya juga sangat beruntung, Pak. Alma selain dokter yang hebat, dia juga … calon istri saya.” Alma menoleh sekilas, pipinya memerah. Kata-kata itu keluar begitu alami dari mulut Felix, seakan sudah tak ada lagi jarak di antara mereka. “Oh, jadi benar kabar yang saya dengar. Selamat, ya.” Hilmawan menyalami Alma deng
Alma hanya tersenyum tipis. Matanya menatap Maharani tanpa menunjukkan emosi yang berlebihan. “Itu memang tugasku sebagai dokter,” ucapnya lembut. “Tanpa harus diminta siapa pun, aku akan mengobati pasienku dengan baik. Tidak ada alasan lain.” Maharani membuang wajah, matanya menyipit seolah tidak puas dengan jawaban Alma. Seakan ia menginginkan Alma merasa tersudut, namun yang ia dapat justru hanya sikap profesional yang membuatnya semakin kesal. Alma tidak ingin memperpanjang percakapan itu. Ia tahu betul, kata-kata Maharani penuh sindiran. Namun menanggapi hanya akan memperkeruh suasana. “Kalau begitu, aku pamit. Istirahatlah yang cukup, Maharani. Kesehatanmu lebih penting daripada memikirkan hal lain,” tutup Alma, tetap dengan suara tenang. Ia lalu melangkah keluar. Helaan napas samar terdengar, pertanda Alma melepaskan energi negatif yang sempat menyelimutinya saat berada di ruangan itu. Baginya, Maharani hanyalah pasien, tidak lebih. Tak lama setelah Alma pergi, p
Alma membuka mata dengan perasaan berbeda, lebih ringan, lebih damai. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamarnya. Semua beban yang kemarin-kemarin menekan dadanya kini seakan lenyap, berganti semangat baru. Alma mengusap wajahnya, lalu tersenyum menatap cermin besar di kamarnya. “Hari pertama … jadi tunangannya Felix,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi. Suara ketukan pintu terdengar. “Non Alma, sarapan sudah disiapkan,” kata Bu Sarti dari luar. “Baik, Bu. Aku segera turun,” jawab Alma. Ia bangkit, merapikan rambut, lalu mengenakan blouse sederhana berwarna pastel dan celana kain hitam. Tidak ada aksesoris berlebihan, tidak ada riasan tebal. Meski kini semua orang tahu ia calon menantu keluarga Mahesa, Alma tetap ingin tampil seperti dirinya yang dulu, sederhana. Di meja makan, aroma nasi goreng hangat dan teh manis menyambut. Bu Sarti tersenyum, matanya masih berbinar haru sejak acara semalam. “Non keliha
Senja mulai turun perlahan di langit Jakarta ketika mobil-mobil mewah memasuki halaman hotel berbintang lima milik keluarga Mahesa. Gedung megah dengan lampu-lampu kristal yang menggantung di lobi seakan menyambut para tamu undangan dengan cahaya keemasan. Malam itu, hotel tersebut berubah menjadi saksi peristiwa besar, pertunangan Felix Alexander Mahesa dengan Alma Azzahra Kusuma. Sejak sore, Alma sudah tiba di rumah kediaman keluarga Mahesa yang letaknya tidak jauh dari rumahnya sendiri. Ia datang bersama beberapa kerabat yang turut mendampingi. Dari sana, rombongan bergerak bersama menuju hotel tempat acara berlangsung. Di kamar khusus yang disediakan untuk pengantin wanita, Alma sedang dirias. Rambutnya ditata anggun dalam sanggul modern yang dihiasi dengan bunga melati segar dan aksesori mutiara. Gaun kebaya modern berwarna putih gading melekat indah di tubuhnya, dipadukan dengan kain batik motif parang klasik bernuansa emas yang menjuntai anggun. Wajahnya dipulas dengan make-