Kaki patung Buddha berdiri kokoh di atas lantai. Meskipun Adeline setengah berlutut, tubuhnya tetap jauh lebih tinggi.Ia menundukkan badan, kepalanya sedikit condong ke depan, menatap ke arah yang disebutkan Adelia. Di sana, pada permukaan kaki patung yang halus, tampak bekas goresan ukiran. Goresan itu sepertinya sudah lama, sebab bekasnya mulai memudar dan tak lagi setajam dulu.Namun Adeline tetap bisa membacanya, [Adeline mati!]Hanya beberapa kata, tetapi cukup membuat hatinya bergetar karena begitu sarat dengan kebencian.“Aku menemukannya saat membersihkan patung Buddha hari ini. Memang di dunia ini banyak orang yang namanya sama, belum tentu maksudnya kamu. Tapi kebetulan satu-satunya Adeline yang aku kenal, ya cuma kamu,” jelas Adelia.Memang benar, di dunia ini tak hanya ada satu orang bernama Adeline. Tapi tak peduli apakah yang dimaksud adalah dirinya atau bukan, menorehkan nama di kaki patung Buddha untuk mengutuk seseorang sudah menunjukkan besarnya rasa benci itu.“Sela
Adelia menutup telepon, lalu mengirimkan sebuah alamat.Kalau itu alamat tempat lain, Adeline mungkin tak akan pergi. Tetapi yang dikirimkan adalah sebuah kuil, sesuatu yang tak ia duga.Apalagi kini sudah senja, langit mulai gelap.Dia pergi ke kuil dan ia diundang ke kuil, dan entah kenapa rasa tak berminatnya yang semula berubah jadi sedikit ingin tahu.Memang benar pepatah mengatakan kepo itu bisa bikin masalah, namun manusia tak selalu mampu menahan dorongan untuk tahu. Ditambah lagi tempat yang dituju adalah kuil. Dengan rasa hormat Adeline kemudian mengambil mobil dan berangkat.Saat ia tiba, suasana kuil hening dan tenang. Lampu-lampu kuno di pinggir jalan redup, memancarkan nuansa khidmat dan sedikit misterius.Ia tak menelepon Adelia karena melihat mobil wanita itu sudah terparkir di sana.Adeline mengikuti jalan setapak masuk ke halaman kuil. Aroma dupa menyengat lembut ke dalam napasnya, membawa efek menenangkan, sejenak segala ketegangan dan penat yang menumpuk sepanjang h
Penggemarnya?Apakah kejadian di masa lalu itu ada hubungannya dengan fans-nya?Adeline merasakan hawa dingin menjalar di hatinya. Ia kembali menatap foto itu sekali lagi, tapi memang tidak ada sedikit pun ingatan.Dulu dia memang punya banyak penggemar, tapi saat itu seluruh perhatian dan energinya dicurahkan ke latihan, nyaris tidak pernah berinteraksi dengan Penggemar. Memang ada wajah-wajah yang cukup familiar, tapi setelah sekian lama, bagaimana mungkin dia masih mengingatnya?Adeline mengembalikan ponsel itu pada Leo. “Sebenarnya kamu sudah menemukan apa?”“Anastasia dulu pernah mengalami pelecehan yang cukup parah, bahkan…” Leo berhenti sejenak, “pernah terluka.”Adeline tertegun. Hubungannya dengan Anastasia waktu itu begitu dekat, makan, tidur, dan latihan selalu bersama, bahkan pergi ke toilet pun kadang berdua. Kalau memang sampai separah itu, mana mungkin dia tidak menyadarinya?“Sekarang baru ditemukan sedikit petunjuk, belum bisa dipastikan secara detail,” nada suara Leo
“Mulutmu… kenapa?”Begitu terbangun, Adeline langsung melihat luka di sudut bibir Leo.Saat bertanya, pikirannya sudah berputar cepat, mencoba mengingat apa yang ia lakukan setelah mabuk semalam.Leo mengenakan setelan santai serba putih, kemeja panjang dan celana panjang, duduk santai di kursi goyang di halaman, kakinya bersilang alami. Di belakangnya, tanaman hijau dan bunga bermekaran, membuat pemandangan itu seakan memunculkan sosok seorang pangeran yang turun dari langit.“Kamu sendiri pikir?” jawabnya malas. Seluruh auranya begitu rileks hingga membuat waktu seakan melambat.Adeline mengerti maksudnya, lalu menyesap sedikit kopi. “Aku tidak sampai mabuk hilang ingatan.”“Perempuan genit!” Leo langsung melontarkan dua kata itu.Ia bahkan tidak melakukan apa-apa, tapi sudah dicap begitu. Sepertinya ke depannya Adeline harus berhati-hati kalau minum bersamanya, siapa tahu suatu hari ia malah dituduh jadi perempuan genit.Adeline sudah terbiasa dengan cara bicaranya. Ia hanya terseny
“Leo, jangan terlalu baik padaku… aku takut…”Adeline kembali mabuk. Saat Leo mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam mobil, ia melingkarkan lengannya di leher pria itu sambil berbisik pelan.“Kamu takut apa?” tanya Leo lembut.Adeline tersenyum samar. “Takut aku…”Sisa kata-katanya terputus oleh suara dering telepon yang tiba-tiba terdengar. Kening Leo langsung berkerut tajam. Ia melirik nomor yang muncul, namun tidak mengangkatnya. Tatapannya tetap terarah pada Adeline. “Kamu takut apa?”Kepala Adeline miring, bibir mungilnya menyentuh lehernya, bergerak sedikit, namun ucapannya semakin tak terdengar jelas.“Adeline…” panggilnya, tapi yang ia dapat hanyalah dengkur lembut perempuan itu.Telepon masih berdering. Leo meraih ponsel itu dengan satu tangan. “Kalau meneleponnya agak belakangan, apa kamu akan mati?”Orang di seberang terdiam dua detik, seolah kaget. “Kalau begitu, aku tutup dulu. Nanti aku telepon lagi?”Leo memijat alisnya tanpa daya. “Kamu ini seperti titipan malaikat
“Aku tidak tahu kalau adik perempuanmu juga ada di sini, jadi aku tidak menyiapkan hadiah untuknya.”Setelah keributan antara Chelsea dan Silvia berakhir, meski Adeline merasa dirinya tidak melakukan kesalahan, namun demi menjaga hubungan baik dengan Leo dan menghindari kesalahpahaman, ia tetap memberikan penjelasan.“Dia juga bukan sedang berulang tahun, kamu juga tidak berutang apa pun padanya, jadi hadiah apanya?” Nada suara Leo terdengar acuh, sama sekali tak seperti kakak yang memihak adik.Memang masuk akal, tapi Adeline tetap berkata, “Yang kurang itu bukan seutas gelang, melainkan harga diri di depan teman-temannya…”“Harga diri bukan didapat dengan cara seperti itu. Dia seharusnya introspeksi, kenapa Chelsea bisa dengan terang-terangan menantangmu karena tahu kamu disayang, sementara Silvia tidak bisa?” Ucapan Leo menohok hati Adeline.Orang yang tulus akan dibalas dengan ketulusan. Siapa yang baik padanya, ia akan bersikap baik pula. Sejak pertama kali bertemu, Silvia tak per