Elena sedang berbicara dengan beberapa investor asal Italia ketika Damian, mengenakan setelan hitam dengan dasi perak, perlahan mendekat. Nafasnya berat. Tatapannya tak bisa lepas dari wanita yang dulu ia abaikan, kini berdiri tegak sebagai simbol kemenangan di bawah cahaya berkilau."Elena..." suara Damian terdengar jelas, bahkan di atas lantunan musik lembut latar belakang.Elena menoleh perlahan. Tatapan tajam dan menusuk itu kembali muncul, membuat Damian merasa seakan ia sedang diadili di ruang pengadilan."Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi kalau aku terus menunggu, mungkin aku tak akan pernah punya kesempatan lagi."Para tamu mulai melirik. Beberapa rekan Elena perlahan menyingkir, merasakan ketegangan yang mulai membangun di antara mereka.Damian merogoh saku bagian dalam jasnya. Ia berlutut dengan satu kaki. Di tangannya, sebuah kotak beludru hitam terbuka, di dalamnya cincin berlian berkilau di bawah cahaya, dengan ukiran mahkota mini di bagian tengahnya.Beberapa ora
Beberapa hari telah berlalu."Akhirnya… Elena, selamat," ucap Tamara dengan mata berkaca-kaca, memeluk Elena erat.Elena mengangguk pelan. "Satu tahun enam bulan bekerja keras membangun mall ini, dan sekarang… akhirnya terbayar juga."Berita tentang grand opening EMPIRE by Elena Mall telah tersebar bukan hanya di seluruh negeri, tetapi juga internasional. Mall fashion megah itu berdiri gagah di jantung kota, menjadi perbincangan media. Bukan sekadar pusat perbelanjaan, melainkan pusat gaya hidup, seni, dan fashion kelas dunia. Dan yang paling luar biasa? Setiap inci arsitektur dan interiornya dirancang langsung oleh Elena sendiri."Arsitekturnya begitu futuristik, tapi tetap elegan," kata Tamara terpana, menatap bangunan dengan dinding kaca kristal dan lampu gantung berbentuk mahkota raksasa yang tergantung di lobi utama.Elena tersenyum samar. "Aku hanya ingin menciptakan sesuatu yang melambangkan kebangkitan seorang wanita. Bukan hanya untukku—tapi untuk semua perempuan yang pernah
“Cukup, Damian,” potong Elena dengan tajam.Damian terdiam. Elena berdiri, ekspresinya sulit dibaca, suaranya rendah namun tegas.“Kau pikir aku mau mendengar penyesalanmu sekarang? Setelah semua kebisuan, setelah kau meninggalkanku demi wanita lain, setelah kau memutuskan tiga putri kita tidak berharga?”“Elena, aku salah... aku sungguh—”“Ya, kau salah. Tapi kesalahanmu fatal, Damian. Kau menghancurkan keluarga kita, dan sekarang kau bertindak seperti korban hanya karena akhirnya kau harus menanggung akibatnya.”Damian melangkah mendekat, tapi Elena mengangkat tangan, menghentikannya.“Keluar dari ruangan ini. Alva butuh istirahat. Dan aku tidak mau mendengar sepatah kata lagi.”“Elena, aku hanya ingin memperbaiki semuanya...”“Damian.” Matanya, meski berkaca-kaca, tetap tak tergoyahkan. “Pergi. Sekarang.”Akhirnya Damian mengalah. Ia menunduk menatap Alva yang masih terlelap, lalu berbalik meninggalkan ruangan—langkahnya berat, seakan memikul beban masa lalu di pundaknya.Kembali d
Pukul empat sore."Maaf, Tuan Damian. Saya tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi Anda harus tahu… ini darurat," suara asisten terdengar tegang dari seberang telepon.Damian berdiri di balkon, menatap langit yang mulai menggelap."Apa maksudmu, darurat?""Ada serangan pasar. Saham Lancaster Industries anjlok drastis. Kita kehilangan hampir sepuluh juta dolar hanya hari ini. Investor besar tiba-tiba menarik diri."Dahi Damian berkerut."Sepuluh juta? Dalam satu hari?""Ya, Tuan Damian. Dan kalau ini terus berlanjut, kita akan kembali ke titik nol."Damian terdiam beberapa detik, lalu mendesis,"Baiklah. Aku akan ke kantor sekarang."Tanpa menunggu jawaban, Damian menutup telepon. Ia buru-buru masuk, mengenakan jas, dan langsung menuju garasi. Pikiran kelam mulai menyergap—mengingatkannya pada lima belas tahun lalu, saat Lancaster Industries hampir runtuh. Saat semua orang meninggalkannya, membiarkannya sendirian menghadapi kekacauan.Saat itu, tiba-tiba muncul seorang investor misterius
Damian mondar-mandir di dalam kantornya, gelisah. Ia baru saja menerima pesan dari salah satu temannya.[Hei, sudah dengar belum? Putra mantan istrimu, Elena—Alva—diculik… tapi katanya sudah ditemukan. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit pusat.]Dug!Pesan itu menghantam dadanya seperti palu.“Kenapa Elena tidak memberitahuku tentang ini? Bagaimanapun juga, aku ayah kandung Alva,” gumamnya penuh amarah.Tanpa pikir panjang, Damian meraih jasnya dan bergegas keluar dari kantor. Namun sebelum sampai ke pintu depan—“Sayang, mau ke mana?” suara dingin Isabella menghentikannya.Damian terdiam.“Ke rumah sakit. Alva—anakku—baru saja diculik. Dia sudah ditemukan. Aku harus memastikan keadaannya.”Isabella berdiri tegak, menatap dengan tajam.“Siapa yang memberitahumu?”“Bukan Elena, jelas saja. Tapi aku tetap harus pergi.”Isabella mengepalkan tinjunya erat-erat.“Anak itu… kenapa bisa selamat,” gumamnya lirih nyaris tak terdengar.Damian menyipitkan mata.“Apa yang baru saja kau kat
“Lokasinya gudang tua dekat pelabuhan, Tuan Nathan. Koordinat sudah terkunci. Mereka ada di dalam—setidaknya tiga orang, bersenjata ringan,” lapor salah satu pengawal lewat radio mobil.Elena segera menoleh ke arah Nathan yang duduk di kursi pengemudi.“Kita harus cepat. Aku tidak peduli mereka bersenjata atau tidak. Yang terpenting Alva selamat.”Nathan mengangguk, tatapannya tajam.“Tenang saja. Kita akan membawanya keluar.”Tak lama, iring-iringan mobil mereka berhenti sekitar dua ratus meter dari gudang tua yang reyot dekat pelabuhan. Dari luar, bangunan itu terlihat terbengkalai—namun penampakan itu menipu. Puluhan pengawal Elena sudah lebih dulu menyebar, diam-diam mengepung bangunan dari segala sisi.“Semua tim siaga. Tunggu aba-aba dariku, kita masuk bersamaan,” perintah Nathan lewat radio.Di dalam gudang, ketiga penculik itu sudah panik. Satu orang mondar-mandir dengan telapak tangan berkeringat, sementara dua lainnya berdiri dekat Alva yang terbaring pingsan di atas sofa tu