Elena mengorbankan segalanya demi pernikahannya—hanya untuk dikhianati oleh pria yang pernah bersumpah akan mencintainya. Semua itu hanya karena Elena tak mampu melahirkan seorang putra sebagai pewaris. Ketika Damian, miliarder arogan yang dulu menjadi suaminya, membawa wanita lain ke rumah, Elena tidak menangis atau memohon. Ia langsung mengajukan gugatan cerai dan menghilang dari kehidupan Damian. Lima tahun kemudian, Elena kembali muncul sebagai ratu bisnis. Dengan kecerdasannya, ia membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Damian menyesal ketika mengetahui bahwa anak keempat yang dilahirkan Elena ternyata seorang laki-laki. Jadi, akankah Elena memberikan kesempatan kedua pada mantan suaminya?
View MoreElena membuka pintu apartemennya dengan hati-hati. Malam sudah cukup larut, dan ia tidak ingin membangunkan anak-anak yang sudah tertidur. Begitu masuk, ia melihat Tamara duduk di sofa sambil bermain ponsel. "Kamu sudah pulang?" Tamara menoleh dan tersenyum. "Bagaimana? Kamu baik-baik saja?" Elena mengangguk, melepas sepatu, lalu meletakkan tasnya di atas meja. "Aku baik-baik saja. Hanya agak lelah." Tamara menatapnya dengan cemas. "Kamu harus lebih banyak istirahat. Jangan memaksakan diri." Elena hanya tersenyum tipis. Ia tahu Tamara benar, tapi kenyataan hidupnya tidak memberinya banyak pilihan. "Aku punya kabar baik untukmu," kata Tamara tiba-tiba, matanya berbinar. Elena menatapnya penasaran. "Apa itu?" Tamara menyodorkan ponselnya, menampilkan sebuah email. "Ada rekanan baru yang tertarik memakai desain Queen Elisabeth. Mereka menghubungiku siang tadi." Sekejap saja Elena langsung waspada. Ia mengambil ponsel dari tangan Tamara dan membaca email itu dengan saksama. Reka
Elena perlahan membuka matanya. Penglihatannya masih buram, tapi ia bisa merasakan cahaya putih terang dari lampu rumah sakit. Kepalanya masih terasa berat, tapi setidaknya ia bisa bernapas lebih lega.Begitu kesadarannya pulih, ia melihat sosok yang duduk di kursi di sebelah ranjangnya—Nathan.Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, matanya tajam namun tidak menunjukkan emosi yang jelas.“Elena,” Nathan akhirnya berbicara, suaranya rendah dan tegas. “Kau sudah sadar.”Elena mengedipkan mata beberapa kali sebelum mencoba bangun, tapi tubuhnya masih terasa lemah.“Mengapa aku ada di sini?” gumamnya.“Kau pingsan di kantor,” jawab Nathan singkat. “Aku membawamu ke rumah sakit.”Elena menoleh, menyadari di mana ia berada. Ia menghela napas, lalu mengusap wajahnya yang lelah.“Terima kasih, Tuan Nathan. Maaf sudah merepotkan.”Nathan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu setelah beberapa detik bertanya, “Kau sedang hamil?”Elena terdiam sejenak. Namun, ia tak b
Elena masih belum sepenuhnya mengerti bagaimana pagi yang begitu kacau bisa berubah menjadi kesempatan emas.Beberapa menit yang lalu, ia keluar dari ruangan Nathan dengan pikiran yang kacau, dan sekarang ia berdiri di depan sebuah ruangan yang belum pernah ia masuki sebelumnya.Tamara, yang baru saja menelpon Elena, langsung terkejut mendengar kabar darinya.“Jadi, sekarang kamu punya ruang kerja sendiri?”Elena mengangguk, masih agak tidak percaya. “Sepertinya begitu.”Tamara tersenyum lebar. “Hebat! Artinya kamu resmi jadi karyawan Pak Nathan. Setidaknya kamu nggak perlu lagi kerja di rumah sambil dikejar-kejar anak-anak. Cepat kaya nih. Semangat terus, Nona Elena.”Elena tersenyum tipis, walaupun pikirannya masih penuh dengan berbagai hal. Lalu ia menutup telepon.Ia meraih gagang pintu dan membukanya. Begitu masuk, ia langsung disambut oleh sebuah ruangan elegan. Tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Ada meja kayu yang menghadap jendela besar dengan pemandangan kota, beberapa r
Elena keluar dari taksi dengan cepat, tangannya masih menggenggam map berisi desain yang belum selesai. Dia sudah terlambat, dan ini bukan kebiasaannya. Nathan jelas tidak suka menunggu, apalagi soal pekerjaan.Namun sebelum dia bisa melangkah masuk ke gedung kantor yang megah itu, sebuah sosok berdiri menghalangi jalannya.Damian, mantan suaminya.Langkah Elena terhenti, rahangnya mengeras saat melihat pria itu berdiri dengan ekspresi arogan di wajahnya. Rapi seperti biasa, mengenakan setelan mahal, seolah-olah dia tak pernah kekurangan apa pun seumur hidupnya."Terburu-buru sekali. Mau ke mana?" suara Damian terdengar dingin, namun penuh ejekan.Elena mendengus, menatapnya tajam. "Bukan urusanmu, Tuan Damian."Dia mencoba melangkah ke samping, namun Damian cepat-cepat menghalangi jalannya lagi."Elena, jangan pura-pura sibuk. Aku tahu kamu tidak punya pekerjaan tetap. Atau..." Damian melirik ke arah gedung kantor di belakangnya. "Kamu jadi simpanan seseorang di sini?"Elena mengepal
Elena membuka pintu apartemennya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang kantong berisi roti hangat. Begitu masuk, ia melihat ketiga putrinya duduk di ruang tamu bersama Tamara. “Mommy!” seru Delya, melompat turun dari sofa dan berlari menghampirinya. Elena tersenyum lalu berlutut untuk memeluk putri bungsunya itu erat-erat. “Mommy pulang, sayang.” Olivia dan Katty ikut berlari mendekat, mata mereka langsung berbinar melihat roti di tangan Elena. “Itu roti buat kita?” tanya Olivia dengan penuh semangat. Elena terkekeh. “Tentu saja. Mommy bawa roti khusus untuk kalian bertiga.” Tamara bangkit dari sofa, menyambut Elena dengan tatapan penuh pengertian. Ia mendekat dan berbisik, “Kamu nggak apa-apa?” Elena mengangguk kecil. Ia tahu Tamara bisa merasakan ada sesuatu yang terjadi saat ia keluar tadi, tapi Elena belum siap membicarakan pertemuannya dengan Margareth. Ia membawa roti itu ke meja makan dan membantu Delya duduk di kursinya. Olivia dan Katty sudah tak saba
Nathan bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk meja dengan irama pelan. Matanya tetap terpaku pada desain yang baru saja diberikan Elena. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang terasa begitu familiar.Ia meraih ponselnya dan menekan tombol panggilan cepat untuk menghubungi asistennya, Samon.“Halo, Mr. Nathan?” suara Samon terdengar di ujung sana.“Aku perlu kamu menyelidiki seseorang,” kata Nathan tanpa basa-basi.“Siapa?”“Elena.”Hening sejenak. “Elena siapa?”Nathan menyipitkan mata, meneliti detail garis pada desain di hadapannya.“Elena… aku tidak tahu nama lengkapnya. Dia seorang desainer yang belakangan ini bekerja denganku. Tunggu—ya, aku ingat. Elena Whitmore.”Samon menghela napas.“Baiklah. Tapi mungkin butuh waktu. Aku butuh informasi lebih banyak.”“Tidak masalah. Yang penting jangan sampai dia tahu kita sedang menyelidikinya.”Samon mengangguk, meski Nathan tidak bisa melihatnya.“Mengerti, Mr. Nathan. Saya akan mulai mengumpulkan datanya.”Nathan mengakh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments