Singgasana raja Kerajaan Eros tampak suram. Aura pekat yang membawa ketidaknyamanan benar-benar telah melingkupi seisi aula istana. Kesan temaram yang menambah kelam seolah ingin membangunkan kejahatan terbesar yang telah lama tertidur.
Sementara itu, satu sosok agung yang telah menduduki takhta kerajaan dan membawanya dalam kegelapan yang nyata, tengah menopang dagu didampingi sorot datar dari atas kursi kebesarannya.Lalu, beberapa meter di bawah singgasana raja, bersimpuh lah sosok lain dalam kekhawatiran. Ada getaran di tubuhnya tak kala menyadari kemarahan tuannya telah menanti lantaran tugas yang dibebankan kepadanya sama sekali tidak dapat dijalankan dengan baik.Menunduk sembari memelankan suara untuk menarik perhatian pria berkuasa di atas sana, dia berkata, "Kali ini Hamba akan memastikan Anak itu terbunuh, Yang Mulia!"Hanya saja, satu decakan keras yang berhasil lolos dari belah bibir sang raja telah membuat hati pria itu menggigil seolah dia baru saja diterjang hawa dingin yang membekukan hingga ke tulang."Dengar, Drake, aku telah menghidupkanmu berkali-kali dan selama itu pula Ash berhasil mengalahkanmu. Tidakkah kau merasakan bagaimana terhinanya aku?" Raja Fredrick bergegas melempar pandangan sinis begitu melihat Drake mendongak menatapnya dalam ratapan memohon. "Rasanya aku terlalu banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk membuatmu bangkit dan melakukan kesalahan yang sama."Sekali lagi bersimpuh hingga kepala nyaris menyentuh lantai marmer gelap di bawahnya, Drake berkata, "Ampuni Hamba, Yang Mulia! Tetapi Hamba yakin bila kali ini hal serupa tidak akan terjadi. Hamba bisa memastikan untuk membawa kepala Ash bersama Anak itu. Hanya saja, tolong beri aku sedikit lagi darah, Yang Mulia!"Decakan tak puas dari Raja Fredrick seakan terdengar lebih keras dari sebelumnya. Sang raja lantas menatap satu sosok lain yang berdiri bagai patung di sebelah kursi takhtanya. Berdiri kaku dalam keheningan tanpa merasa terusik akan atmosfer kelam yang melingkupi seluruh aula."Bagaimana menurutmu, Aint?" Raja Fredrick bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya. Dia menatap pria bernama Aint dengan senyum mengembang, berbanding terbalik ketika dia menatap Drake di bawah sana. "Apakah kau juga akan memberikan darahmu kepada pria besar mulut itu?" Telunjuk sang raja mengarah kepada Drake yang gemetar.Aint menjawab kaku, "Bahkan jika dia diberi dua tetes darahku, Drake tetap tidak akan mampu mengalahkan Adikku—Ash—Yang Mulia."Raja Fredrick tersenyum kembali, kali ini perhatiannya tertuju kepada Drake yang lesu seolah dia baru saja kehilangan separuh isi jiwanya."Tidakkah kau mendengarnya, Drake? Bahkan sebelum kau bertarung melawan Ash, Kakak laki-lakinya telah memastikan kegagalanmu.""Tetapi, Yang Mulia—"Aint memotong, "Aku akan memberikannya jika Yang Mulia mengizinkan. Mungkin dia tidak akan mampu mengalahkan Ash dengan kekuatan, tetapi bagaimana jika dia menggunakan sedikit isi kepalanya untuk menyiasati Ash." Aint yang sekaku robot menatap Raja Fredrick tanpa emosi berarti, dia menambahkan, "apakah Anda mengizinkan bila kita menggunakan Puteri Ameera untuk melemahkan, Ash? Seperti yang kita tahu, Puteri Ameera adalah kelemahan terbesar Ash."Raja Fredrick tidak lantas memberi jawaban, sebaliknya dia menopang dagu menggunakan punggung tangan sembari mengamati raut wajah Drake yang penuh harap.Detik berikutnya, sang raja menghela napas kemudian berkata, "Baiklah, tetapi jangan membunuhnya. Aku tidak akan mengampunimu bila Ameera terbunuh. Kau tahu, dia adalah satu-satunya Puteriku yang berharga." Senyum Raja Fredrick mengembang didampingi raut wajah bengisnya. "Ya, kemampuan Ameera adalah milikku," tambahnya."Terima kasih atas kemurahan hati Anda, Yang Mulia," puji Drake.Bibir Raja Fredrick mencebik seolah mengejek. "Tetapi, ingatlah satu hal bahwa ini adalah kesempatan terakhirmu." Drake menelan ludah. "Dan jika kau kalah, maka hari itu benar adalah kematianmu. Tidak akan ada lagi Drake yang baru."Drake menunduk, rahangnya mengeras. "Saya mengerti, Yang Mulia."Drake tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bertahan. Sedikit saja kesalahan maka dia tidak akan pernah bisa dibangkitkan kembali seperti sebelum-sebelumnya. Selama ini Raja Fredrick bertahan menggunakannya sebagai percobaan atas mahkluk immortal ciptaannya, tetapi bahkan jika Drake menyadari hal itu dia tidak merasa masalah selama dia mendapatkan kekuatan.Sejauh ini, Raja Fredrick telah banyak menciptakan makhluk-makhluk setengah manusia semacam dirinya untuk membentuk pasukannya sendiri. Sang raja haus akan kekuasaan, tetapi di satu sisi dia tidak dapat mengubah fakta bahwa tanah di daratan Eros menolaknya menjadi raja.Setahun setelah dia mengambil alih kerajaan, daratan ini mengering. Ternak dan pertanian mendadak mati dan berkurang drastis. Sekutu yang semula memujanya sebagai sosok yang pantas memerintahkan Kerajaan Eros tahu-tahu menyerang dan menuduhnya sebagai pembawa bencana.Sampai ketika Raja Fredrick menemukan kitab penyihir keramat dan mendapatkan manusia berdarah Elf kuno—Aint dan Ash—yang langkah, dia melakukan banyak eksperimen gila. Mengubah dua bersaudara itu menjadi monster pembunuh yang tak berperasaan.Hanya saja, Fredrick tidak mengira bila Ash memiliki emosi yang tidak seharusnya ada. Siapa yang tahu bila Ash akan berakhir jatuh hati kepada puteri bungsunya dan memilih mengkhianatinya. Keduanya bahkan berani melawan dan memihak musuh utamanya.Kendati demikian, Raja Fredrick memiliki Aint. Kemampuan pria itu jauh di atas Ash, bahkan mampu memberi kekuatan hanya dengan memberi beberapa tetes darahnya. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan Ash meski jika mereka memiliki darah yang sama. Karena hal ini, tidak ada lagi yang berani mengusik kekuasan Raja Fredrick, kendati rakyat dan tanah Eros dalam keadaan kritis. Sang raja tidak pernah peduli selama dia adalah penguasa.Sementara Drake telah mendapatkan apa yang dia inginkan, kontan berlalu didampingi seringai lebar di bibir."Aku tidak akan membuat kesalahan lagi. Kali ini, aku akan membuat Ash bertekuk lutut karena kelemahannya sendiri." Pria itu tertawa kecil. "Dan, hadiah terbaik untuk Raja Fredrick adalah kepala keturunan naga terakhir, Yuu," tambahnya, sombong."Jadi, katakan siapa kau?!" Yuu adalah orang pertama yang bertanya ketus setelah suasana tenang di dalam pondok. Mereka duduk berhadapan hanya dengan beralaskan tikar anyam yang bahkan sudah lapuk. Sementara Ash berdiri bersandar di ambang pintu dengan ekspresi gelap yang tidak berhenti muncul di wajahnya, menatap Jeffrey dengan aura membunuh yang bisa saja meledak hanya dengan sedikit pancingan. Beruntung, Jeffery bukan tipe kompor yang gemar mengadu. Di lain sisi, Ameera duduk berdampingan dengan Yuu. Berhadapan dengan pria yang mendadak merasa tidak dia kenali meski dia telah terkurung bersamanya selama beberapa hari di dalam goa. Ada raut penghakiman yang menuntut kejelasan di wajahnya dan Jeffrey mengerti suasana ini. Pria itu justru tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang di situasi yang kapan saja bisa berubah. "Seperti yang kalian dengar, namaku Jeffrey." Menatap si peramal, dia menambahkan, "dan pria tua ini, adalah guru sekaligus Kakekku." "Apa?!"
Yuu bangun sangat pagi, sama seperti hari-hari sebelumnya dan mendadak benci kebiasaan ini jika saja dia tidak melihat hal buruk yang merusak paginya. Ameera dengan tidurnya yang serampangan dan Ash yang terkadang mengigau tidak jelas hingga fajar. Meski begitu, kedua orang itu tidur sangat lelap. Satu-satunya alasan mengapa Yuu selalu terbangun lebih awal karena mimpi buruk yang kerap menghantuinya, dan kian diperparah sejak meninggalnya ayahnya. Ketika Yuu terkurung di kawasan budak, dia sering memimpikan tentang kebakaran besar yang dia sendiri bahkan tidak pernah melihatnya. Dan dia baru menyadari bahwa itu ternyata berkaitan dengan kehancuran klannya berdasarkan penjelasan Ameera juga ayahnya. Jauh di lubuk hatinya, dia bersikeras bahwa semua yang dia lakukan untuk bertambah kuat adalah untuk membalaskan dendam ayahnya, tetapi Yuu tidak bisa menampik sebagian kecil dalam benaknya yang mendesak mengakui keberadaan naga dan asal-usulnya sendiri. Yuu selalu ingin melari
"Apa maksudmu? Jadi, Jeffrey adalah roh leluhurmu?" Ash menoleh, sedikit terkejut mengetahui bahwa Ameera telah sadarkan diri. Gadis itu bahkan sudah bisa menggerakkan tubuhnya mendekat ke arah mereka meski raut wajahnya kadangkala meringis. "Siapa Jeffrey?" Ash balik bertanya dengan raut tidak suka. "Pria yang sudah kau serang." Ameera beralih kepada Yuu sambil melanjutkan, "apa kau yakin, Yuu? Meski mencurigakan, tetapi aku masih ragu bahwa Jeffrey adalah Roh yang telah menculikku. Selama berada di goa bersama, dia tidak menyakitiku." Meski rasanya Ash ingin mengamuk mengetahui bahwa pria yang memiliki aura sangat kuat dan begitu mirip dengan si roh penculik adalah pria yang cukup gagah, tetapi dia sadar bahwa sekarang bukan saatnya melampiaskan emosi yang tidak berguna. Dia tidak ingin memperlihatkan perasaan cemburu tidak pada situasi yang baik. Akan sangat merugikan bila musuh muncul dan dia kehabisan energi. Pada akhirnya Ash hanya mengepalkan tangan sembari membuang napa
Ameera bisa melihat suasana semakin runyam. Ash tidak berhenti melakukan serangan hingga Jeffrey terpaku di posisinya seolah pria itu tidak sanggup bangkit. Memikirkan banyak hal, Ameera mulai skeptis jika Jeffrey adalah orang yang sama dengan roh yang telah menculik dan membuatnya terkurung di goa yang gelap. Keraguan terbesit di benaknya, dan jika itu benar, maka Ash telah menyerang orang yang salah!Lagipula, jika Jeffrey adalah jelmaan roh itu, bukankah dia cukup kuat untuk melawan balik Ash? Namun yang terlihat justru sebaliknya. "Aku harus menghentikan Ash! Ini mungkin hanya salah paham!"Yuu melotot bukan main mendengar penuturan Ameera. Sontak dia menarik gadis itu agar tetap berada di balik persembunyian mereka. "Apa kau gila! Jika musuh melihatmu lagi, Ash hanya akan terganggu!" bentak Yuu. Ameera bersikeras, "Jeffery bukan makhluk itu, dia sama denganku, kami berdua juga korban penculikan!"Sikap keras kepala dan tidak ingin kalah Ameera telah membuat Yuu berang. Pemuda
"Apa yang ingin kamu lakukan?" Jeffrey tidak menoleh ketika dia mendengar pertanyaan Ameera yang setengah berbisik. Meletakkan jari telunjuk di depan bibir, Jeffrey memberi isyarat agar Ameera tetap diam. Gadis itu menurut dengan mudah. Pria itu melangkah perlahan ke arah mulut goa, mendekatkan daun telinga tepat di sisi batu besar yang menghalangi pintu keluar mereka. Pria itu seketika menyeringai. "Roh itu tidak ada," katanya. "Benarkah?" Jeffrey mengangguk kembali. Setengah senang Ameera berjalan cepat ke arah Jeffrey. "Tunggu apa lagi, bukankah kau memiliki rencana untuk keluar dari tempat ini?" "Memang," seru Jeffrey percaya diri. Ameera masih tertelan euforia ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal. Mengamati Jeffrey yang tengah mengambil ancang-ancang untuk memecahkan batu besar di depannya, gadis itu mendadak mengerutkan kening. Sedikit pelan, Ameera bersuara, "Jeffrey, bukankah kekuatanmu telah disegel oleh Roh itu sehingga kau tidak bisa bergerak?" Kali ini
Sudah nyaris dua hari Ameera belum ditemukan. Selama itu pula, Yuu berusaha meyakinkan Ash agar tetap menjaga kewarasannya. Tanpa Ameera, Ash jelas bukan manusia hidup yang selama ini Yuu kenal. Bukan lagi pria hebat yang mengalahkan Drake hanya dengan sekali serang langsung mematahkan lehernya. Pada akhirnya, Ash berubah menjadi pria uring-uringan yang tampak kehilangan jiwa. "Kau benar-benar menjengkelkan!" Yuu menggertak sembari menyeret tubuh Ash yang masih saja berbaring di atas tanah. Ngomong-ngomong, mereka membuat kemah di pinggiran hutan desa dan tanpa tenda. Beruntung mereka memiliki api unggun untuk menghangatkan tubuh. Tetapi tampaknya, Ash sendiri telah membeku; hati dan jiwanya lebih tepatnya. "Aku tidak tahu di mana Ameera berada," Ash bergumam lemas. Di satu sisi, Yuu menggerakkan gigi dengan kesal. "Justru jika kau seperti ini, si Tuan Puteri tidak akan pernah ditemukan. Jadi, bangkitlah, brengsek!" Ash mengangguk tidak yakin. "Yuu," panggilnya, semen