Keempat istrinya saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka, yang pandai berstrategi, tersenyum tipis.“Kau tahu, nama itu akan menggema ke mana-mana. Tapi kita perlu langkah besar agar rakyat percaya. Orang-orang Lotus terbiasa mengandalkan tabib keluarga bangsawan. Kau siap melawan tradisi mereka?”Bintang mengangguk. “Aku tak ingin melawan tradisi, aku hanya akan melengkapinya. Kita akan menggabungkan ilmu pengobatan kuno dengan metode modern yang aku pelajari. Saat pasien sembuh, berita akan menyebar sendiri.”"Aku akan membantumu untuk mempercepat menyelesaikan pasien lainnya..." Dewi Medist berseru semangat.Beberapa hari kemudian, papan kayu besar dipasang di depan rumah itu. Tulisan sederhana terpahat jelas.KLINIK DEWA MEDIST, Harapan Kehidupan yang melawan takdir!Awalnya, tak ada yang percaya. Beberapa orang yang lewat terus mengira, itu hanya ungkapan manis, yang sebenarnya mungkin klinik yang baru muncul ini hanya ingin memeras harta dari pasiennya.“Ah, apa bisa ora
"Apa kau akan pergi sekarang?"*Bintang berdiri di gerbang besar keluarga Lily, mengenakan pakaian resmi sederhana berwarna gelap dengan bordiran emas. Sorot matanya tegas, namun hatinya penuh keraguan. Setelah semua peperangan, penyelamatan, hingga pengkhianatan yang ia lewati, kini ia melangkah ke medan yang berbeda, yaitu medan perasaan.Gerbang megah itu terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan pilar-pilar batu putih. Di sana, para penjaga keluarga Lily memandang Bintang tanpa salam, hanya tatapan sinis. Namun ia tetap berjalan, langkahnya mantap.Di ruang utama, keluarga besar Lily sudah duduk berjejer. Sang Kepala Keluarga, Tuan Hua Liang, pamannya Lily mulai menatap Bintang dari atas kursi berlapis sutra. Sorot matanya tajam, penuh penilaian. Lily sendiri tidak ada di ruangan itu, membuat hati Bintang semakin tahu. Bahwa sekarang, adalah ujian terakhir yang harus dia dapatkan.“Bintang, ya?” suara Tuan Hua Liang terdengar berat. “Aku dengar kau datang membawa niat
Bintang mengangguk pelan. “Aku pernah melihatnya pada seorang pedagang di perbatasan, campuran akar nigra dan alkaloid laut. Campur garam hangat dengan ramuan jahe, tekan poin Baihui, lalu akupunktur giok untuk pengaktifan paru. Dan... Segera hantarkan cairan glukosa,” ia menoleh pada penjaga, “cari juga madu panas jika ada.”Seorang penjaga menatap bingung. “Glukosa? Madu? Itu bukan persediaan di aula.”“Ambil madu dari dapur istana!” perintah Bintang. “Cepat!”Dewi Medist bekerja di sisinya, menghancurkan beberapa herbal, merebus dengan air hangat, menambahkan garam. Bintang terus mengarahkan, lalu dengan tangan yang tegas, ia menyentuh titik-titik di leher Ketua Dewan, satu tekanan di bawah dagu, dua jari di titik tenggorokan. Ia menekan dengan ritme, menyanyikan mantra pernafasan lama yang biasa dipakai tabib-pejuang.“Ayo tarik napas! Tarik, lepaskan lalu tarik lagi!” Bintang memerintah, suaranya stabil. Sebagian penjaga meniru, meniup lembut ke hidung hingga kearah tenggorokan p
“Dewan mengundang semua tetua untuk membahas pengamanan pernikahan dua anggota keluarga bangsawan. Arka memegang kontrol pelayanan minuman. Ia bilang kata-katanya , 'biarkan mereka minum, biarkan api kecil itu menyebar’. Dia ingin mereka pingsan, bingung, lalu menuduh ada rencana penghasutan dari luar. Begitu suasana semrawut, Arka bilang dia akan ‘membawa solusi’ dan mendapatkan simpati. Untuknya segera kembali duduk sebagai pangeran.”Bintang menatap lurus, dingin. “Kau yakin racunnya bisa menimbulkan gejala pingsan cepat? Bukan kematian?”Raksa mengangguk. “Racun itu sejenis racun yang tidak korosif, bekerja lambat. Dalam beberapa menit membuat kepala ringan, mulut kering, dan napas tersengal. Tidak langsung bunuh. Cukup untuk membuat kebingungan, cukup untuk komplotannya menuding pihak lain.”Lily muncul dari balik tirai. Wajahnya pucat, namun matanya berapi. “Jangan biarkan mereka menyentuh satu pun tetua. Kalau Arka berhasil negara kami akan porak. Kau harus menghentikannya, Bi
Pria berbekas luka itu menunduk, matanya penuh keraguan, campuran antara takut dan harapan. Kata-kata Bintang tentang menyembuhkan putrinya seperti cahaya samar di lorong yang gelap. Ia menggigit bibirnya, menahan perasaan yang selama ini terkubur.“Kalau kau benar-benar bisa menyembuhkan putriku…” suaranya bergetar. “Aku akan menyerahkan segalanya padamu, bahkan jika kamu menginginkan jiwaku.”Bintang tidak menanggapi dengan panjang. Ia hanya menatap lurus, tatapan yang dingin tapi mantap, lalu memberi isyarat pada penjaga. “Bawa dia ke rumahnya. Aku akan ikut.”Beberapa jam kemudian, di sebuah gubuk sederhana di pinggiran ibukota, aroma kayu lembab bercampur dengan suara napas berat seorang anak kecil. Tubuh mungil itu berbaring di ranjang anyaman, wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ibunya menangis tersedu-sedu, menggenggam tangan putrinya tanpa daya.Ketika pintu berderit terbuka, ibu itu terkejut melihat pria berbekas luka masuk bersama orang asing berwibawa. “S
Arka tak pernah pulang malam itu. Setelah sidang yang memalukan, ia menghilang ke lorong-lorong gelap istana, lalu naik menara paling tua yang biasa dipakai untuk merencanakan intrik. Di sana, ia menyalakan sebatang dupa pahit, dan menatap cermin yang kini tak lagi memantulkan wajahnya, melainkan amarah yang menggerogoti.“Dia menang hari ini,” gumam Arka pada udara. “Tapi kemenangan sekali itu tak akan membuatku mundur begitu saja. Bintang harus jatuh… Dan aku akan memastikan itu bukan sekadar gertak.”Di balik tirai beludru, seorang utusan bertubuh kekar menunggu. Arka menatapnya, lalu tersenyum pahit.“Kau tahu pekerjaan itu, bukan? Aku butuh tiga orang. Satu untuk bayangan, satu untuk racun, satu untuk… Memastikan tidak ada saksi.”Utusan kekar itu mengangguk. “Ada kelompok yang kamu pesan, Pangeran. Mereka bukan anak bawang, mereka profesional yang tak menanyakan alasan, hanya hasil. Aku akan panggil mereka malam ini, di gudang lama pelabuhan utara. Mereka akan datang dengan syar