LOGINAku dihina sesat, dihianati calon tunanganku, dan hidup sebatang kara dengan penuh cemoohan warga. Tapi, aku akan buktikan pada mereka bahwa aku bisa menjadi Sang Jenius Penguasa!
View MoreSatrio berdiri di depan rumah bercat pastel dengan pagar besi yang baru dipernis. Itu adalah Rumah Ratih, dambaan hatinya selama dua tahun ini. Pintu teras terbuka dan Ratih muncul. Jilbabnya warna krim, riasannya tipis. Cantik. Pandangannya langsung mengarah ke Satrio.
“Pagi, Trio.”
“Pagi, Ratih.” Satrio mengatur napas. “Aku bawakan kunyit asam. Aku dapat cerita kalau perutmu sering kembung kalau telat sarapan…”
“Tri, aku—”
Sreeeeng!
Suara
knalpot keras masuk seperti pisau, motor GL-15 berhenti tepat di depan pagar.
Surya turun, melepas helm, rambutnya licin, wangi parfumnya bahkan melompati pagar.
Ia memelintir gas sekali lagi.
Brraakk!
Anak-anak di ujung jalan bersiul, ibu-ibu menoleh, bahkan bapak-bapak di pos ronda benar-benar terkejut ketika Surya datang.
“Wah, motor baru! Pacarnya Ratih sekarang keren banget.” Bu Wati mendekati bapak-bapak di pos ronda. “Beda sama Satrio. Jauh. Kembang desa macam Ratih emang paling cocok sama Surya aja. Bapaknya juragan. Andai anakku kayak Ratih, huh, paling udah aku jodohin sama Surya itu.”
Surya menaruh helm di setang, melirik Satrio dari ujung sandal sampai puncak kepala.
Senyumnya tipis, sok santai, tapi mengiris hati Satrio. “Pagi, tetangganya Ratih. Gerobakmu gimana, aman?”
Satrio menahan diri. “Mas Sur, aku sama Ratih mau bicara sebentar. Kemarin—”
“Bicara apa? Masa depan?” Surya tertawa pendek. “Masa depan itu bukan kata-kata manis, Trio. Masa depan itu DP rumah, cicilan motor lunas, dan kerja yang jelas.”
Ratih menarik napas, berusaha menyela. “Surya, jangan—”
“Gini aja,” Surya merangkul bahu Ratih di depan orang-orang. “Biar jelas. Ratih sekarang sama aku. Orang tuaku sama orang tua Ratih udah diskusi. Kami akan secepatnya lamaran.”
Suara bisik-bisik langsung meledak.
Satrio menatap jari manis Ratih. Cincin kecil itu masih terpasang. “Rat… cincinku masih kamu pakai. Cincin yang aku kasih minggu lalu.”
Ratih diam, menatap jalan, lalu menatap cincin di jarinya. Tangannya gemetar sedikit.
Surya mengangkat alis.
“Cincin tiga puluh ribu di toko online? Alah, emasnya ini gadungan.” Senyumnya merendahkan. “Laki-laki kalau cuma modal janji dan doa, itu bukan komitmen. Itu mimpi siang bolong. Mending kamu bangun, cuci muka, ngaca! Gadis desa secantik Ratih kok sama pemuda kayak kamu. Udah gitu, ngaku ‘tabib’ pula. Tabib tanpa lisensi, tanpa gelar, suka nakutin orang!”
Satu–dua orang tertawa, termasuk Pak Suwito dan Bu Wati. Yang lain pura-pura kasihan, padahal mereka menunggu apa respon Ratih.
Satrio menelan ludah, suaranya lirih, tapi tegas. “Aku memang miskin. Tapi aku serius.
Aku kerja apa aja loh, aku mau. Aku sayang Ratih, aku bakal usaha buat Ratih bahagia!”
Surya melangkah setengah meter mendekat, menatap dari atas.
“Sayang? Kalimat paling murah di dunia. Buktinya apa? Kamu dorong gerobak jamu keliling, dihina orang kampung, pacar kamu yang disuruh ikut menanggung malu? Itu cinta? Atau kamu egois?”
Ratih memejamkan mata sesaat, lalu membuka perlahan. Ia memutar cincin kecil itu. Orang-orang menahan napas.
“Maaf, Trio.” Cincin itu dilepas Ratih dengan wajah yang sedikit terpaksa. Mungkin, dia juga menahan gengsi karena orang tuanya lebih memilih Surya dari pada Satrio. Bunyi ‘ting’ dari cincin itu saat jatuh ke lantai, lalu menggelinding menyentuh lumpur di sela batu.
“WOOO!” “Putus di tempat!” Surya semakin memperkeruh suasana. “Nahkan, Ratih sendiri aja nolak kamu. Kalau mau nikah ya kerja, cari uang cukup, ternak sapi atau bikin kebun. Lah ini, malah jual jamu. Emang Ratih pantesnya sama aku. Bener ga, Pak Wito, Bu Wati?”
“Bener banget itu, Den Surya. Dia ga cocok sama dia!” Bu Wati menanggapi, diikuti Pak Suwito yang ikut cari muka.
Satrio membungkuk, memungut cincin yang kini berlumpur. Ia mengusapnya ke kaus lusuh. Matanya panas, tapi ia menahan agar tidak tumpah.
“Kalau itu pilihanmu, semoga kamu bahagia, Rat! Jangan salahin aku kalau aku bangkit terus nunjukin aku bisa kasih yang lebih baik dari Surya!”
Ratih menunduk.
Ada kalimat lain di matanya, tapi sudah terlambat. Hatinya mungkin masih terpaut ke Satrio, tapi keputusan orang tuanya tidak bisa ditolak. Apalagi, dia butuh uang untuk pengobatan kakeknya yang sudah sakit-sakitan.
Surya menepuk pipi Satrio sekali, ringan tapi menyengat.
“Belajar ya, Trio. Jadi laki-laki itu bukan soal kuat menahan hinaan, tapi kuat memberi kepastian.” Knalpot meraung, Surya menarik gas. Ratih terpaksa naik. Motor melaju, meninggalkan bau bensin dan tawa yang dibiarkan menggantung.
“Kasihan, ditinggal di depan rumahnya sendiri.”
“Sudah miskin, baper pula.”
“Jamu nggak laku, cinta juga nggak laku.”
Satrio berdiri cukup lama sampai suara knalpot benar-benar hilang. Ia masukkan cincin itu ke saku, menghela napas, lalu mendorong lagi gerobaknya. Sampai rumah, langkahnya berat. Rumah reyot di ujung dukuh itu tak pernah terasa sesunyi hari ini.
Dinding papan bolong, atap bocor, lantai semen dingin. Begitu pintu dibuka, suara batuk keras menyambar dari kamar.
“Keuh! Keuh!” Batuknya berat.
“Simbaah!”
Satrio berlari. Dia tidak memperdulikan suasana hatinya. Orang yang masih bermakna dalam hidupnya hanya tinggal satu, Simbah. Dia tidak mau kehilangan orang yang paling dia sayang.
Wajah Mulyono pucat pasi."Kalau saya salah, saya siap digantung di alun-alun," lanjut Satrio. "Tapi kalau saya benar..."Satrio menatap tajam mata Mulyono."...Bapak yang harus jelaskan ke semua orang ini. Racun apa yang sudah Bapak tuang ke air minum kami?"Wajah Pak Kades Mulyono pucat pasi. Minum air yang sudah dia tumbali sendiri? Ide gila."Kamu..." Mulyono gemetar. Dia kehabisan kata-kata.Maman maju selangkah, dadanya dibusungkan. "Gimana, Pak Kades? Ditantang minum aja kok keringetan? Katanya airnya bersih?""Iya! Coba minum!" seru warga yang lain.Surya Handoko melihat situasi sudah tidak terkendali. Dia menarik lengan Mulyono."Sudah, Pak! Gak usah diladeni orang gila!" desis Surya. "Kita urus wabahnya dulu. Urusan dia gampang."Mulyono tersadar. Dia memakai topeng wibawanya lagi."Cukup!" teriak Mulyono. "Saya harus mengurus wabah ini! Saya harus panggil bantuan dari kota! Urusan penghasut ini, kita tunda!"Mulyono dan Surya bergegas pergi meninggalkan balai desa, pura-pur
Hening.Semua warga syok.Mulyono pucat pasi karena tidak menyangka, Satrio bisa seberani ini mengungkap fakta yang buktinya saja masih samar. Surya memandang Mulyono sekilas, kemudian menyipitkan mata. "Sialan. Kok dia bisa tahu?""Itu bukan air bersih layak minum!" lanjut Satrio. "Itu racun! Itu zat kotor! Itu yang bikin anak-anak desa ini sekarat dan ibu-ibu merasa mual!"Mulyono tidak bisa diam lagi. Jika dia diam, warga akan curiga. Dia harus menyerang balik."Bajingan tengik!" Mulyono maju, telunjuknya menuding wajah Satrio. "Kurang ajar sekali, berani ya, kamu bicara seperti itu! Namanya fitnah, dan ingat, fitnah lebih kejam dari kesesaatan kakekmu!""Saya bicara kebenaran!
Satrio memeriksa nadi si bocah. Nadi itu kembali melemah. Satrio yang sudah sangat lelah, hanya bisa mendesis pelan. "Racunnya... masih ada.”"Maksudmu?""Air kelapa ini cuma memperlambat. Cuma paliatif. Racunnya sudah masuk terlalu dalam ke darah mereka." Satrio mendapat petunjuk dari liontin, apa yang dia baca dari aksara Jawa, dia jelaskan kepada warga."Jadi... mereka bakal kumat lagi?" tanya Bu Wati, yang dijawab anggukan berat Satrio.Warga yang tadi sudah lega, kembali menangis. "Gimana ini, Trio? Air kelapanya juga sudah habis!"Ketika suasana sudah kalut total, seseorang berbaju serba putih dan stetoskop melingkar di leher, datang."Permisi! Permisi! Dokter puskesma
Bu Wati, yang paling sering menghinanya, melihat Satrio. Dia berlari, bersimpuh di kaki Satrio. "Trio! Tolong, Trio! Aku tahu kamu bisa! Selamatkan cucuku! Aku mohon!"Warga yang kemarin mencibirnya, kini menatapnya penuh harap.Pak Sastro, tabib resmi desa, berdiri di tengah kebingungan. Dia sibuk mengoleskan minyak angin ke dahi anak-anak. Tidak ada gunanya."Ini... ini kesambet! Pasti kesambet penunggu pohon beringin!" kata Pak Sastro, asal bicara. "Sabar, Bu... ini saya pijat refleksi. Biar racunnya...""Mijat dari tadi gak ada hasilnya!" bentak seorang bapak. "Anakku makin biru itu!""Pak Sastro bohong!" teriak Satrio Suaranya menggelegar, memotong semua tangisan. Semua orang menoleh padanya. “Ini bukan sakit biasa. Jang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.