LOGINUjung pedang Jendral sayap kiri patah menjadi dua bagian.*Tapi diarea berbeda.Jeritan para pejabat bercampur dengan dentuman senjata. Darah mengalir di lantai marmer putih, memantulkan cahaya lentera yang bergoyang. Pasukan pengkhianat Sayap Kiri yang setia kepada Pangeran Jon Vick menyerbu dari segala arah, membantai siapa saja tanpa pandang bulu."Nimira kau begitu bergairah sekali dalam menghadapi kami..."Gaun indah Nimira berputar pelan, setiap gerakan pedangnya terlihat menari nari seperti bayangan.Namun di tengah kekacauan itu, dua sosok berdiri tegak di bawah bayangan singgasana , sosok Ardhana dan Jendral Sayap Kiri, Karzath Velan.Pedang Karzath yang patah masih berada dijepitan dua jari Ardhana. Dia berusaha mendorong tubuh Ardhana agar melepaskan jepitan jarinya, tapi pijakannya bahkan tak bergeming sedikit pun.“Bagaimana mungkin…?!” Karzath meraung, mencoba menarik pedangnya, namun jepitan dua jari Ardhana seolah dikunci oleh kekuatan fisik yang tak biasa.Ardhana me
Ruang Sidang Utama Istana Dumai, setelah semua bukti cukup dalam pengumpulan waktu Tiga Hari.Suasana istana pagi itu mencekam. Langit berwarna kelabu, awan menggantung berat di atas menara emas. Suara genderang istana menggema tiga kali, suara itu tanda diadakannya Sidang Kehormatan Kekaisaran, sebuah pertemuan tertinggi yang hanya diadakan jika seseorang dari kalangan bangsawan atau militer dituduh melakukan kejahatan terhadap negara.Di tengah aula megah itu, Kaisar Dumai duduk di atas singgasana dengan pakaian hitam kebesaran. Di sisi kirinya berdiri Vargan dengan wajah datar, dan di sisi kanan berdiri Nimira yang menatap tajam ke arah depan.Di bawah tangga singgasana, berdiri Ardhana, kini dia mengenakan jubah putih dan sabuk merah khas Hakim Agung Istana. Wajahnya tertutup sebagian oleh topeng perak tipis, menyisakan sorot mata yang dingin dan tajam.Di hadapannya, berlutut seorang pria gagah berzirah hitam, berambut perak, dengan emblem naga bercakar tiga di dadanya dia adalah
"Meski Kaisar tahu identitasku, tapi dia tidak berniat untuk membunuhku... Vargan, serahkan urusan padaku... Jalan terang, akan segera ku temukan..."Vargan tersenyum tipis."Kau benar benar tahu bahaya mengintai, tapi kau bisa tetap tenang... Ardhana aku cukup kagum..."Begitu pintu tertutup, suasana kembali sunyi. Hanya bunyi hembusan angin yang menelusup lewat celah dinding marmer, berdesir lirih seolah membawa bisikan masa lalu.Ardhana menatap sekeliling ruangan itu sekali lagi. Setiap sudut tampak rapi, terlalu rapi untuk tempat seseorang yang baru saja tewas secara misterius. Semua benda seolah sudah disusun ulang oleh tangan yang tahu persis apa yang ingin disembunyikan.Ia mendekati meja besar di tengah ruangan. Jemarinya menyentuh permukaannya perlahan, mencari ketidak seimbangan kecil. Setelah beberapa detik, kukunya menemukan retakan samar di bawah sisi kanan meja. Ia menekan titik itu pelan.Klik.Sebuah laci rahasia terbuka perlahan, disertai semburan hawa spiritual ding
Malam itu, angin berhembus kencang di menara utara Istana Dumai. Lentera bergoyang, bayang-bayang penjaga tampak panjang di dinding marmer.Ardhana duduk di balkon kamarnya, menatap langit malam yang kelam. Di tangannya, ia memegang sehelai surat kecil dari Nimira."Berhati-hatilah di istana. Kakekku sebenarnya tahu siapa dalang dibalik kematian kakekmu. Kematiannya disebabkan karena dia memberimu jalan menjadi seorang pejabat... Kini aku tak menyalahkanmu, hanya saja ingat pesanku. jangan percayai siapa pun, bahkan mereka yang terlihat berada di pihakmu." Nimira.Ardhana meremas surat itu perlahan. Suara ketukan lembut di pintu membuatnya menoleh.“Masuk,” katanya.Vargan muncul, tanpa jubah perak, hanya pakaian dalam hitam khas pengawal kerajaan. Namun auranya tetap tajam.“Aku pikir kau tidak akan tidur malam ini,” ujarnya sambil duduk tanpa izin di seberang meja.“Aku tidak bisa tidur di tempat yang penuh rahasia,” jawab Ardhana datar.Vargan tersenyum miring. “Kau memang cepat be
Udara pagi di Istana Dumai terasa berat dan asing. Kabut dingin menyelimuti seluruh kompleks bagian timur, tempat para pejabat tinggi memiliki paviliun pribadi mereka. Suara burung gagak terdengar parau di atas genteng batu jade, pertanda buruk yang jarang muncul di sekitar istana.Ardhana berjalan pelan di lorong panjang menuju ruang kerja mendiang Penasehat Tetua Chou.Di belakangnya, langkah sepatu logam berderap dengan ritme tegas, langkah itu milik Vargan, yang kini resmi menjadi rekan satu timnya dalam penyelidikan ini.“Tidak kusangka, pria seperti Chou bisa mati begitu saja di ruang pribadinya,” ujar Vargan dengan nada datar, namun sorot matanya tajam seperti pedang.“Biasanya, orang bijak seperti dia hanya mati jika seseorang menghendakinya.”Ardhana tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada pintu besar berukir naga dan bunga teratai yang dijaga dua pengawal kerajaan. Di atas segelnya, masih menempel pita merah yang berarti lokasi belum boleh disentuh siapapun kecuali oleh Ka
Semua kepala berbalik. Langkah sepatu berhak tinggi menggema di aula batu putih itu. Suaranya tenang, namun setiap hentakan seolah membawa tekanan halus yang menembus dada semua orang yang hadir.Dari pintu utama, seorang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun melangkah masuk dengan jubah perak berhiaskan sulaman naga hitam. Di dadanya tergantung lencana berbentuk mata elang, itu simbol pengawas Kekaisaran tertinggi.“Yang Mulia Lord Vargan…” gumam salah satu penilai, langsung berdiri dan menunduk.Vargan menatap Ardhana dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya dingin, bibirnya melengkung ke arah senyum yang tak tulus.“Tabib Dewa, ya? Orang yang katanya menyembuhkan ratusan jiwa dengan satu ramuan, mengalahkan dua bangsawan korup, dan kini bahkan bisa menyembuhkan Putri Kaisar.”Ia menyipitkan mata, “Sepertinya... Legenda yang terlalu indah untuk dipercaya.”Ardhana hanya menatap tenang. “Jika kau ingin memastikan, kau bisa mencobanya sendiri. Aku tak keberatan.”Seketika ruanga







