Share

10. Perempuan Tanpa Muka

Bungsuku berubah.

Apa itu hanya perasaanku yang sensitif? Ia menghindar kontak mata kalau kami bicara, itu pun kupaksa, sebab saat kami berpapasan selalu ada alasan Denok menghindar.

“Denok ada masalah apa, Sayang? Bilang ke mama, mama pasti dengar.” Aku mengikutinya ke kamar, ia urung mau menutup pintu dan menguncinya dari dalam, seperti yang dilakukan akhir-akhir ini.

Bibir kecil itu terkatup. Ia berbaring memiringkan badan membelakangiku.

“Ngantuk. Capek.”

Mau kuusap punggungnya tapi ditepis.

“Denok … mama minta maaf kalau ada salah. Tapi mama belum tahu salahnya di mana? Coba bilang, biar mama bisa perbaiki.”

“Gak ada. Aku mau tidur.” Hati ini tersayat saat buah hati memilih menyimpan sendiri masalahnya.

Aku menghela napas berat. “Baiklah, kalau Denok sudah siap bicara mama akan sediakan waktu special, sehari pun gak apa. Tinggal bilang aja kapan, ya.”

Rambutnya kuusap, ia menarik kepala menghindar. Aku ke luar kamarnya dengan bola mata terasa perih. Mungkin aku perlu mengingat-ingat, bagian mana yang sudah salah kulakukan.

Berhari-hari berlalu, tak ada perubahan. Sudah usaha kudekatkan diri mengajak Denok ke mana ia mau, makan apa, atau main ke tempat saudara pun semua ditolak. Alasan banyak tugas yang kutahu itu pasti bukan alasan.

Sampai sebuah telepon dari guru Denok, amat mengejutkanku.

Aku menjauh dari ruang produksi menuju parkiran. Ini masih di pabrik sedang lihat pembuatan bata ekspos produk baru kami, bata hias yang banyak diminati konsumen, dan siap kami kirim seluruh area Kalimantan.

Wali kelas ini langsung menyampaikan permasalahan Denok di sekolah.

“… kami mau tanya saja, kenapa surat yang dikirim ke orang tua tidak mendapat respon, kami minta Ibu ataukah Bapak bisa hadir ke sekolah untuk membicarakan ini.” Bagai petir di siang bolong menyambar tubuh, aku mencoba mengendalikan diri.

“Maaf, kapan surat itu dikasih ke anak saya, Bu?”

“Empat hari lalu.”

Aku terdiam mengingat-ingat.

“Sudah tiga kali bolos tanpa izin, padahal kami sudah beri sangsi, tetap saja kemarin terulang.”

Aku mendengar dengan kepala terasa melayang. Bukankah anak itu aku antar sampai depan gerbang? Meskipun ia bisa naik motor aku belum izinkan berangkat sendiri, lalu jam pulang ia sudah menunggu di luar gerbang? Bagaimana sebegitu pintarnya berbohong …?

“Oh ya, apa ananda Denok pernah sakit selama dua hari, Bu?”

Aku menggeleng, lalu cepat menjawab. “Seingat saya tidak pernah sakit setahun ini … ada apa, Bu?”

“Nah sejak izin sakit dua hari itu mulai tuh bolos, nilai semua pelajarannya terus merosot di bawah 7, ada yang sampai 5. Itu sangat tidak biasa, Bu.”

Astagfirullah … tubuhku makin melemas, tersandar pada mobil kupijat kening yang berdenyut. Aku menoleh pada karyawan di sana, mengangkat tangan kode akan pulang dulu, lalu masuk mobil.

 Kapan izin sakit? Apa … saat Syifa, ah aku ingat ia nginap di rumah April saat aku dan Mas Danang menemui kakaknya yang sakit. Ya Allah, jangan sampai ….

Wali kelas Denok sangat berharap kerjasama kami sebagai orang tua memerhatikan lagi anak, lalu beliau menutup panggilan.

Allah … pikiran buruk hadir menghantuiku.

Ponsel dengan wallpaper empat putri cantik kupandang nanar, pikiran sedang memilih kalimat tepat menanyakan pada anak itu. Denok tadi malam nginap di rumah ayahnya. Hari Sabtu memang biasa ia ke sana dan pulang minggu sore. Kuputuskan menelepon Mas Danang dulu.

“Mas di mana?”

“I-ini, lagi di rumah Jumri.”

“Oh.”

“Ada apa, Dik?”

“Apa Denok di rumah?”

“Tadi mau ke luar sama April. Jalan katanya. Kenapa? Hubungi langsung ke nomornya saja.”

“Ya sudah, Mas.”

Usai panggilan, telepon genggam itu kutempelkan di dada, ikut merasakan degup jantungku tak beraturan. April sudah kutegur tidak boleh bawa Denok ke tempat yang tak semestinya, tapi apa orang itu akan menurut?

Kuarahkan kendaraan ke pinggir kota. Menelepon Denok dua kali tak diangkat, kuputuskan menepi.

‘Kamu di mana, Sayang? Temanin mama ke Hypermart, yuk!’

Tak ada tanda-tanda dibuka. Aku mengetuk setir, menunggu. Kulirik lagi layar. Dibaca. Lalu tanda ia mengetik. Kutunggu dengan sabar.

 Lama.

Biasanya jempol anak itu gesit menari pada layar hape, apa ini isinya super panjang?

Aku bersabar menunggu semenit lagi.

‘Lagi gak bisa, Ma. Lagi bikin masak sama Kak April. Gak bisa ditinggal.’

Tertegun sejenak, refleks aku tersenyum.

Denok … ia tidak suka masak, lebih pilih menyikat WC kalau aku minta bantu di dapur. Merasa tak beres aku teruskan melaju. Jantung ini sudah tak karuan, putriku terasa makin pintar berdusta. Ya Allah, jangan mengujiku melebihi kekuatan ini ….

Sampai di rumah sederhana itu, terlihat ada dua lelaki tinggi besar tengah tarik menarik dengan April.

“Jangaaan!” Sumpah serapah keluar dari mulutnya melawan. Sepertinya memperebutkan amplop putih.

Aku turun dari mobil, bertanya pada tetangga depan. Beberapa orang memang tengah keluar dari rumah, melihat tapi tak ada yang berusaha mendekat.

“Ada apa, Bu?”

“Itu barang-barang tadi diambil paksa, sekarang apakah lagi yang direbut,” ujar ibu berdaster batik.

Aku mengangguk. Melihat dua lelaki bertampang sangar itu balik memarahi April yang terlihat tidak takut.

Ia sudah ke luar dari ruko Galaksi itu. Sekarang kudengar jualan via online dan diantar ke rumah-rumah. Mereka makin kesulitan keuangan, beberapa kali teman dekat katakan Mas Danang mencoba cari pinjaman lagi, tapi malah meminta pertimbangan dariku. Mereka tidak percaya lagi jika itu bukan atas permintaanku.

Betapa kuatnya nilai kepercayaan. Begitu tidak ada maka akan sulit sendiri. Mas Danang makin ekstra keras gali lubang tutup lubang. Padahal aku menanti ia minta harta bagiannya, seperti waktu itu, dan ada alasan minta berpisah.

Agh! Kenapa jadi pikir mereka?! Tujuanku ke sini untuk Denok.

Aku gegas mendekat. Masuk halaman tepat saat lelaki sangar mendorong April, membuat perempuan itu tersungkur, keningnya mengenai sudut jendela yang terbuka.

“Suamiku akan bayar semua! Dengar itu! Dasar …!” Mulutnya terus mengumpat, menyebut tiga nama hewan berulang-ulang.

Dua orang yang berhasil merebut amplop gegas pergi. Tampak sebagian uang merah robek terjatuh di lantai.

Setelah halaman ini kosong mataku beralih padanya, ia tengah mengusap pelipis yang berdarah.

“Mana Denok?” Aku tak peduli ia meringis melihat darahnya sendiri. Perempuan bercelana jeans pendek itu bangun, akan masuk seolah tak melihatku.

“Mana Denok?!” Kucengkeram lengannya kuat.

“Aw! Sakit!”

“Katakan!” Kepalaku terasa berasap, mungkin seperti gunung berapi siap meletus. Muka masam tak memedulikanku ini membuat diri super geram.

“Aku gak tau. Di rumah pacarnya mungkin!” Ia mengibas tanganku, akan masuk.

Cengkeramanku makin kuat. “Pacarnya siapa? Di mana?!”

 “Mana aku tahu, Denok itu bukan bayi lagi!”

Ya Allah … tolong redam jiwa pembunuh dalam diri ini. Apa kamu sangka orang sabar tak bisa berniat membunuh? Oh jangan salah, itu bisa saja muncul dan bangkit kalau dihadapkan pada perempuan tanpa muka seperti di depanku ini.

Kutarik leher bajunya yang longgar. “Katakan siapa pacar Denok, di mana?! Ini pasti gara-gara kelakuanmu sampai anakku liar!”

Ia tersenyum, mata mendelik membiarkan aliran darah dari pelipisnya jatuh dan menetes di dagu.

“Aku gak kenal. Itu kakak kelasnya dulu. Mana mau dia curhat sama ibunya yang cuma mikir duit. Bisa saja sekarang mereka sudah kebablasan,” ujarnya sambil tersenyum tipis.

Cekalanku melonggar, tiba-tiba merasa blank. Denok …?

“Denok pernah bilang cowok itu ngekos daerah kampus Unpar, pacarnya kuliah jurusan ekonomi. Coba tanya aja namanya Jerry.”

April akan masuk, melihatku termangu ia lalu mundur lagi. “Makanya jaga suami, jaga anak, jangan bisanya kuasai harta orang aja.” Ia langsung gegas masuk, menutup pintu cepat.

Aku menggeram. Kalau tak pikir hukum, merusak rumah dan melukai orang ada pasalnya sudah kuhancurkan pintu, dan wanita di dalam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status