Share

6. Kita Sudah Berbeda

“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?” Terdengar ragu Denok berkata begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.

Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”

Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.

“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.

Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.

“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke aku siap-siap dulu.”

Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.

Kenapa ada nyeri terasa menyengat?

Secara kasat mata aku menunjukkan ppenerimaan atas kehadiran April di antara diri dan mas Danang, tanpa pernah mulutku menjelekkan mereka di depan anak-anak dan itu yang membuat mereka membuka diri menerima orang itu sebagai istri bapaknya. Meski diminta suamiku memanggil Bunda, mereka masih menolak, alasan akrab dengan panggilan kakak. Mas Danang terlihat paham dan tak memaksa. Semua butuh waktu. Aku berusaha tak ikut campur semua hal tentang April.

“Mama yakin? Kami masih boleh sayang Kak April seperti dulu?” Ini pertanyaan Syifa.

“Iya apa Mama gak akan sedih?” Naya pun bertanya. Mereka takut melukai hatiku.

Aku mengangguk, dengan bola mata terasa panas dan perih.

Sebisa mungkin air mata yang akan luruh kutahan, kupeluk mereka meyakinkan aku baik-baik saja. Itu saat pertama mereka izin, ikut nginap di rumah baru papanya yang konon sangat luas, juga ada kolam renang panjang di halaman belakang.

Begitu mereka pergi aku gegas ke kamar. Menutup wajah dengan bantal, tangis ini pecah sekuatnya, mengeluarkan semua sesak yang terasa menekan ulu hati. Ya Rabb … apa aku telah salah memilih jalan ini? Terbersit sesal kenapa aku bertahan.

*

Kucoba berdamai dengan keadaan. Membagi diri untuk anak-anak dan pekerjaan. Mas Danang begitu tahu aku membekukan keuangan khusus untuk bisnis, tak dipakai untuk keperluan pribadi apa pun alasannya, mulai lepas tangan, seperti membiarkan saja aku mengendalikan pabrik dan CV.

Lelaki itu tak jua menafkahi, alasan aku sudah dapat gaji dari usaha kami. Ya, sistemnya memang kami berdua sebagai pemilik juga bergaji, seperti karyawan, itu kulakukan sejak awal dulu agar tak merasa omset sebagai uang boleh dipakai apa saja. Itu salah satu alasan usaha ini bertahan.

Yang menggelikan, Mas Danang tetap ambil gajinya untuk menafkahi April, dan itu kuhentikan bulan lalu, membuatnya kecewa kemudian memulai bisnis baru lain, yang entah darimana saja modalnya.

Aku fokus meluaskan jual beli kayu merambah pada pengolahannya. Di awal ini waktu tersita banyak. Meski kupercayakan pada orang lain tetap aku juga harus melihat, survey lokasi hingga membuat pertemuan dengan beberapa perusahaan untuk memulai kerjasama. Masalah bertambah saat pabrik bata berkurang peminat, karena mereka beralih pada batako ringan dari batu apung yang lebih murah.

Pikiran ini terbagi. Meski sudah kujelaskan, tetap saja mendapat rengekkan anak-anak memintaku menemani mereka. Tiga kepala putriku dengan tiga keinginan berbeda sulit kupenuhi. Belum lagi curhatan tentang lawan jenis yang coba kudengar, tapi kemudian tertidur sebab kelelahan, lalu menuai protes.

Sementara ini kubiarkan mereka lari saudaraku atau ke mama tirinya, sampai kondisi usaha memungkinkan aku bisa sedikit santai.

“Mama sibuk banget, mulai lupa deh sama kita.”

“Mama gak asyik.”

Dan ….

“Lebih senang di rumah Kak April. Kita bisa seru-seruan bareng, gak kayak Mama, kaku.”

Dibandingkan begitu terasa menyakitkan.

“Maaf ya Sayang, mama akan punya waktu banyak setelah semua stabil. Mama ini usaha sendiri, badan remuk juga gak kuat sana-sini,” jelasku sambil memohon pengertian para kesayangan itu.

Ini amat berat, aku mau teriak melepaskan segala beban yang menumpuk, tapi kekuatan tersembunyi itu muncul saat aku berniat kuat dan tak ingin bergantung pada suami.

Harapan pada Tuhan tetap kugantung, meski iman ini masih naik-turun.

Luka hati sempat terbuka saat kudengar usaha tambang Mas Danang dan relasinya sukses. April sekarang mengendarai sedan harga 400-an juta. Teman-teman yang ceritakan itu, karena selama delapan bulanan ini kami tak pernah bertemu muka. Luka itu terasa mungkin karena diri seudzon ia terasa ingin memanasiku. Namun kucoba redam, jangan sampai pikiran negatif ini menyakiti diriku sendiri.

“Sekarang kayak gak kenal loh sama si April. Pakaiannya modis kurang bahan. Kulitnya juga makin kayak susu, gak kuning langsat kayak dulu.”

Topik saat bertemu dengan teman-teman pasti ada menyerempet tentang madu muda itu.

“Kamu jangan kalah, Aya. Nanti dia makin ngelunjak.”

Aku hanya tersenyum tipis. “Udah biarin aja, baguslah kalau cantik biar Mas Danang gak nyari yang baru lagi,” timpalku membawa lara ini jadi tawa. Padahal di dalam sana luka lama terasa berdarah.

Mas Danang memang sedang terbang. Ia mencintai dan memanjakan istrinya itu dengan sangat berlebihan. Biarlah aku mengabaikan luka, fokus saja pada apa yang kupunya saja.

*

“Masakan mama sudah selesai, nih. Ini sambal goreng hati permintaan Kak Naya, ini kare ayam pesanan Syifa, dan … ini ayam goreng pesanan Denok.”

“Kak Al, bikin steik sendiri, hmm … biki ngilerr gak nih?” Almira yang tengah libur akhir semester ada di antara kami.

Hari minggu ini aku dibantu Almira khusus bagian masak, mendaftar pesanan menu para gadis yang tadi gotong royong bersih-bersih rumah. Lihat, mata mereka langsung berbinar dan tubuh tertarik ke arah meja makan.

Usahaku mulai stabil dan saatnya membayar waktu yang sebelumnya hilang bersama anak-anak.

“Waah, Makasiih, Ma. Ini pasti enaak bangeet.” Jempol Naya terangkat ke atas.

Tubuhku yang bau bawang, masih pakai celemek dipeluk mereka ramai-ramai.

“Sama-sama, Sayang. Ayo makan. Mama mau ganti baju dulu.”

Suasana ruang makan pun riuh. Kami semua berkumpul sambil berbagi cerita seru. Harusnya makan itu diam, tapi entah kenapa bagi kami terasa keakraban makin kuat di sekitar meja makan.

Setelah selesai tak ada satu pun beranjak, masih ada saja yang belum selesai dibahas, termasuk cowok yang menyukai Naya sampai rutin mengirimkan surat puitis untuknya, haa.

“Assalamuaalaikum.” Suara khas orang yang kami kenal masuk dari pintu samping. Kami menjawab berbarengan.

“Eh, itu Ayah ayo sambut.” Mereka berdiri, bagai anak kecil bergantian menyalim bapaknya.

Aku ikut menemui Mas Danang, meraih dan mencium takzim punggung tangannya.

“Sudah makan belum, Mas?”

Ia menggeleng. Aku segera mengambilkan satu piring.

“Ayo, Mas makan dulu.” Kutarik kursi untuknya, mengambilkan nasi dan lauk.

“Porsi sedikit saja,” pintanya saat kutanya seberapa.

Setelah menyiapkan segelas air di sisi kanan Mas Danang aku ikut duduk, menemaninya. Anak-anak cukup banyak bertanya kabar bapaknya, sambil saling membantu membersihkan piring-piring kotor.

Tatapan lelaki itu sesekali melirik kosong pada keceriaan anak-anakku dan keakraban kami. Ia terlihat tak berselera mengunyah makanan, tapi tetap menghabiskan yang ada di piring. Firasat merasa kedatangannya ini ada yang ingin disampaikan.

Kupandangi ia dalam diam, meski telinga mendengar keramaian putri-putriku, tapi otak terbawa mengingat bagaimana sosok di depan mata ini.

Kami pasangan terkenal solid dan saling melengkapi. Dalam usaha ia seorang pelobi terbaik, mudah berteman akrab dengan relasi, sikap humble dan ramah modal utamanya, sampai aku yang pendiam ikut terbawa gemar berteman hingga sekarang. Lalu aku si pengatur keuangan, membagi sesuai pos-pos keperluan sedisiplin mungkin, agar modal yang pas-pasan tak terpakai dan malah berujung minus.

Kami bisa berjaya, tak khawatir akan biaya kesehatan dan pendidikan anak-anak. Namun kini … cerita sudah berbeda.

“Dik … aku mau bicara.”

Seperti yang kuduga. Ia mulai bicara serius saat anak-anak sudah ke ruang depan.

Ia menatapku lekat, sedang aku menahan diri untuk tak bertanya ada apa.

“Mas mau minta tolong …” Ia menggantung kalimat dan … aku menunggu.

Mas Danang lama tertunduk.

“Bagaimana kalau pabrik bata dijual saja ….”

Apa?!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status