Share

5. Dia Tampak Bangga Menjadi Maduku

Makin banyak yang datang, tapi tidak anak-anakku mereka bersikukuh memilih tidak ingin melihat ini. Aku paham, asal mereka tahu saja kalau bapaknya sudah menikah itu cukup.

Aku duduk lesehan di antara para tamu, menyaksikan semua sampai kata sah dari pernikahan terpaut usia 26 tahun itu terucap. Genggaman erat tangan teman-teman makin menguatkanku untuk tak menangis.

“Terima kasih atas keikhlasannya Bu Soraya. Kami atas nama keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya,” tandas paman April yang sebelumnya kupaksa datang untuk menjadi wali.

Ia datang sendiri dengan wajah banyak tertunduk, sama seperti yang dilakukan keponakannya itu. Sementara ibunya April tak menampakkan batang hidung sama sekali, sudah pasti malu, merasa bersalah Mas Danang diam-diam menikahi anaknya beberapa hari lalu di rumahnya, tanpa sepengetahuanku.

Aku tak menjawab kalimat basa-basi itu. Terlalu sulit untuk banyak bersandiwara, berpura menerima padahal hati ini berat, amat berat.

“Kalau kamu gak kuat di rumah bisa langsung ke rumahku, Aya, kita ngerujak rame-rame.”

“Ke rumahku juga bisa. Pintu lebar kebuka untukmu. Jangan simpan sendiri masalah, nanti jadi penyakit. Akan ada orang yang kesenangan kalau kamu sakit.”

Aku mengangguk haru. Lepas acara teman-teman berlomba menyemangati. Sampai si pengantin perempuan terlihat diabaikan, ia terus tertunduk, sebab tak ada yang mendekat barang mengucapkan selamat padanya. Mas Danang ngobrol dengan teman-teman sesama pengusaha di ruang lain, terlihat lupa memperhatikan istri barunya.

Justru akulah yang dikerumuni, awalnya perhatian mereka membuat hati sendu, memanaskan mata sampai kemudian tawa bisa kulepaskan jua. Ada saja hal lucu yang jadi topik pembicaraan mereka, termasuk si Sri, tatangga yang melorot kemben saat nyanyi di kondangan, bukan malu ia malah guyon kalau para penonton kebetulan beruntung melihat ‘bolanya’ hahaa.

Ah, nikmatnya memiliki banyak teman baik, mereka mendukungku meski aku tak pernah mengumbar keluhan.

Lepas acara, semua pamit pulang. Si April yang sejak tadi hanya bungkam, merasa sendiri di antara keramaian gegas masuk kamar, dan mungkin sekarang sudah berganti pakaian, menunggu Mas Danang menemuinya.

“Mas, rumah ini khusus untuk kita dan anak-anak. Jangan bawa istrimu ke sini.” Aku mengingatkan saat lelaki ini masuk kamar kami.

“Baiklah, Dik. Aku hargai ikhlasmu, kamu butuh waktu. Semoga dua keluarga ini nantinya bisa akur.”

“Maaf, Mas. Jangan terlalu berharap, ingat, aku lakukan ini hanya untuk anak-anak.”

“Loh, kenapa begitu?”

“Ya memang begitu. Rumah ini milik anak-anak, dan keluarga baru Mas Danang itu harus mulai dari nol. Ah ya, Almira sedang butuh biaya banyak, rumah yang baru dibeli dari Pak Idris itu sudah kutawarkan.”

“Soraya!” Kasar ia menyebut nama panjangku. Tak pernah seperti ini. Yah, mungkin aku harus terbiasa dengan sikap barunya.

“Aku nggak mungkin pakai uang pabrik atau uang CV. untuk biaya sekolah. Kemarin lunasin rumah itu juga kepake asuransi pendidikan Almira, aku terlanjur deal karena ada yang nawarin.”

“Kamu kenapa bertindak sesukamu, hah?!”

“Apa Mas gak malu kalau Almira putus di tengah jalan? Apa kata orang-orang? Sedangkan kita sudah membangga-banggakan anak jadi calon dokter, Mas. Itu cita-cita terbesar Almira juga.”

Ia terlihat melunak. Aku sangat mengenalnya, harga diri Mas Danang itu cukup tinggi, marah jika diremehkan. Ia merasa orang yang mampu dalam segala hal. Mungkin juga berhasil mendapatkan istri muda nan cantik termasuk kebanggaan di depan teman-temannya. Padahal kalau bukan aku yang atur keuangan usaha kami sudah lama gulung tikar.

Kami keluar kamar tepat saat April menunggu di depan kamar bekasnya dulu. Tak kusangka perempuan itu memakai pakaian tipis seperti … lingerie, warna cream yang atasnya dilapisi dengan jaket jeans. Bagian dada berenda bentuk V itu sangat rendah, dan oh, astagfirullah … bahan kain yang dipakai seperti bentuk saringan santan, bahkan lebih transparan, tampak jelas celana dalam merah melambai-lambai hasrat lelaki.

Mas Danang yang berdiri di depanku terlihat menelan ludah berkali-kali, melihatnya tanpa kedip. Aku yang syok segera tersadar melihat senyum tipis April. Oh, rupanya ia sengaja bawa pakaian ganti itu tadi. Mau memanasiku, hem?

Hahaa. Hatiku langsung tertawa. Kelihatan merasa hebat, tapi ini menurutku sangat memalukan. Menjijikkan. Alhamdulillah anak-anakku tak ada di sini.

Oke, silakan kau nikmati dulu, April. Jangan lupa, nikmat ini hanya sesaat, sebentar lagi hatimu akan mulai gelisah. Itu kupastikan terjadi.

*

‘Mas ini yang beli rumah minta dikosongkan besok. Katanya mau dipakai.’

Pesan terkirim, langsung dibaca. Kemudian telepon dari Mas Danang. Aku menarik napas tenang.

“Assalamuallaikum, ya, Mas?” Aku bersuara tetap selembut biasanya.

“Apa-apaan kamu mendadak begini. Mana bisa April pindah secepat itu?! Tunggu dapat rumah baru dulu.”

Jadi … mau beli rumah baru? Okelah kasihan juga kalau kalian harus nyewa.

“Kebetulan yang beli ini gak sabar mau didekor cantik lagi, hadiah anniversary 15 tahun pernikahan buat istrinya. So sweet, kan? Oh ya isinya juga dibeli lho, Mas, bilang April jangan bawa apa-apa.”

“Kamu ini kenapa baru ngomong sekarang?” Ia terdengar gusar.

“Buat seorang Mas Danang nyari rumah baru itu gampang. Aku tahu Mas punya saham di Batu Bara Adyaksa, tapi aku gak permasalahkan itu, silakan saja hasilnya untuk istri baru.”

Ia terdiam. Setelah pernikahan kedua banyak hal yang terkuak. Bisnis join Mas Danang dengan teman-teman lain, yang dulu mereka sembunyikan satu persatu mereka buka. Dulu takut aku sakit hati atau meminta cerai, tapi melihatku bisa tenang menikahkan suami mereka sepertinya percaya kalau aku bisa terima.

Ya, menikahkan memang lebih berat, dibanding tahu pintarnya ia sembunyikan sesuatu di belakangku. Menyadarkan diri tak cukup dalam mengenal sosoknya walaupun puluhan tahun bersama. Begitulah manusia, tak mudah terselami apa yang direncanakan dan dipikirkan.

“Soal itu maaf, Dik. Sebenarnya mau jujur tapi terlupa.”

Senyumku mencuat. Bagaimana bisa terlupa, bukannya aku istrimu sejak lama.

“Gak ada yang perlu dimaafkan, Mas Danang. Aku sudah lebih dari bahagia punya anak-anak.”

Kami mengakhiri panggilan karena ia harus segera mencari rumah buat April. Begitulah sekarang, seminggu pasca menikah lagi harinya banyak di sana. Kalaupun ke sini hanya sebentar, sempat minum, dan meyapa anak-anak sepulang sekolah. Sekadar berbasa-basi.

Bulan madu memang masih sangat manis akan sayang kalau ia lewatkan. Aku paham itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status