Zlarrrrr…!!!
Suara dari sambaran petir —yang terdengar sangat nyaring saat menyambar dan menghancurkan seluruh dinding ruangan— menghentikan keributan di antara mereka.
Jessica yang awalnya mengira jika sebuah bom telah jatuh ke rumah sakit itu, hendak melarikan diri tapi tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali hingga sempat mengira jika dirinya ikut meledak dan mati bersama dengan ledakan tadi.
Ia mengira jika hanya rohnya sajalah yang tersisa dan hidup dengan melayang-layang di udara, —setelah melihat jika lantai yang dipijaknya juga ikut hancur lebur oleh sambaran petir barusan.
Saat debu dari ledakan mulai menyusut, Jessica melihat puing-puing dari ruangan yang telah hancur, juga melayang-layang di udara seperti dirinya. Karena itulah dugaan jika tubuh Anna yang menampung rohnya telah hancur, juga semakin kuat.
Tapi saat debu dari ledakan sudah hampir menghilang sepenuhnya, Jessica akhirnya melihat tubuh Elvin yang masih tetap utuh sedang melayang-layang di hadapannya. Tubuh pria itu diam membeku bagai sebuah manekin dengan mata terbuka yang menatapnya kosong seakan tak bernyawa.
“Kami tidak ikut meledak?”
Jessica hendak berpaling untuk memeriksa keadaan di sekelilingnya, namun ia tidak bisa menggerakkan lehernya sama sekali. Ia juga baru sadar kalau matanya juga tidak bisa dikedipkan. Selain kedua bola mata dan mulutnya, tidak ada bagian lain dari tubuhnya yang bisa digerakkan.
Setelah beberapa detik berlalu, Jessica melihat semua benda yang beterbangan itu berhenti dan melayang-layang diam di udara.
Kedua bola matanya bergerak kembali, melirik ke arah dada Elvin yang dilihatnya bergerak sangat halus, dan ia yakin jika Elvin masih hidup.
'Dia masih hidup, kan? Apa dia sedang pingsan?' pikir Jessica, mulai merasa takut.
“Ternyata kau bisa merasa takut juga, ya?”
Jessica hendak berpaling saat mendengar suara seseorang —yang terdengar seperti suara anak kecil— berbicara dari arah belakangnya andai ia bisa menggerakkan lehernya untuk berpaling. Sayangnya, tubuhnya yang tiba-tiba saja membeku menolak untuk mengikuti keinginannya.
Tak lama kemudian barulah ia melihat si pemilik suara, yang sedang melompat dari puing bangunan satu ke puing bangunan lain hingga akhirnya mendarat pada sebongkah besar bekas reruntuhan tembok yang berada tepat di hadapan dirinya lalu duduk bersila di sana, tepat di sebelah Elvin yang diam bagai tak bernyawa.
Anak lelaki yang ia tebak memiliki rentang usia antara 8-10 tahun itu tertawa, mengejek dirinya yang tampak sangat jelas sedang ketakutan atas apa yang dialaminya —membuat Jessica merasa iri pada Elvin yang sepertinya tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada mereka.
“K-kau… apa kau yang melakukan semua ini?” tanya Jessica dengan suara bergetar, sadar jika hanya anak itulah yang bisa bergerak dengan bebas.
“Ya.”
“...Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Dewa.”
“...Hah?”
Anak itu tertawa, melihat ekspresi tak percaya Anna yang terlihat lucu baginya.
“Menurutmu, bagaimana caranya kau bisa berada di dalam tubuh Anna Briel jika bukan karena perbuatan entitas dengan kemampuan Dewa?”
“Apa?! Jadi kau yang sudah—”
“Diam dulu. Tsk… kau berisik sekali,” potong si anak yang baru saja mengakui dirinya sebagai Dewa.
Seketika itu juga mulut Jessica terkatup tanpa ia kehendaki, dia juga tidak bisa membuka mulutnya lagi walau sudah mencobanya berulang kali.
“Nah… begini lebih baik, kan?” ejek sang Dewa sebelum tertawa riang sembari bertepuk tangan.
“Aku tahu apa yang kau inginkan,” ucap sang Dewa setelah puas tertawa. “Tapi kau tidak akan bisa kembali ke tubuhmu lagi dengan cara yang kau pikirkan itu.”
“...”
“Tsk… bicaralah…,” ucap sang Dewa, merasa aneh jika dia harus bicara sendirian karena sudah membuat mulut Anna tertutup rapat.
“Ja-jadi… bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke tubuhku?” tanya Jessica dengan suara bergetar. Apa yang sudah Dewa lakukan padanya barusan membuat rasa takutnya kian meningkat.
“Harusnya kau bertanya dulu kenapa aku melakukan ini pada kalian berdua, kan?” Dewa bertanya balik.
“...Baiklah. Kenapa kau lakukan ini pada kami?”
Bukannya langsung menjawab, sang Dewa malah tertawa kembali.
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi anak yang penurut? Bukankah kau biasanya akan langsung membentak siapapun yang berbicara berputar-putar apalagi saat tahu jika orang itu sedang mencoba memengaruhimu?”
“...”
Tahu jika anak yang mengaku sebagai Dewa itu berbahaya, Jessica yang sebenarnya merasa sangat marah tidak berusaha mendebatnya. Ia benar-benar menahan diri untuk tidak memakinya. Selain itu, dia juga masih merasa takut.
Namun demikian, tetap saja Jessica mengumpat dalam hatinya, ‘Si brengsek ini! Andai aku tidak—’ “Aaaaahhhhhh…!”
Tubuh Anna mengejang saat energi listrik yang muncul entah dari mana tiba-tiba saja mengalir dalam dirinya, bahkan sampai menyakiti roh Jessica yang berada di dalamnya. Saat aliran listrik itu sudah mereda, Jessica melihat anak di hadapannya itu tertawa terpingkal-pingkal, ia yakin jika anak itulah yang telah melakukan hal itu padanya.
“Jangan coba-coba menyumpahiku walau hanya dengan pikiranmu,” sang Dewa yang bisa mengetahui apa yang sedang Jessica pikirkan, memberikan peringatan.
Bukannya mematuhi kata-kata Dewa, Jessica malah mengumpat marah lagi padanya. Hal itu sebenarnya dilakukannya secara tak sengaja, hanya karena kebiasaannya saat tahu ada seseorang yang berusaha mengganggu, apalagi sampai menyakiti dirinya seperti yang Dewa lakukan tadi.
Jessica berteriak-teriak saat merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sambaran listrik yang sama menyetrum tubuhnya lagi.
“B-berhenti… t-tolong berhenti, ok? Aku menyerah…” pinta Jessica akhirnya.
“Benarkah? Matamu berkata lain.”
“Tidak! Aku tidak akan berbicara kasar lagi!”
“Tsk… bicaralah dengan santai. Kenapa harus berteriak?”
“...Bagaimana aku bisa berbicara dengan santai saat tahu kalau kau akan menyetrum ku lagi?!” umpat Jessica, menyalurkan kemarahannya. Rasa takutnya bahkan sudah menghilang akibat luapan emosi di hatinya. Dia benar-benar merasa seakan sedang dipermainkan dan tidak menyukai perlakuan ini.
“...Benar juga. Ehm… Baiklah, sampai mana pembicaraan kita tadi?” Dengan lagak seakan mengingat pembicaraan mereka, sang Dewa mengusap-usap dagunya yang licin.
“Memangnya kita sudah membicarakan sesuatu?! Bukankah kau tadi— …Maaf. Silahkan lanjutkan.” Dengan sangat terpaksa Jessica menurunkan tatapan kesalnya dari sang Dewa saat melihat kemarahan di mata sang Dewa ketika ia berbicara dengan nada tinggi barusan.
“Tsk… kau ini… Kau memang terlalu berani! Jangan pernah berani—”
“Sampai aku yang tidak akan bisa kembali ke tubuh asliku dengan cara yang kupikirkan,” potong Jessica, merasa jika sang Dewa akan berbicara berputar-putar lagi hanya untuk mempermainkannya.
Dia ingin agar sang Dewa menyampaikan langsung apa yang ingin disampaikan tanpa membuatnya terhina lagi seperti tadi. Bahkan kakeknya yang sangat berkuasa pun tidak pernah memperlakukannya seperti ini, apalagi orang lain.
“...”
“...”
“Anak nakal! Baiklah, sekarang aku akan memberitahumu cara agar kau bisa kembali ke tubuh aslimu.”
“Apa kau tidak pernah merasa kalau dirimu itu terlalu angkuh dan suka bersikap seenaknya?” Dewa memulai pembicaraan mereka lagi dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang tentu saja langsung dibantah Jessica, “Aku angkuh? Bagaimana kau bisa menyimpulkan tentang diriku dengan seenaknya saja?” “Karena aku adalah Dewa. Aku bisa tahu dan melihat apa yang sudah kau lakukan sepanjang hidupmu, dan itu membuatku muak.” “Hah? Muak? Apa itu sebuah kejahatan? Aku hanya bersikap sesuai dengan apa yang kuinginkan dan sesuai dengan keadaan yang terjadi di sekitarku. Apa kau ingin agar aku bersikap palsu seperti sedang berperan dalam sebuah film?” bantah Jessica. “Kau berani membantah Dewa? Kalau kau bisa menahan diri, kau pikir Anna Briel akan mengakhiri hidupnya?” “...” “Kau menyadarinya?” “Hah? Siapa yang menyadarinya? Bukankah kau ingin agar aku tidak membantahmu? Kalau Dewa berkata seperti itu, apa aku punya hak untuk membantah lagi?” “...” “Betul, kan?” “...Sudahlah…,” ucap
“Anna! Apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin melompat ke bawah sana? Jangan bodoh!” seru Jessica memanggil Anna yang sedang memanjat pagar balkonnya. Tidak mendapat jawaban dari remaja itu, terutama setelah melihat Anna sudah berhasil duduk di atas pagar balkon, Jessica yang saat itu sedang memiting Joseph Thiago —tunangannya— setelah berhasil memenangkan perkelahian di antara mereka, mau tidak mau melepaskan apitan tangannya dari leher Joseph dan berlari dengan tergesa untuk menarik Anna turun dari sana. Ia menebak, Anna yang tampak putus asa itu berniat untuk bunuh diri dengan melompat dari atas pagar ke sisi luar balkon. Jessica memang selalu merasa kesal pada Anna tiap kali melihat akting buruknya dalam semua kesempatan casting yang perusahaan mereka berikan. Ia juga sangat marah setelah melihat Joseph merangkul Anna di atas ranjangnya. Tapi dia juga tidak ingin Anna sampai mengakhiri hidupnya karena semua hal itu. Jessica sebenarnya sangat menyayangi Anna yang dianggapnya mem
Di sebuah gedung 20 lantai… Elvin Wright duduk di belakang meja kerjanya, membiarkan komputer menyala sementara ia termenung saat mengenang kembali akan kejadian aneh yang dialaminya di ruang perawatan Jessica Wright —adik angkatnya— yang sedang terbaring koma. Sikap dan cara berbicara remaja bernama Anna Briel yang sempat berdebat dengannya disana —sebelum akhirnya kejang-kejang dan jatuh pingsan— membuat konsentrasinya dalam bekerja menurun selama beberapa jam belakangan ini. Elvin bahkan masih duduk termenung di kantornya walau hampir seluruh karyawan di kantor itu telah pulang. “Kakek juga merasakan sesuatu yang janggal dari dirinya, kan?” pikir Elvin, mengingat Norman Wright yang biasanya tidak pernah tertarik berinteraksi apalagi berhubungan dengan orang asing —kecuali sedang bertransaksi bisnis— malah meminta untuk tetap tinggal untuk melihat kondisi Anna sementara ia kembali ke kantornya. Saat itu Norman Wright sebenarnya berada tepat di belakang Elvin ketika mereka memergo
Karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih berada di tubuh aslinya, Jessica —yang mulai saat ini akan disebut sebagai Anna— terbangun sebelum fajar menyingsing. Saat itu masih pukul 4 pagi dan dia tidak melihat Sherly lagi di sampingnya. “Dia bangun lebih pagi dariku?” Saat ia sedang bertanya-tanya, ingatan Anna muncul begitu saja dalam benaknya —seperti biasanya—, menggambarkan rutinitas Sherly yang memang sudah terbiasa bangun di pagi hari untuk pergi bekerja sambilan dan baru akan kembali lagi pada pukul 5.30. “Dia bekerja sebagai penyapu jalan setiap pagi? Astaga, apa dia tidak akan terkena masalah karena bekerja seperti itu di bawah umur?” Ingatan berikutnya adalah ingatan mengenai kebiasaan Anna. Di pagi hari, Anna biasanya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak untuk sarapannya, sarapan ayahnya, juga sarapan Sherly. Sementara ibunya —sama seperti Sherly— sudah berangkat sejak jam 4 pagi untuk bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah tangga. “Jadi
“Astaga! Bikin kaget saja!” umpat Anna kesal, melihat Dewa yang menghukumnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. “Mau pergi ke mana sepagi ini? Bukannya kau harus pergi ke sekolah?” “Kau sendiri, apa yang kau lakukan sepagi ini di depan rumah orang? Apa kau tidak sibuk? Bukannya kau Dewa?” Anna yang merasa kesal setelah dikejutkan sang Dewa, balik bertanya dengan tatapan marah. “Kau tidak berhak mengetahui pekerjaanku.” “Kau juga tidak ber— Aaaaaahhhhh…! Kau f**k! Aaaaaaahhhh…” Anna merasakan sengatan listrik kecil di dalam tubuhnya tiap kali berniat berbicara kasar pada sang Dewa. Tahu penyebabnya, ia pun dengan sangat terpaksa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat kasar lagi walau sebenarnya sangat ingin menghamburkan semua kalimat kasar yang ada dalam benaknya pada sosok yang sangat dibencinya itu. “Masih berani berbicara kasar padaku?” “...T-tidak.” “Cuma itu?” “Apa lagi yang harus kukatakan?!” “Belajarlah meminta maaf jika kau sudah melakukan kesalahan.” “Sal
Tidak seperti yang Silvia inginkan, Anna justru tertawa terkekeh. Ekspresi cerah dan tenangnya masih tidak berubah. “Kau menanyakan pertanyaan aneh. Sekarang aku akan bertanya padamu. Kalau aku diam dan tidak menganggapimu yang sedang berbicara padaku, apa kau tidak akan marah? Bukankah itu tidak sopan?” “Kau—” “Kalau aku salah, tolong katakan di mana kesalahanku. Ayo kita membahasnya baik-baik.” Merasa jika Anna sedang membuatnya terlihat bodoh, Silvia yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sepanjang hidupnya, secara refleks maju mendekat, berniat untuk menyerang Anna secara fisik. “Duduk semua. Kelas akan segera dimulai.” Suara berat seorang pria menghentikan niat Silvia, juga anggota gengnya yang sudah merapat mengelilingi Anna di sekitar mejanya. Pria berusia akhir 30an itu, yang merupakan guru kelas pagi mereka, kemudian menatap ke arah kerumunan di mana Silvia dan para gengnya sedang mengepung meja Anna, lalu mengernyitkan alis dan menegur mereka, “Apa yang kal
Mengikuti kebiasaan ‘Anna’ sepulang sekolah, Anna langsung pergi ke gedung yang dikhususkan untuk para anggota klub yang menjalani kegiatan ekstrakurikuler. Karena jam pelajaran murid-murid kelas dua biasanya selalu berakhir lebih cepat 45 menit dibandingkan kelas tiga, Sherly yang sudah dibiayai ibu mereka untuk ikut salah satu klub biasanya akan berada di sana sambil menunggu jam pelajaran Anna berakhir sebelum pulang bersama ke rumah mereka. Tapi Sherly bukan sekedar mengikuti kegiatan klub musik hanya untuk mengisi waktu luang atau memanfaatkan kesempatan bersosialisasi yang ibunya berikan. Sherly sebenarnya sangat berbakat dalam bernyanyi dan sangat menyukai musik hingga ia tidak pernah absen sekalipun dari kegiatan klub, walau ia sebenarnya merasa tidak nyaman berada di antara para murid yang tergabung dalam klub musiknya, hanya karena statusnya yang berasal dari keluarga miskin. Kembali pada bakat bernyanyi Sherly tadi, karena itu juga ‘Anna’ rela menyisihkan sebagian besar p
‘Oh, astaga... Mereka ini...’ Entah kenapa Anna merasa sedikit malu karena terlalu banyak mengobrol —yang tidak mungkin akan dilakukannya andai berada dalam tubuh aslinya— dengan para murid sekolahan ini, yang memiliki rentang usia 13-14 tahun lebih muda dari usia aslinya. “Senang bisa mengobrol dengan Kakak,” ucap salah satu siswi, yang hanya dibalas Anna dengan senyuman kaku. Dirinya yang dulu biasanya tidak mau membuang waktu untuk mengobrol bersama para junior yang berusia jauh lebih muda karena menganggap jika berbicara pada mereka tidak akan menambah pengetahuannya sama sekali. Jessica yang sangat haus akan pengetahuan baru biasanya selalu mencari lawan bicara yang ia nilai akan menambah wawasannya saja. “Ternyata Kak Anna menyenangkan juga ya diajak ngobrol,” ucap siswi lain. Anna berpaling pada siswi itu sembari memaksa tersenyum ramah. “Benarkah?” “Iya… Habisnya Kakak biasanya cuma duduk diam saja. Seperti tidak ingin diajak berbicara,” sahut siswi itu, menanggapi pertan