‘Untuk apa si brengsek ini datang ke sini?’
Bagi orang lain, sudah pasti akan terlihat normal jika Elvin Wright datang mengunjungi Jessica Wright yang merupakan anak kandung dari mendiang kedua orang tua angkatnya itu. Tapi tidak bagi Jessica dan keluarga besar Wright yang tahu tentang perselisihan di antara keduanya. Di mata mereka, kedua saudara angkat itu bagai musuh yang tidak akan pernah bisa didamaikan, apapun keadaannya.
Elvin ingin mengulang pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya, namun mengurungkan niatnya setelah melihat cara Anna menatapnya.
Walau mata bulat Anna sangat berbeda jauh dengan mata upturned milik Jessica —yang selalu membuatnya kesal saat mendapat tatapan tajam dari adik angkatnya itu—, namun sorot mata dan cara gadis bertubuh mungil itu menatap padanya membuat Elvin merasa jika ia seperti sedang berhadapan langsung dengan Jessica, terutama saat gadis berambut hitam sepinggang itu mulai berbicara.
“Menyingkir dari hadapanku!”
Elvin menyingkir dengan refleks seakan ia memang harus melakukannya saat gadis itu memerintahkannya.
Tapi setelah ia menyadari tindakan tak terduganya, Elvin merasa heran dan bingung sendiri kenapa mau melakukannya, —seperti otak bawah sadarnya lah yang memerintahkannya untuk menyingkir, atau dia akan mendapatkan masalah dengan gadis itu.
'Perasaan apa ini?' pikir Elvin, tahu jika mereka baru pertama kali ini bertemu tapi anehnya ia merasa jika mereka sudah saling mengenal cukup lama.
“Nah, harusnya kau melakukannya sejak tadi. Sekarang pergi dari sini,” ucap Jessica. Kalimat itu terdengar seperti sebuah perintah di telinga Elvin, bukannya sebuah permintaan.
Elvin mundur beberapa langkah, tertegun dengan cara Anna berbicara. Nada imut yang dihasilkan pita suara Anna memang jauh berbeda dengan suara huskey milik Jessica, tapi dari gaya bicara dan cara pengucapan kalimatnya yang lugas, tegas, dan... —kasar—, Elvin lagi-lagi merasa jika ia seakan sedang berhadapan dengan Jessica.
Barulah setelah menyadari jika dirinya melakukan kesalahan —saat melihat Anna menghampiri selang oksigen Jessica lagi—, Elvin buru-buru meraih pergelangan tangan gadis itu dan menariknya menjauh dari ranjang dimana tubuh Jessica terbaring.
“Apa kau sedang berusaha membunuh adikku?!”
Hampir saja Jessica mengucapkan kata “Ya” —karena memang itulah tujuannya datang ke tempat ini— andai dia tidak segera menahan diri untuk tidak menanggapi pertanyaan tersebut.
Jessica memang tidak peduli jika Elvin memergokinya membunuh tubuh aslinya sendiri. Toh dia juga tinggal melakukan bunuh diri setelahnya, dan ia berpikir jika keadaan pasti akan berubah setelah kematian mereka hingga ia tidak perlu repot-repot mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya.
“Atau jangan-jangan kau ini…,” Elvin teringat pada komplotan penyerang adik angkatnya yang belum tertangkap.
“Kau ingin menuduhku sebagai orang yang sudah membuatnya seperti ini?” Jessica bisa menebak apa yang sedang pria itu pikirkan dan buru-buru membantahnya.
“Kalau benar bukan kau pelakunya, bagaimana kalau kita pergi ke kantor Polisi? Kau akan membuktikannya di sana,” ucap Elvin sambil memberikan tatapan penuh curiga yang mengintimidasi. “Lagian aku baru saja melihatmu sedang berusaha mencabut alat bantu pernafasan adikku!”
Cara bicara disertai tatapan permusuhan yang sudah menyatu dengan kebiasaan Elvin saat menegur orang yang berani bersinggungan dengannya itu, sebenarnya akan membuat orang dewasa yang tinggal di negara ini akan langsung kehilangan nyali.
Sebagai CEO dari Wright Automotive —perusahaan otomotif terbesar di Asia—, Elvin sebenarnya tidak kalah terkenal dengan adik angkatnya, Jessica. Orang dewasa biasanya akan langsung mengenalnya dan berusaha untuk tidak bersinggungan dengannya jika tidak ingin mengalami kesulitan di sisa hidup mereka karena takut akan pengaruh kuat yang Elvin miliki di negara ini.
Mereka tahu, Elvin memiliki pendukung hebat di belakangnya yang berasal dari nama besar keluarga Wright, salah satu keluarga paling berpengaruh di Asia.
Tapi, apa yang normalnya akan orang rasakan jika berhadapan dengan Elvin itu sama sekali tidak berpengaruh pada Anna yang dirasuki roh Jessica. Tentu saja karena dia adalah Jessica Wright, cucu kandung tertua dari pemimpin Wright Group yang sudah pasti memiliki status lebih tinggi dari Elvin yang hanyalah cucu angkat.
Karena itu jugalah Jessica sadar jika ia harus kembali ke tubuh aslinya jika ingin membalas dendam pada tunangannya. Dia akan dengan mudah melakukannya saat memiliki dukungan nama besar keluarga Wright, juga nama besarnya sendiri sebagai aktris terbaik se-Asia.
Anna menatap Elvin dengan berani, menghentakkan tangannya untuk melepaskan genggaman Elvin, juga membentaknya, “Lepaskan, brengsek! Kau sudah sembarangan menuduh!”
“Kau terlalu berani!” Elvin menghardik balik. Ia sebenarnya sedang berusaha menahan diri agar tidak menangkap Anna lagi dan menyeretnya keluar ruangan dengan kasar, mengingat jika gadis berparas manis namun memiliki tatapan penuh kebencian yang berdiri di hadapannya ini masih terlihat seperti anak sekolahan.
“Kenapa aku tidak berani padamu? Apa kau pikir bisa menakut-nakutiku seperti kau menakuti orang-orang di luaran sana?!” Melihat Elvin kini menatapnya dengan ekspresi bingung —setelah mendengar ucapannya yang mirip dengan cara Jessica berbicara tiap kali mereka kebetulan bertemu dan bertengkar—, Jessica kembali berbicara dan menghardik balik, “Justru kau lah yang sudah lancang berani masuk ke sini tanpa izin dariku!”
Zlarrrrr…!!!Suara dari sambaran petir —yang terdengar sangat nyaring saat menyambar dan menghancurkan seluruh dinding ruangan— menghentikan keributan di antara mereka.Jessica yang awalnya mengira jika sebuah bom telah jatuh ke rumah sakit itu, hendak melarikan diri tapi tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali hingga sempat mengira jika dirinya ikut meledak dan mati bersama dengan ledakan tadi.Ia mengira jika hanya rohnya sajalah yang tersisa dan hidup dengan melayang-layang di udara, —setelah melihat jika lantai yang dipijaknya juga ikut hancur lebur oleh sambaran petir barusan.Saat debu dari ledakan mulai menyusut, Jessica melihat puing-puing dari ruangan yang telah hancur, juga melayang-layang di udara seperti dirinya. Karena itulah dugaan jika tubuh Anna yang menampung rohnya telah hancur, juga semakin kuat.Tapi saat debu dari ledakan sudah hampir menghilang sepenuhnya, Jessica akhirnya melihat tubuh Elvin yang masih tetap utuh sedang melayang-layang di hadapannya. Tubuh
“Apa kau tidak pernah merasa kalau dirimu itu terlalu angkuh dan suka bersikap seenaknya?” Dewa memulai pembicaraan mereka lagi dengan mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang tentu saja langsung dibantah Jessica, “Aku angkuh? Bagaimana kau bisa menyimpulkan tentang diriku dengan seenaknya saja?” “Karena aku adalah Dewa. Aku bisa tahu dan melihat apa yang sudah kau lakukan sepanjang hidupmu, dan itu membuatku muak.” “Hah? Muak? Apa itu sebuah kejahatan? Aku hanya bersikap sesuai dengan apa yang kuinginkan dan sesuai dengan keadaan yang terjadi di sekitarku. Apa kau ingin agar aku bersikap palsu seperti sedang berperan dalam sebuah film?” bantah Jessica. “Kau berani membantah Dewa? Kalau kau bisa menahan diri, kau pikir Anna Briel akan mengakhiri hidupnya?” “...” “Kau menyadarinya?” “Hah? Siapa yang menyadarinya? Bukankah kau ingin agar aku tidak membantahmu? Kalau Dewa berkata seperti itu, apa aku punya hak untuk membantah lagi?” “...” “Betul, kan?” “...Sudahlah…,” ucap
“Anna! Apa yang ingin kau lakukan? Kau ingin melompat ke bawah sana? Jangan bodoh!” seru Jessica memanggil Anna yang sedang memanjat pagar balkonnya. Tidak mendapat jawaban dari remaja itu, terutama setelah melihat Anna sudah berhasil duduk di atas pagar balkon, Jessica yang saat itu sedang memiting Joseph Thiago —tunangannya— setelah berhasil memenangkan perkelahian di antara mereka, mau tidak mau melepaskan apitan tangannya dari leher Joseph dan berlari dengan tergesa untuk menarik Anna turun dari sana. Ia menebak, Anna yang tampak putus asa itu berniat untuk bunuh diri dengan melompat dari atas pagar ke sisi luar balkon. Jessica memang selalu merasa kesal pada Anna tiap kali melihat akting buruknya dalam semua kesempatan casting yang perusahaan mereka berikan. Ia juga sangat marah setelah melihat Joseph merangkul Anna di atas ranjangnya. Tapi dia juga tidak ingin Anna sampai mengakhiri hidupnya karena semua hal itu. Jessica sebenarnya sangat menyayangi Anna yang dianggapnya mem
Di sebuah gedung 20 lantai… Elvin Wright duduk di belakang meja kerjanya, membiarkan komputer menyala sementara ia termenung saat mengenang kembali akan kejadian aneh yang dialaminya di ruang perawatan Jessica Wright —adik angkatnya— yang sedang terbaring koma. Sikap dan cara berbicara remaja bernama Anna Briel yang sempat berdebat dengannya disana —sebelum akhirnya kejang-kejang dan jatuh pingsan— membuat konsentrasinya dalam bekerja menurun selama beberapa jam belakangan ini. Elvin bahkan masih duduk termenung di kantornya walau hampir seluruh karyawan di kantor itu telah pulang. “Kakek juga merasakan sesuatu yang janggal dari dirinya, kan?” pikir Elvin, mengingat Norman Wright yang biasanya tidak pernah tertarik berinteraksi apalagi berhubungan dengan orang asing —kecuali sedang bertransaksi bisnis— malah meminta untuk tetap tinggal untuk melihat kondisi Anna sementara ia kembali ke kantornya. Saat itu Norman Wright sebenarnya berada tepat di belakang Elvin ketika mereka memergo
Karena sudah menjadi kebiasaan sejak masih berada di tubuh aslinya, Jessica —yang mulai saat ini akan disebut sebagai Anna— terbangun sebelum fajar menyingsing. Saat itu masih pukul 4 pagi dan dia tidak melihat Sherly lagi di sampingnya. “Dia bangun lebih pagi dariku?” Saat ia sedang bertanya-tanya, ingatan Anna muncul begitu saja dalam benaknya —seperti biasanya—, menggambarkan rutinitas Sherly yang memang sudah terbiasa bangun di pagi hari untuk pergi bekerja sambilan dan baru akan kembali lagi pada pukul 5.30. “Dia bekerja sebagai penyapu jalan setiap pagi? Astaga, apa dia tidak akan terkena masalah karena bekerja seperti itu di bawah umur?” Ingatan berikutnya adalah ingatan mengenai kebiasaan Anna. Di pagi hari, Anna biasanya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak untuk sarapannya, sarapan ayahnya, juga sarapan Sherly. Sementara ibunya —sama seperti Sherly— sudah berangkat sejak jam 4 pagi untuk bekerja sebagai pembantu di beberapa rumah tangga. “Jadi
“Astaga! Bikin kaget saja!” umpat Anna kesal, melihat Dewa yang menghukumnya itu sudah berdiri di depan pintu rumah. “Mau pergi ke mana sepagi ini? Bukannya kau harus pergi ke sekolah?” “Kau sendiri, apa yang kau lakukan sepagi ini di depan rumah orang? Apa kau tidak sibuk? Bukannya kau Dewa?” Anna yang merasa kesal setelah dikejutkan sang Dewa, balik bertanya dengan tatapan marah. “Kau tidak berhak mengetahui pekerjaanku.” “Kau juga tidak ber— Aaaaaahhhhh…! Kau f**k! Aaaaaaahhhh…” Anna merasakan sengatan listrik kecil di dalam tubuhnya tiap kali berniat berbicara kasar pada sang Dewa. Tahu penyebabnya, ia pun dengan sangat terpaksa menahan diri untuk tidak mengucapkan kalimat kasar lagi walau sebenarnya sangat ingin menghamburkan semua kalimat kasar yang ada dalam benaknya pada sosok yang sangat dibencinya itu. “Masih berani berbicara kasar padaku?” “...T-tidak.” “Cuma itu?” “Apa lagi yang harus kukatakan?!” “Belajarlah meminta maaf jika kau sudah melakukan kesalahan.” “Sal
Tidak seperti yang Silvia inginkan, Anna justru tertawa terkekeh. Ekspresi cerah dan tenangnya masih tidak berubah. “Kau menanyakan pertanyaan aneh. Sekarang aku akan bertanya padamu. Kalau aku diam dan tidak menganggapimu yang sedang berbicara padaku, apa kau tidak akan marah? Bukankah itu tidak sopan?” “Kau—” “Kalau aku salah, tolong katakan di mana kesalahanku. Ayo kita membahasnya baik-baik.” Merasa jika Anna sedang membuatnya terlihat bodoh, Silvia yang tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sepanjang hidupnya, secara refleks maju mendekat, berniat untuk menyerang Anna secara fisik. “Duduk semua. Kelas akan segera dimulai.” Suara berat seorang pria menghentikan niat Silvia, juga anggota gengnya yang sudah merapat mengelilingi Anna di sekitar mejanya. Pria berusia akhir 30an itu, yang merupakan guru kelas pagi mereka, kemudian menatap ke arah kerumunan di mana Silvia dan para gengnya sedang mengepung meja Anna, lalu mengernyitkan alis dan menegur mereka, “Apa yang kal
Mengikuti kebiasaan ‘Anna’ sepulang sekolah, Anna langsung pergi ke gedung yang dikhususkan untuk para anggota klub yang menjalani kegiatan ekstrakurikuler. Karena jam pelajaran murid-murid kelas dua biasanya selalu berakhir lebih cepat 45 menit dibandingkan kelas tiga, Sherly yang sudah dibiayai ibu mereka untuk ikut salah satu klub biasanya akan berada di sana sambil menunggu jam pelajaran Anna berakhir sebelum pulang bersama ke rumah mereka. Tapi Sherly bukan sekedar mengikuti kegiatan klub musik hanya untuk mengisi waktu luang atau memanfaatkan kesempatan bersosialisasi yang ibunya berikan. Sherly sebenarnya sangat berbakat dalam bernyanyi dan sangat menyukai musik hingga ia tidak pernah absen sekalipun dari kegiatan klub, walau ia sebenarnya merasa tidak nyaman berada di antara para murid yang tergabung dalam klub musiknya, hanya karena statusnya yang berasal dari keluarga miskin. Kembali pada bakat bernyanyi Sherly tadi, karena itu juga ‘Anna’ rela menyisihkan sebagian besar p