Share

Chapter 2 - Kakek Pemilik Kedai Ramen

Richard memutuskan untuk berteduh di depan sebuah toko makanan Jepang di pinggir jalan di mana banyak beberapa toko di sepanjang jalan yang sedikit menanjak itu. Tidak seperti tempat sebelumnya yang begitu gelap dan bau, tempat ini ada beberapa orang berlalu-lalang memakai payung dan juga kendaran roda empat yang beberapa kali melewatinya.

Ini pertama kalinya untuk Richard berada di daerah sekitar ini, tampak begitu asing. Banyak sekali ruko-ruko yang tampak sudah usang dan kosong. Hanya beberapa toko yang masih buka di sepanjang jalan sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil saja.

“Kenapa dingin sekali …” gumam Richard sembari membersihkan jaketnya yang terkena tetesan air hujan.

Aroma yang kaldu ikan—bercampur aroma air hujan yang begitu kuat tercium oleh Richard. Aroma yang membuat perut kosongnya berbunyi, berasal dari dalam sebuah restoran ramen Jepang yang berada tepat di belakangnya.

Richard membalikkan tubuhnya—melihat melalui jendela—tampak asap putih mengepul dari sebuah panci. Seorang pria paruh baya yang tampak sedang memasak sesuatu di dalam. Mata Richard mencoba menelusuri lebih dalam, tidak ada satupun orang selain kakek itu.

“Aku lapar …, tapi aku tidak punya uang.”

Menghela nafas pasrah, tidak ada yang bisa ia lakukan dirinya saat ini. Lagipula menahan lapar sudah menjadi sebuah kebiasaan untuk Richard. Dia bahkan pernah tidak makan selama 3 hari dan memakan makanan basi agar bisa bertahan hidup. Namun secara bersamaan dirinya juga hampir mati karena keracunan.

Sampai kapan pun kehidupannya yang begitu miskin tidak akan pernah berubah. Dirinya selalu bekerja keras siang dan malam, akan tetapi hutangnya malah semakin bertambah akibat bunga pinjaman. Andaikan saja, dirinya tidak meminjam uang pada para rentenir itu mungkin kehidupannya tidak akan menyedihkan seperti saat ini. Namun jika ia tidak meminjam uang, mungkin nyawa Naomi tidak akan terselamatkan.

Tiba-tiba terdengar suara gesekan pintu dari belakang—Richard spontan menyingkirkan tubuhnya—melihat seorang kakek yang tampak sudah berumur lebih dari 70 tahun berjalan keluar dengan tubuhnya yang sudah bongkok.

“Jangan berdiri di depan pintu! Kau menghalangi pelangganku datang!” ucapnya dengan tegas.

“Maafkan saya, saya hanya ingin berteduh sebentar.” ucap Richard mencoba meminta sedikit pengertian pada kakek yang terlihat begitu unik penampilannya.

Kakek itu menggunakan pakaian Kimono, pakaian khas dari negara Jepang. Jari-jari kakek itu dipenuhi dengan cincin Agate yang terbuat dari bebatuan. Tatapan yang seakan menunjukkan bahkan pengalaman hidupnya begitu lama. Wajahnya memang sedikit menakutkan karena kulit wajahnya sudah tidak lagi kencang ditambah salah satu matanya terkena katarak.

“Jika ingin berteduh masuklah ke dalam! Jangan menghalangi pintu! Ayo cepat!” bentak kakek pemilik kedai ramen itu sambil berjalan masuk kedalam dengan membiarkan pintu terbuka.

Richard terdiam beberapa saat karena bingung dengan ucapan kakek itu yang terdengar kasar namun berniat baik. Dengan rasa sungkan, Richard mulai melangkah masuk ke dalam dan tidak lupa kembali menutup pintu geser agar cipratan air hujan tidak masuk ke dalam.

Saat ia masuk, aroma ramen yang begitu khas tercium jelas. Seluruh tubuhnya dipenuhi aroma kaldu ayam yang bercampur dengan rumput laut. Adonan mie yang baru saja matang dan diangkat dari tempat perebusan hingga mengeluarkan asap putih yang memenuhi plafon ruangan. Aroma yang membuat perut Richard tidak berhenti bergetar, ia sungguh kelaparan.

“Apa kau sudah makan?” tanya kakeknya dengan suara yang keras.

“Aku bahkan tidak punya uang untuk membeli makanan,” ucap Richard.

“Duduklah di sini! Cepat! Sebelum aku berubah pikiran!”

Kakek pemilik kedai itu kembali membentaknya.

Lantas, Richard bergegas melangkah ke arah sebuah bangku panjang beserta meja yang menempel menghadap langsung ke arah konter dapur sehingga ia bisa melihat secara langsung bagaimana kakek itu sedang membuat ramen.

Richard duduk tepat berhadapan dengan kakek yang sedang menyiapkan semangkuk ramen. Mangkuk yang berukuran cukup besar, dimana ada mie di dalamnya dengan potongan katsu daging dan sup kuah kaldu berwarna putih yang begitu pekat. Di atasnya ada taburan daun bawang dan rumput laut kering. Sungguh sangat menggugah selera. Kedua mata Richard begitu berbinar saat melihat semangkuk ramen mendarat di hadapannya. Tampaknya ini adalah menjadi hari keberuntungannya.

“Cepat makan!”

“Terima kasih banyak!”

Tanpa berpikir lebih lama, Richard dengan lahap langsung memakan ramen yang masih panas itu. Sang kakek pemilik kedai ramen itu hanya terdiam melihat seorang pria yang tampak begitu kelaparan hingga tidak peduli yang dia makan itu bisa membakar lidahnya karena panas.

“Wah! Ini sangat panas! Ini sangat enak! Wah!”

Richard tampak begitu bahagia hanya dengan semangkuk ramen. Bahkan walau lidahnya terasa terbakar, ia tidak peduli lantaran perutnya tidak bisa lagi menahan rasa lapar.

“Kenapa wajahmu bisa sampai seperti itu? Kau habis dipukuli orang?” tanya Sang Kakek sambil memberikan segelas air.

“Aku pantas mendapatkannya,” jawab Richard.

“Menyedihkan! Kau itu masih muda, seharusnya kau lebih bekerja keras! Lihat dirimu saat ini! Itu adalah hasil dari kemalasan dan kebodohan yang kau lakukan!” sindir Kakek pemilik kedai.

Mendengar perkataan dari kakek pemilik kedai, membuat Richard terdiam beberapa detik. Rasanya seperti ada yang menusuknya dari belakang hingga menembus ulu hatinya. Bagaimana Kakek itu mengomentari hidupnya, bahkan kakek itu tidak tahu apa yang sudah dirinya alam selama ini. Kata-kata kakek seakan mengetahui segala hal tentang hidupnya, hingga berhak menceramahi hidupnya.

Jika bukan karena kebaikan hati karena sudah memberikannya ramen secara gratis, mungkin ia sudah memukul kakek itu. Namun Richard mencoba untuk menahan amarahnya dan melanjutkan memakan ramen yang tersisa sedikit.

“Dunia ini begitu banyak persaingan. Mereka akan menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Jika kau bersikap seperti pecundang kau tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang. Bahkan semut saja selalu bekerja keras untuk mendapatkan makanan.” ucapnya kembali menyindir Richard sambil menguleni adonan mie.

Kesabaran Richard sudah tidak terbendung lagi hingga ia langsung meletakkan sumpit di atas meja dengan keras, hingga suara terdengar jelas.

“Apa anda mengenal saya?” tanya Richard dengan suara yang terdengar begitu dingin—tatapan mata menunduk mencoba kembali menahan sabar untuk menghormati seseorang yang jauh lebih tua darinya.

“Tidak.”

“Maka dari itu, apa hak anda mengomentari hidup saya!” ucap Richard dengan perubahan suara yang di tinggi di akhir kalimatnya—menatap kakek itu dengan kemarahan dan ketidakadilan.

“Anggap saja itu sebagai bayaran untuk ramen yang sudah kamu makan. Didunia ini tidak ada yang gratis.” ucap Sang Kakek—begitu santai tanpa rasa bersalah.

Richard merasa harga dirinya sedang dipermainkan oleh Kakek pemilik kedai ramen itu. Ia pikir Kakek itu berniat baik memberikannya semangkuk ramen, tampaknya ia telah salah dengan pemikirannya.

Benar. Didunia ini tidak ada yang gratis.

Pria paruh baya itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil menatap dengan tatapan yang seakan sedang merendahkan Richard. Ia bahkan tidak bergetar sedikitpun saat Richard terus menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Hal itu bisa saja membahayakan nyawanya. Namun ia malah berkata pada Richard, “Kau harus menggunakan otakmu dulu baru fisik jika kau ingin bertahan hidup.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status