Share

Bab 5 Kesakitan Melabuhkan Impian Kenyataan

Alex bertemu seorang anak muda dari salah seorang yang ikut berkumpul dengan nya di pertemuan sebelumnya, ia tampak murung berada di ujung tangga. Alex menghampiri nya dan menyapa dia.

Hey anak muda ada apa gerangan dirimu semurung itu, apakah kamu punya masalah besar? Beritahu aku agar aku bisa membantu mu.

Iya ayah aku sedang mengalami masalah kayaknya impian ku menjadi seorang dokter mungkin tak akan tersampaikan. 

Hey tenang sini mari bapa jelaskan kepada kamu.

Kemudian Alex mulai menjelaskannya.

Kita telah membahas betapa "kesakitan" tidak saja merupakan jeritan manusia, tetapi juga teriakan Tuhan. "Kesakitan" adalah "mefagon" atau pengeras suara yang dipakai Tuhan untuk menggugah kesadaran manusia. Mengapa "kesakitan"? Sebab bisikan halus saja sering tak mampan. Bujukan manis sampai ancaman keras juga acap kali dihiraukan.

Cuma "kesakitan" yang berbunyi cukup lantanguntuk membuat manusia tersentak. Memaksanya untuk memeriksa diri, lalu mudah mudahan berpaling kepada Tuhan.

Sejarah umat Israel membuktikan ini. Ketika hidup mereka mapan dan serba kecukupan, begitu kita baca dari perjanjian lam, mereka cenderung melupakan Allah sang sumber Berkat. Mereka mengabaikan hukum hukum Tuhan. Mereka melecehkan peringatan keras para nabi.

Sampai, sebagai akibatnya, mereka terperosok masuk ke lubang bencana yang mereka gali sendiri. Saat itulah mereka baru menjerit kesakitan. Berteriak minta tolong. Anda lihat, "kesakitan" inilah yang mampu memaksa mereka mengenali serta mengakui kejahatan-kejahatan mereka, dan menggiring mereka kembali ke pangkuan Allah. Sekali lagi, bukan kenikmatan atau kesenangan, melainkan kesakitan dan penderitaan.

Ini tentu tidak ideal. Sebab, siapa sih yang menyukai kesakitan? Allah juga tak suka menyakiti. Dengan tidak jemu jemu  Dia mengingat kan, "Hati-hatilah......supaya, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah rumah yang baik serta mendiaminya, dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu berbantah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak, jangan engaku tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allah mu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan" (ulangan 8:11,12-14) ini sebenarnya yang paling ideal. Sayangnya peringatan begitu hampir selalu di lupakan orang. 

Dengan tidak jera-jeranya, manusia cenderung mengulangi dan mengulangi kesalahan yang sama. Sampai Allah mengeluh "lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang di sediakan tuannya, tetapi uma- Ku tidak memahami nya" (Yesaya 1:3). Sehingga terpaksa, tak ada pilihan lain, dengan "Megafon"-Nya Allah memanggil manusia untuk kembali. Menyakitkan memang. Tetapi perlu. Lagi pula, pilihannya ya cuma satu itu.

......

"KESAKITAN" ternyata tidak saja "Megafon" TUHAN yang paling kuat, tetapi juga yang paling efektif. Paling berhasil guna. Paling ces Pleng. Anda tidak percaya? Baik! Untuk membuktikan nya, saya persilahkan anda pergi ke ruang tunggu "Bagian Perawatan Intensif" (ICU) rumah sakit mana saja. Philip Yance dengan amat sangat mengesankan melukiskan apa yang terjadi di situ.

Di tempat itu, tulisnya, anda akan bertemu dengan segala macam sejenis orang. Campur aduk antara yang kaya, yang miskin, yang perlente, yang kumuh, yang tua, yang muda, yang intelektual, yang buta huruf, yang agamais, yang ateis dan sebagainya. Apa saja ada di situ bukan?. Ruang tunggu ICU kemungkinan besar adalah satu-satunya tempat di bumi ini, dimana segala perbedaan tak secuil pun punya makna.

Beraneka ragam orang itu di ikat menyatu oleh sebuah ikatan yang amat sangat kuat, walaupun mengerikan. Mereka di ikat oleh keprihatinan yang sama akan kesakitan seorang yang amat dekat deengan sahabat atau kerabat yang tengah sekarat. Dalam situasi seperti itu, kesenjangan sosial ekonomi dan perbedaan agama, serta merta menguap lenyap. Ketegangan rasial serta etnis tak setitik pun membebaskan tanda. 

Tidak jarang dua orang yang sebelumnya tak saling mengenal, kini saling merangkul dan menghibur, kemudian menangis bareng tanpa  malu-malu . Ada yang untuk pertama kali merasa terdorong untuk berdoa, atau memanggil pastor atau pendeta.

Semuanya dipersatukan oleh satu perasaan, yaitu alangkah berharganya, tetapi juga alangkah rapuhnya kehidupan! Ketika orang sudah di ambang kematian, barulah ia menyadari betapa pentingnya kehidupan.

Kesadaran yang mulia sekali, kan? Ya. Dan ini dimungkinkan oleh realitas kesakitan dan penderitaan! Agaknya cuma "megafin kesakitan" penderitaan lah yang terdengar cukup nyaring dan bekerja cukup efektif untung menggiring beraneka ragam manusia ini untuk sama sama bertekuk lutut dan memalingkan hati mereka kepada Allah. Tidak heran, kata Helmuta Thielicke, yang ada ialah "pendeta rumah sakit". Tidak ada "pendeta rumah makan" atau "pendeta rumah karaoke".

......

INI tidak berarti bahwa Allah membiarkan "kesakitan", supaya manusia berpaling kepada Nya. Sebab kalau ini benar, wah, alangkah egois dan kejamnya Allah. Tega menyakiti ank anak Nya, sekedar supaya hasrat dan kepentingan Nya terpenuhi. Tidak! Allah sendiri tidak menyukai "kesakitan". "Kesakitan" tidak ada dalam skenario penciptaan Nya. Sang Putra, Yesus Kristus, harus menempuh "kesakitan" dan "penderitaan" justru untuk membebaskan manusia dari padanya.

Tetapi yang jelas, melalui "Megafon kesakitan" ini, Allah sedang mengumumkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan alam ciptaan ini. Namun, tak perlu asa. "Sampai sekarang segala mahkluk sama-sama mengeluh, dan sama-sama merasa sakit bersalin" (Roma 8:22). "Sakit bersalin" artinya, ada kesakitan tapi juga pengharapan.

......

John Donne adalah penyair berkebangsaan Inggris pada abad ke-17. Ia secara langsung mengalami perihnya sengatan kedakitan. Bukan cuma karena istrinya yang tercinta, Anne, mati meninggalkan dia.  Akan tetapi ia sendiri, tak lama setelah itu mengidap penyakit tak tersembuhkan, yang membuatnya amat menderita.

Tetapi di tengah kesakitan itu ia mendengar "Megafon TUHAN". Dari tempat pembaringannya, tanpa mampu lagi menulis, ia melahirkan karya-karya terindah yang pernah di tulis oleh orang mengenai tentang makna kesakitan. Salah satunya adalah meditation XVII, yang seperti dikutip oleh Philip Yance, antara lain berbunyi:

"Ketika seorang tiba ke ajal, sebuah bab tidak dicabik keluar dari buku, tetapi diterjemahkan kedalam bahasa yang lebih indah. Setiap babak kehidupan mesti terus diterjemahkan ulang. Untuk maksud ini, Allah mempekerjakan beberapa penerjemah. Beberapa bab di terjemahkan ulang oleh Usia. Beberapa bab yang lain oleh penyakit, oleh perang, oleh musibah kehidupan. Beraneka ragam, tetapi tangan Tuhan senantiasa ada di setiap terjemahan.

"Tangan Nya pula yang akan mengikat kembali halaman halaman yang telah lepas berserak serak, guna di taruh di perpustakaan, dimana di setiap buku akan selalu terbuka. Walaupun lonceng (kematian) telah memanggil."

Untuk orang lain, kematian adalah sebuah titik. Sebuah akhir kehidupan. Bagi Donne, kematian adalah sebuah tanda tanya. Telah siapkah aku menghadap dia? Pendek kata, ia menyadari betapa hidupnya bahkan di tempat tidurnya dan di tengah erangan kesakitannya tak pernah tanpa makna. Pada suatu saat, semuanya akan menjadi sebuah buku, yang terbaca oleh semua.

Karena itu, ia berusaha mengerahkan seluruh sisa daya yang masih ada padanya, memanfaatkan kesempatan khusus yang amat terbatas ini untuk melatih disiplin rohaninya. Ia berdoa, mengaku dosa, menulis sebuah jurnal (yang kemudian dijadikan menjadi sebuah buku devotions). Ia memindahkan perintah utamanya, bukan lagi kepada dia sendiri atau diri sendiri, melainkan kepada yang lain-lain.

Dalam devotions, Donne memperlihatkan perubahan sikap yang mencolok terhadap "kesakitan". Buku tersebut ia mulai dengan doa agar kesakitan diangkat dari dirinya. Tetapi ia mengakhiri dengan doa agar "kesakitan" nya dikuduskan, dan ia dididik melaluinya. Ia mengharapkan mukjizat. Namun andaikata itu tidak terjadi, ia pun ikhlas. Ia tahu bahwa melaluinya, Allah sedang memurnikannya melalui Tanur api.

BETAPA jelas, tujuan hidup manusia bukanlah untuk sekedar merasa aman dan nyaman, bebas dari persoalan, kesakitan, atau tantangan. Sekiranya kita sedikit saja mau peka terhadap realitas di sekitar kita, maka kita akan menyadari betapa mustahil ya TUHAN  menciptakan dunia ini, sekedar dengan maksud agar kita berpesta ria.

Bagaimana kita  dapat berpesta ria, bahkan tidur dengan tentram, ketika pada saat yang sama, kita tahu dua pertiga penduduk dunia berangkat tidur dengan perut kosong setiap malam? Sungguh tidak mungkin untuk mempercayai bhawa tujuan hidup kita adalah hanya untuk berminat nikmat ketika kita menyaksikan penderitaan anak-anak yang harus mencari nafkah pengganti orang tua mereka, atau pemuda pemuda yang membunuh masa depan mereka dengan mengikatkan diri mereka pada narkoba, atau apa yang di alami oleh mereka yang tercabut dan kehilangan segala-galanya dan kini "terjebak" di kamp-kamp pengungsian.

Bisa saja kita menutup mata, dan menjadi penganut hedonisme. Tentu! Namun, semua itu pasti akan berakhir, ketika kesakitan dan penderitaan akhirnya berlabuh di hidup kita sendiri. Ketika kenyerian dan kengerian setiap detik mengetuk pintu, menggangu ketentraman tidur kita.

Para hedonis, yaitu mereka yang melihat kenikmatan sebagai tujuan, harus menyimpan telinga mereka dengan kapas banyak-banyak. Sebab Megafon "kesakitan" dan "penderitaan" sesungguhnya berbunyi! Lantang sekali!.

.........

Nah anakku ketahuilah jika kamu tidak ingin seperti yang bapak katakan mari teruslah berjuang dan tetap serahkan kehidupan mu dan biarlah berjalan sesuai kehendaknya.

Kemudian pemuda itu mengangguk dan tersenyum karna begitu indahnya penjelasan yang dikatan Alex.

Lantas ayah apakah itu semua TUHAN yang melakukannya bagi kita? Tanya si pemuda ,seraya mereka bergerak dan Alex mengajaknya ke dalam perpustakaan berisi begitu banyak buku indah yang akan ia tunjukkan padanya.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status