“Aku sibuk!”
Suara dingin sang suami terdengar di seberang telepon membuat harap Elok hancur seketika.
Bahkan, tanpa basa-basi, Diaz langsung memutus sambungan telepon di antara keduanya.
Padahal, ia menghubungi suaminya itu sejak siang karena tubuhnya demam dan vertigonya kambuh.
Belum lagi, ia harus menjaga janin di kandungannya.
“Kita berjuang bersama ya sayang, maafkan mommy bila keadaan kita seperti ini,” ucap Elok pada janin di dalam perut seraya membelai perut yang masih datar.
Helaan nafas panjang terdengar begitu berat. Mengingat calon anak mereka, Elok tersenyum miris.
Ia memang belum sempat memberi tahu Diaz karena sang suami sudah beberapa hari ini tidak pulang dan tidak bisa dihubungi. Awalnya, ia berharap kehadiran anak, kehidupan pernikahannya dengan Diaz akan kembali hangat. Tapi, semua itu sepertinya sia-sia.
“Kenapa kamu tak menceraikanku saja, Mas?” gumam Elok memejamkan mata, frustasi.
Dulu, Elok memang mendekati dan menikahi Diaz untuk merebut perusahaan milik kakeknya yang direbut kakek pria itu. Tapi, seiring berjalannya waktu, Elok mencintai sang suami dan melupakan rencananya.
Hanya saja, sang suami justru salah paham dan berjanji akan membalas dendam pada Elok. Salah satunya dengan cara mengabaikan Elok tanpa melepasnya.
Walau diperlakukan seperti itu, Elok sama sekali tidak punya alasan untuk menggugat cerai suaminya.
Lamunan Elok berhenti kala ia merasakan tubuhnya semakin melemas.
Elok mencoba menghubungi Diaz kembali, namun panggilan tersebut ditolak.
[Mas, aku benar-benar minta tolong. Antar aku ke rumah sakit, tak perlu kamu tunggu. Cukup antar saja jika kamu memang sibuk.]
Elok kembali mengirim pesan untuk yang kesekian kalinya.
Pesan itu sudah terkirim, namun lagi-lagi Diaz mengabaikannya.
Perempuan itu pun sadar bahwa tak punya pilihan lain.
Dihubunginya Rain–saudara kembarnya–untuk mengantarnya ke rumah sakit meski khawatir bila perlakuan buruk sang suami beberapa hari terakhir ini tercium oleh keluarga mereka.
Untungnya, tak butuh waktu lama, saudara kembarnya itu mengangkat telepon darinya.
“Halo, El?”
“Halo, Rai. Bisa minta tolong antar aku ke rumah sakit?”
“Ada apa? Apa kamu sakit?”
Suara saudara kembarnya itu terdengar cemas membuat Elok semakin tidak enak.
“Ah, tidak separah itu Rai,” ucapnya menenangkan, “hanya sakit biasa, vertigoku kambuh.”
“Astaga! Lalu, ke mana suamimu? Apa dia tidak pulang lagi?” maki Rain.
Deg!
Entah dari mana saudara kembarnya itu tahu jika Diaz jarang pulang.
Dalam kebingungan, Elok memilih tidak menjawab pertanyaan Rain, sehingga saudara kembarnya itu menghela nafas sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, tunggu aku, El. Kurang lebih setengah jam aku sampai.”
Ketika panggilan keduanya berakhir, Elok lagi-lagi merasa dunianya kembali berputar dan mual bergejolak dari dalam perutnya.
Dengan tenaga yang tersisa, ia pun mengirimkan pesan pada sang suami.
[Mas, aku akan ke rumah sakit bersama Rain.]
Melihat pesannya sudah terkirim, Elok merasa lega.
Ia tahu benar suaminya memang tak pernah peduli padanya. Namun, sebisa mungkin, Elok selalu memberi tahu ke mana akan pergi dan bersama siapa.
Perlahan, Elok menyiapkan diri dan menuruni tangga untuk menunggu kembarannya.
Namun, ia merasakan getaran pada smartphone yang ada dalam genggamannya.
Diaz menghubunginya!
Terlalu terkejut, Elok pun salah melangkah. Wanita itu terjatuh dengan terguling ke lantai dasar.
Bruk!
Handphone-nya pun terpental entah ke mana.
“Arrgh!”
Darah keluar dari hidung dan juga telinga Elok.
Pendarahan juga terjadi di bagian bawah tubuhnya.
Sakit teramat sangat yang Elok rasakan. Dalam kesakitan, ia masih berdoa agar ia dan janinnya selamat.
“M-mas, ma-maafkan a-aku. To-long se-la-mat-kan a-ku dan a-nak ki-ta,” ucap Elok di ambang kesadaran sebelum semuanya berubah menjadi gelap–pingsan.
Di sisi lain, Diaz sempat mendengar suara pekikan sebelum akhirnya panggilan terputus.
Namun, tidak ada niatan dari Diaz untuk menghubungi kembali. Pria itu justru berpikir bahwa Elok hanya mencoba menarik perhatiannya.
“Ck!” gumam Diaz malas, “kamu pikir aku akan percaya dengan trik murahan seperti itu?”
“Lakukan saja sesukamu, mau pergi dengan kembaran sialanmu itu atau pria lain, aku tak peduli.”
Brak!Foto pernikahan Diaz dan Elok yang berada di dinding kantor Diaz tiba-tiba terjatuh. Kaca-kaca pun berhamburan di lantai.“Astaga pak, ada apa?” tanya sang asisten yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mendengar suara itu dari meja kerjanya, berpikir ada sesuatu yang terjadi dengan bosnya.“Foto tak berguna itu jatuh dengan sendirinya,” ucap Diaz santai, “minta OB untuk segera membersihkannya.” Walau ada sedikit gelisah di hati Diaz, namun segera pria itu menepisnya.“Ini hanya sebuah kebetulan.”Di sisi lain, Rain tengah menahan emosi kala melihat Elok yang ditangani di ruang IGD.Tangan pria itu mengepal, menahan marah. Terlebih, suami saudarinya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. “Diaz … jika sampai terjadi sesuatu pada saudariku, kupastikan kau akan merasakan akibatnya,” ucap Rain dalam hati.Begitu dokter yang sedang melakukan penanganan pada Elok keluar, Rain segera bangkit dari duduknya.“Bagaimana keadaan saudari saya, Dok?”“Kondisi ibu Elok sangat lemah.
“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya. Walaupun brengsek, Diaz tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh. Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. Diaz segera menuju kamarnya.Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.“Den Diaz!” Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah
Lima tahun berlalu. Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan m
Karen dan Arashi sudah berdiskusi tentang presentasi yang akan ia ikuti. Kini mereka sedang merapatkan produk apa yang akan dibawa. Yang pasti harus menjadi solusi untuk masyarakat di semua kalangan.Sebelum memutuskan untuk mendaftar, Karen dan Arashi melakukan banyak riset untuk menentukan produknya. Dua minggu melakukan penelitian akhirnya mereka sudah menentukan produk tersebut.“Bu, bagaimana jika nantinya kita tidak berhasil mendapatkan investasi? Bukannya ini akan mangkrak?” ucap salah seorang karyawan Karen, “jika demikian, kenapa tidak kita presentasikan saja produk yang sudah ada?” “Nice, Shun. Kamu memang jeli,” puji Karen.Karen pun menjelaskan bagaimana prospek kedepannya jika program atau proyek tersebut gagal mendapatkan investasi. Pria bernama Shun itu pun tertegun dengan pemaparan Karen. Bosnya memang pintar memanfaatkan peluang.Sebelum benar-benar mendaftar, Karen kembali mengecek nama-nama perusahaan yang sudah mendaftar. Tampak beberapa nama perusahaan yang be
Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir. Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.” *“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menul
“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri
Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.“Bagaimana?” tanya Arashi.“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”“Mau makan makanan manis?” Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.Tangannya mengepal kuat.“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.Diaz berdecak kesal, tak menjawab.Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”*Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua ber
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu