Brak!
Foto pernikahan Diaz dan Elok yang berada di dinding kantor Diaz tiba-tiba terjatuh.
Kaca-kaca pun berhamburan di lantai.
“Astaga pak, ada apa?” tanya sang asisten yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mendengar suara itu dari meja kerjanya, berpikir ada sesuatu yang terjadi dengan bosnya.
“Foto tak berguna itu jatuh dengan sendirinya,” ucap Diaz santai, “minta OB untuk segera membersihkannya.”
Walau ada sedikit gelisah di hati Diaz, namun segera pria itu menepisnya.
“Ini hanya sebuah kebetulan.”
Di sisi lain, Rain tengah menahan emosi kala melihat Elok yang ditangani di ruang IGD.
Tangan pria itu mengepal, menahan marah. Terlebih, suami saudarinya itu tidak bisa dihubungi sama sekali.
“Diaz … jika sampai terjadi sesuatu pada saudariku, kupastikan kau akan merasakan akibatnya,” ucap Rain dalam hati.
Begitu dokter yang sedang melakukan penanganan pada Elok keluar, Rain segera bangkit dari duduknya.
“Bagaimana keadaan saudari saya, Dok?”
“Kondisi ibu Elok sangat lemah. Dari hasil USG, janin selamat meski keadaan janinnya lemah,” tutur sang dokter.
Mendengar itu, Rain sontak terkejut. Ia tidak menyangka jika Elok sedang berbadan dua.
“Secara keseluruhan, pasien harus segera dilakukan operasi di bagian kepala akibat benturan terjadi penggumpalan darah,” jelas sang dokter lagi, “Nyonya Elok juga mengalami patah tulang di tangan dan rusuk. Jadi, tolong Tuan segera menandatangani surat persetujuan dari pihak keluarga ini agar pasien segera ditangani.”
Dokter pun memberikan berkas tersebut pada Rain.
Tanpa berpikir lagi, saudara kembar Elok itu menandatangani berkas dan mengurus administrasi.
Baginya, Elok harus segera melakukan operasi. Ia tak ingin sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Rain juga berusaha kembali menghubungi Diaz.
Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban.
“Bagaimana keadaan Elok?” tanya Adinata, sang ayah, mendadak–membuat Rain sontak menoleh ke belakang.
“Buruk, Pi,” ucap Rain sembari menggeleng, “kita doakan agar Elok baik-baik saja di dalam ruang operasi.”
Ibu sambung kedua anak kembar itu sontak menutup mulutnya, tidak percaya.
“Apa yang sebenarnya terjadi Rain?” tanya Ratna menuntut penjelasan.
Rain menghela nafas panjang sebelum menceritakan kronologi saat Elok menghubunginya hingga harus dilakukan tindakan operasi.
Selama itu, Ratna hanya bisa menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Bayangan sang putri yang menahan rasa sakit berputar-putar di kepalanya. Hal ini membuat Rain mendekat.
Dipeluknya sang ibu untuk menguatkan. “Kita doakan Elok sama-sama mi semoga ia dan janinnya selamat.”
“Ja-janin?” tanya Ratna terbata.
“Iya, Elok sedang hamil 10 minggu,” jawab Rain yang membuat tangis Ratna kembali pecah.
“Lalu di mana Diaz? Mengapa dia tak ada disini?” tanya Adinata menuntut.
“Entahlah pi,” jujur Rain, “dia tidak bisa dihubungi.”
“Dasar bajingan sialan.”
Adinata mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras.
Tampak jelas pria itu begitu emosi.
“Keluarga Nyonya Elok?”
Ucapan dokter yang keluar dari kamar operasi–mengalihkan fokus ketiga orang tersebut.
Adinata dan Rain segera berjalan ke arah dokter.
“Ya. Ada apa, Dok?”
“Kondisi Nyonya Elok kritis. Dia mengalami pendarahan serta membutuhkan beberapa kantong darah,” jelas sang dokter, “sedangkan, di rumah sakit hanya tinggal satu kantong darah saja.”
“Apakah ada dari keluarga pasien yang dapat mendonorkan darah sembari menunggu kantong darah dari PMI datang?”
Ketiganya menggeleng.
Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki golongan darah yang sama dengan Elok.
Sadar gentingnya situasi, Adinata dan Rain segera menggunakan koneksi mereka untuk segera mencari kantong darah di seluruh PMI di Jakarta.
Mereka berharap Elok bisa bertahan untuk dirinya dan juga janinnya.
Dalam cemas, keluarga wanita itu menunggu perkembangan keadaannya.
*
“Jadi, kapan kamu akan menceraikan wanita itu, Yas?” tanya seorang wanita dengan manja pada Diaz di sebuah restoran mewah.
Pria itu sontak menghentikan makan malamnya. “Menceraikan? Aku tidak akan menceraikannya, Anna. Akan kubuat dia menyesal seumur hidupnya karena telah berurusan denganku.”
Mendengar penuturan Diaz, ada kekecewaan dalam hati model yang sedang naik daun itu. Dulu saat kuliah, mereka memang sempat bersama sebagai sepasang kekasih.
Ia pikir Diaz akan bisa kembali bersamanya, tetapi ternyata dugaannya salah.
Namun, Anna mencoba tenang. Dia pun mengangguk seolah setuju. “Ah iya, ada benarnya juga.”
“Tapi…”
Alis mata Diaz naik sebelah mendengar ucapan menggantung dari Anna, hingga akhirnya wanita itu memberanikan diri.
“Kapan kamu akan menikahiku?” tanyanya.
Diaz tersenyum miring. “Kamu yakin mau menikah? Kamu tidak sayang dengan karir dan kontrak kerjamu seperti dulu?”
Pria itu sengaja bertanya demikian karena dulu Annalah yang mengatakan belum siap menikah karena karirnya sedang menanjak.
Kontrak kerja wanita itu juga melarangnya untuk menikah.
Anna mendadak salah tingkah. “Itu bisa kita bicarakan lagi, Yas asalkan kita bisa menikah.”
“Apa kamu siap untuk menjadi madu, Anna? Tidak menutup kemungkinan aku akan tetap tidur dengan wanita itu demi kepuasanku,” ucap Diaz lagi.
Model cantik itu terdiam–tak bisa berkata apa pun–hingga suara Diaz kembali terdengar.
“Daripada kamu pusing memikirkan kedua hal tadi, lebih baik kita bersenang-senang malam ini. Aku jamin wanita itu tidak akan mengganggu kesenangan kita malam ini.”
Diaz mengukir lembut wajah cantik Anna dengan jemarinya, lalu menyeringai.
Mereka akhirnya pergi ke sebuah club malam untuk bersenang-senang.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan keadaan Elok yang masih berjuang hidup.
Meski operasi berjalan dengan lancar, ia masih harus dirawat dan diperhatikan kondisinya di ruang ICU.
Rain yang terus menunggu kembarannya itu merasa semakin frustasi.
Matanya tak pernah lepas dari monitor ICU yang menunjukkan tanda-tanda vital Elok.
Drrt!
Rain segera membuka ponselnya yang baru saja bergetar.
Namun, tak lama, pria itu merasa kesal.
“Bajingan,” umpat Rain membuat Adinata tersentak.
Refleks, ia pun merebut ponsel Rain. Nampak, beberapa foto Diaz sedang bermesraan bersama seorang wanita di sebuah klub malam.
Emosi kedua pria itu tak terbendung lagi. Rain bahkan ingin menyusul dan menghajar iparnya tersebut.
Hanya saja, dokter dan beberapa perawat datang dengan tergesa menujur ruangan Elok.
Rupanya, ada panggilan darurat dari perawat yang menunggui Elok.
Suara monitor pantau detak jantung begitu riuh.
Kesadaran Elok terus menurun.
“Tiiiiiiiittt!”
Elok mengalami lost detak jantung.
Tampak dari jendela, perawat menyiapkan alat defibrillator.
Selang beberapa waktu, dokter pun keluar dari ruangan. “Mohon maaf keluarga Nyonya Elok ….”
“Antarkan Anna sampai ke rumah,” perintah Diaz yang langsung diikuti sopirnya.Pria itu sebenarnya bisa saja memanfaatkan Anna untuk memuaskan hasratnya. Tapi, dia masih menghargai Elok sebagai istri sahnya. Walaupun brengsek, Diaz tidak mau dicap sebagai tukang selingkuh. Ia juga tidak mau kelak Elok akan menjadikan hal itu sebagai bahan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. Diaz segera menuju kamarnya.Karena lelah dan pengaruh alkohol, dia tidak memperhatikan keadaan sekitar rumah dan tertidur dengan pulas.Hanya saja, tidurnya terganggu kala Bibi–asisten rumah tangga–datang membangunkan pria itu.“Den Diaz!” Mengumpulkan kesadaran, Diaz pun berkata, “Lho, Bi? Ada apa?”“Anu, den. Apa non Elok baik-baik saja?”“Apa maksud bibi? Sudah pasti dia baik-baik saja, kan?” ucap Diaz, “jadi, bibi boleh pulang.”“Sepertinya…” Bibi menjeda kalimatnya, tampak ragu untuk ikut campur urusan keluarga atasannya.Tapi, ia tak bisa mengabaikan ingatannya tadi pagi saat ada bau anyir darah
Lima tahun berlalu. Karen Esme masih terbaring di ranjangnya empuk.Ia tidak memedulikan alarmnya yang menunjukkan jam 8 pagi di Tokyo karena begitu lelah.“Mom, bangun,” ucap balita laki-laki mencium kedua pipi Karen, ”Sudah siang, Mom” Dirasa tidak ada pergerakan, bocah itu menepuk-nepuk pipi sang ibu. “Bangun mom, atau ayah yang akan membangunkan,” ancamnya berusaha seram.Diam-diam, Karen pun tersenyum mengetahui usaha anaknya itu. Namun, matanya berat untuk terbuka. “Lima menit lagi sayang, mom masih ngantuk.”Untungnya, tak ada lagi suara dari anak kecil itu. Namun, Karen dapat merasakan bocah itu ikut berbaring di samping sang ibu–melupakan seorang pria tampan yang sedang berkutat membuat sarapan. Arashi Takahashi, pria tampan berkebangsaan Jepang itu melihat ke arah pintu kamar Karen dan menemukan bocah kecil kesayangannya tak juga keluar dari kamar ibunya. Dengan gemas, Arashi membuka pintu kamar tersebut dan menemukan sepasang ibu dan anak itu meringkuk bersama dengan m
Karen dan Arashi sudah berdiskusi tentang presentasi yang akan ia ikuti. Kini mereka sedang merapatkan produk apa yang akan dibawa. Yang pasti harus menjadi solusi untuk masyarakat di semua kalangan.Sebelum memutuskan untuk mendaftar, Karen dan Arashi melakukan banyak riset untuk menentukan produknya. Dua minggu melakukan penelitian akhirnya mereka sudah menentukan produk tersebut.“Bu, bagaimana jika nantinya kita tidak berhasil mendapatkan investasi? Bukannya ini akan mangkrak?” ucap salah seorang karyawan Karen, “jika demikian, kenapa tidak kita presentasikan saja produk yang sudah ada?” “Nice, Shun. Kamu memang jeli,” puji Karen.Karen pun menjelaskan bagaimana prospek kedepannya jika program atau proyek tersebut gagal mendapatkan investasi. Pria bernama Shun itu pun tertegun dengan pemaparan Karen. Bosnya memang pintar memanfaatkan peluang.Sebelum benar-benar mendaftar, Karen kembali mengecek nama-nama perusahaan yang sudah mendaftar. Tampak beberapa nama perusahaan yang be
Khawatir bertemu dengan Karen, Diaz sudah meminta panitia agar perusahaannya mendapat urutan terakhir. Sayangnya, kala hari pengumuman tiba, perusahaan Karen berhasil masuk lima besar dan akan melakukan presentasi besar, sedangkan perusahaan Diaz harus berhenti sampai di 20 besar saja.Meski demikian, Diaz sengaja mengundur kepulangannya hanya untuk mengikuti presentasi final tersebut. Selain berencana mendapatkan rekan bisnis untuk bekerjasama, ada sesuatu yang ia siapkan.“Karen Esme bersiaplah melihat kejutan dariku.” *“Arashi! Cepat ke mari!” perintah Karen.Ada kegelisahan dari tingkah laku dan nada suaranya, hingga membuat Arashi yang sedang asik bermain bersama Ken—jalan mendekat ke arahnya. “Ada apa? Apa ada yang gawat?”“Lihat ini! Sepertinya ada yang tidak beres.”“Mengapa tiba-tiba perusahaan kita digantikan oleh perusahaan lain?” tanya Karen.Arashi sontak melihat ke email yang ditunjukkan Karen. Inti dari surat tersebut adalah pemberitahuan adanya kesalahan dalam menul
“Halo, Elok Anugrah Cinta!”“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”Diaz memainkan emosi Karen.Pri
Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.“Bagaimana?” tanya Arashi.“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”“Mau makan makanan manis?” Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.Tangannya mengepal kuat.“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.Diaz berdecak kesal, tak menjawab.Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”*Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua ber
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Mendengar penuturan dokter membuat Karen semakin gelisah. Selain khawatir dengan kondisi Ken, golongan darahnya tak sama. Ia hanya menggeleng lemah.Tak kalah khawatir, Diaz berharap golongan darahnya sama.“Golongan darahnya O, tuan.”“Golongan darah kami sama dokter. Saya bisa menjadi pendonor,” ucap Diaz spontan.Karen menatap Diaz dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Tidak perlu, Diaz.” Karen mengcekal tangan Diaz yang hendak berjalan mengikuti dokter.“Golongan darah Arashi sama dengan Ken. Sebentar lagi, dia akan sampai di sini,” lanjut Karen.Diaz mendengus kesal.“Jadi kamu akan memepertaruhkan nyawa anakmu demi menunggu pria itu, hah? Waraslah sedikit Karen.”Tanpa sadar ucapan itu keluar dari mulut Diaz. Sejujurnya, ia merasa kecewa mendapati kenyataan bahwa Arashi memiliki golongan darah yang sama dengan Ken. Bahkan, Karen lebih memilih menunggu Arashi ketimbang menerima donor darah darinya.“Harusnya, aku tak boleh seemosional ini, belum tentu Ken itu anakku.”Diaz meru