Share

Bab 2. Bertahan Hidup

Brak!

Foto pernikahan Diaz dan Elok yang berada di dinding kantor Diaz tiba-tiba terjatuh. 

Kaca-kaca pun berhamburan di lantai.

“Astaga pak, ada apa?” tanya sang asisten yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mendengar suara itu dari meja kerjanya, berpikir ada sesuatu yang terjadi dengan bosnya.

“Foto tak berguna itu jatuh dengan sendirinya,” ucap Diaz santai, “minta OB untuk segera membersihkannya.” 

Walau ada sedikit gelisah di hati Diaz, namun segera pria itu menepisnya.

“Ini hanya sebuah kebetulan.”

Di sisi lain, Rain tengah menahan emosi kala melihat Elok yang ditangani di ruang IGD.

Tangan pria itu mengepal, menahan marah. Terlebih, suami saudarinya itu tidak bisa dihubungi sama sekali. 

“Diaz … jika sampai terjadi sesuatu pada saudariku, kupastikan kau akan merasakan akibatnya,” ucap Rain dalam hati.

Begitu dokter yang sedang melakukan penanganan pada Elok keluar, Rain segera bangkit dari duduknya.

“Bagaimana keadaan saudari saya, Dok?”

“Kondisi ibu Elok sangat lemah. Dari hasil USG, janin selamat meski keadaan janinnya lemah,” tutur sang dokter.

Mendengar itu, Rain sontak terkejut. Ia tidak menyangka jika Elok sedang berbadan dua.

“Secara keseluruhan, pasien harus segera dilakukan operasi di bagian kepala akibat benturan terjadi penggumpalan darah,” jelas sang dokter lagi, “Nyonya Elok juga mengalami patah tulang di tangan dan rusuk. Jadi, tolong Tuan segera menandatangani surat persetujuan dari pihak keluarga ini agar pasien segera ditangani.”

Dokter pun memberikan berkas tersebut pada Rain. 

Tanpa berpikir lagi, saudara kembar Elok itu menandatangani berkas dan mengurus administrasi.

Baginya, Elok harus segera melakukan operasi. Ia tak ingin sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Rain juga berusaha kembali menghubungi Diaz. 

Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban. 

“Bagaimana keadaan Elok?” tanya Adinata, sang ayah, mendadak–membuat Rain sontak menoleh ke belakang.

“Buruk, Pi,” ucap Rain sembari menggeleng, “kita doakan agar Elok baik-baik saja di dalam ruang operasi.”

Ibu sambung kedua anak kembar itu sontak menutup mulutnya, tidak percaya.

“Apa yang sebenarnya terjadi Rain?” tanya Ratna menuntut penjelasan.

Rain menghela nafas panjang sebelum menceritakan kronologi saat Elok menghubunginya hingga harus dilakukan tindakan operasi.

Selama itu, Ratna hanya bisa menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Bayangan sang putri yang menahan rasa sakit berputar-putar di kepalanya. Hal ini membuat Rain mendekat.

Dipeluknya sang ibu untuk menguatkan. “Kita doakan Elok sama-sama mi semoga ia dan janinnya selamat.”

“Ja-janin?” tanya Ratna terbata.

“Iya, Elok sedang hamil 10 minggu,” jawab Rain yang membuat tangis Ratna kembali pecah.

“Lalu di mana Diaz? Mengapa dia tak ada disini?” tanya Adinata menuntut.

“Entahlah pi,” jujur Rain, “dia tidak bisa dihubungi.” 

“Dasar bajingan sialan.”

Adinata mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. 

Tampak jelas pria itu begitu emosi.

“Keluarga Nyonya Elok?”

Ucapan dokter yang  keluar dari kamar operasi–mengalihkan fokus ketiga orang tersebut. 

Adinata dan Rain segera berjalan ke arah dokter. 

“Ya. Ada apa, Dok?”

“Kondisi Nyonya Elok kritis. Dia mengalami pendarahan serta membutuhkan beberapa kantong darah,” jelas sang dokter, “sedangkan, di rumah sakit hanya tinggal satu kantong darah saja.”

“Apakah ada dari keluarga pasien yang dapat mendonorkan darah sembari menunggu kantong darah dari PMI datang?”

Ketiganya menggeleng.

Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki golongan darah yang sama dengan Elok.

Sadar gentingnya situasi, Adinata dan Rain segera menggunakan koneksi mereka untuk segera mencari kantong darah di seluruh PMI di Jakarta.

Mereka berharap Elok bisa bertahan untuk dirinya dan juga janinnya. 

Dalam cemas, keluarga wanita itu menunggu perkembangan keadaannya.

*

“Jadi, kapan kamu akan menceraikan wanita itu, Yas?” tanya seorang wanita dengan manja pada Diaz di sebuah restoran mewah.

Pria itu sontak menghentikan makan malamnya. “Menceraikan? Aku tidak akan menceraikannya, Anna. Akan kubuat dia menyesal seumur hidupnya karena telah berurusan denganku.” 

Mendengar penuturan Diaz, ada kekecewaan dalam hati model yang sedang naik daun itu. Dulu saat kuliah, mereka memang sempat bersama sebagai sepasang kekasih. 

Ia pikir Diaz akan bisa kembali bersamanya, tetapi ternyata dugaannya salah.

Namun, Anna mencoba tenang. Dia pun mengangguk seolah setuju. “Ah iya, ada benarnya juga.” 

“Tapi…”

Alis mata Diaz naik sebelah mendengar ucapan menggantung dari Anna, hingga akhirnya wanita itu memberanikan diri.

“Kapan kamu akan menikahiku?” tanyanya. 

Diaz tersenyum miring. “Kamu yakin mau menikah? Kamu tidak sayang dengan karir dan kontrak kerjamu seperti dulu?”

Pria itu sengaja bertanya demikian karena dulu Annalah yang mengatakan belum siap menikah karena karirnya sedang menanjak. 

Kontrak kerja wanita itu juga melarangnya untuk menikah.

Anna mendadak salah tingkah. “Itu bisa kita bicarakan lagi, Yas asalkan kita bisa menikah.”

“Apa kamu siap untuk menjadi madu, Anna? Tidak menutup kemungkinan aku akan tetap tidur dengan wanita itu demi kepuasanku,” ucap Diaz lagi.

Model cantik itu terdiam–tak bisa berkata apa pun–hingga suara Diaz kembali terdengar.

“Daripada kamu pusing memikirkan kedua hal tadi, lebih baik kita bersenang-senang malam ini. Aku jamin wanita itu tidak akan mengganggu kesenangan kita malam ini.” 

Diaz mengukir lembut wajah cantik Anna dengan jemarinya, lalu menyeringai. 

Mereka akhirnya pergi ke sebuah club malam untuk bersenang-senang. 

Hal ini jelas berbanding terbalik dengan keadaan Elok yang masih berjuang hidup.

Meski operasi berjalan dengan lancar, ia masih harus dirawat dan diperhatikan kondisinya di ruang ICU.

Rain yang terus menunggu kembarannya itu merasa semakin frustasi.

Matanya tak pernah lepas dari monitor ICU yang menunjukkan tanda-tanda vital Elok.

Drrt!

Rain segera membuka ponselnya yang baru saja bergetar.

Namun, tak lama, pria itu merasa kesal.

“Bajingan,” umpat Rain membuat Adinata tersentak. 

Refleks, ia pun merebut ponsel Rain. Nampak, beberapa foto Diaz sedang bermesraan bersama seorang wanita di sebuah klub malam.

Emosi kedua pria itu tak terbendung lagi. Rain bahkan ingin menyusul dan menghajar iparnya tersebut.

Hanya saja, dokter dan beberapa perawat datang dengan tergesa menujur ruangan Elok. 

Rupanya, ada panggilan darurat dari perawat yang menunggui Elok.

Suara monitor pantau detak jantung begitu riuh. 

Kesadaran Elok terus menurun. 

“Tiiiiiiiittt!” 

Elok mengalami lost detak jantung.

Tampak dari jendela, perawat menyiapkan alat defibrillator

Selang beberapa waktu, dokter pun keluar dari ruangan. “Mohon maaf keluarga Nyonya Elok ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status