Arashi yang gelisah menunggu Karen akhirnya bisa bernafas lega saat melihat adiknya itu berjalan ke arahnya.
Senyum pria itu terkembang, membuat Karen melebur semua emosinya.
“Bagaimana?” tanya Arashi.
“Buruk! Aku benci berbicara dengannya.”
“Mau makan makanan manis?”
Karen mengangguk. Arashi selalu tahu apa yang bisa mengembalikan suasana hati Karen.
“Mari kita jemput Ken lebih dulu!” seru sang kakak.
Keduanya lantas berjalan menuju mobil, dengan Arashi yang memeluk pinggang adiknya.
Diaz dapat melihat jelas pemandangan itu dari dalam mobilnya yang melaju melewati kakak beradik itu.
Tangannya mengepal kuat.
“Kamu cemburu?” tanya Glen setengah meledek.
Diaz berdecak kesal, tak menjawab.
Melihat itu, Glen menggelengkan kepalanya, sebelum kembali teringat sesuatu. “Kita harus segera bertolak ke Jakarta, Yas. Om Henry sudah marah-marah dengan tindakan egoismu meninggalkan Pradana.”
“Kau kembalilah lebih dulu, aku masih ada urusan di sini.”
*
Sementara itu, setelah menjemput Ken, dua bersaudara itu bergegas menuju pusat perbelanjaan. Tujuan utama mereka adalah membeli gelato dan cake favorit.
Dengan girang Ken memilih rasa yang paling ia sukai. Kiwi, white chocolate, dan cinnamon, persis seperti Diaz.
Karen tidak habis pikir, kenapa anaknya mempunyai selera yang sama seperti ayah kandungnya, padahal tak pernah bertemu sama sekali? Apa itu karena genetik?
“Rasa itu lagi? Sekali-kali gantilah dengan rasa yang lain,” protes Karen pada akhirnya.
“No, mam. Rasa lain tak seenak perpaduan rasa ini, aku sudah lelah mencoba tidak ada yang se-klik ini,” ucap Ken polos.
“Baiklah, sayang. Seleramu sungguh aneh.”
Ken memanyunkan bibir, merajuk setelah mendengar ucapan sang Ibu.
Karen yang gemas saat anak merajuk, lantas mencubit pipi anaknya, gemas.
Selama menikmati gelato, Ken pun menceritakan keseruannya selama di sekolah. Baik Karen maupun Arashi menyimak dengan antusias.
Tak cukup menikmati gelato dan cake, mereka juga berburu okonomiyaki, takoyaki, dan jajanan lain di food court.
Hanya saja, Arashi tidak bernafsu lagi. Gelato dan cake sudah cukup membuatnya kenyang pria itu.
Meski demikian, mereka asyik berkeliling mall, hingga tiba ke tempat favorit mereka--toko buku.
Di sana, Arashi berpisah dengan Karen dan Ken. Ia ke bagian majalah dan nanti akan menyusul mereka ke bagian buku anak-anak.
Ibu dan anak itu pun seketika sibuk memilih dan membahas buku apa yang akan mereka beli.
Namun, saat Arashi mengantri untuk membayar buku, kepanikan terjadi.
Ken tiba-tiba menghilang!
“Ras, Ken tidak ada!” ucap Karen panik.
“Jangan panik, ayo kita cari.”
Karen, Arashi, serta beberapa petugas mencari Ken disetiap rak dan sudut ruangan, tapi hasilnya nihil. Spekulasi pun muncul jika anak itu keluar dari area toko buku.
*
Brruukkk!!!
Sementara itu, tubuh mungil Ken tengah terpental setelah menabrak seseorang.
Pria yang ditabrak melihat sekeliling sebelum akhirnya menolong si anak.
“Kenapa anak kecil dibiarkan pergi sendirian, dasar orang tua lalai,” batin Diaz.
“Kamu tidak apa-apa, son?”
Ken hanya terdiam, lalu melihat ke belakang. Barulah sadar ia telah berjalan terlalu jauh.
“Di mana orang tuamu, son?” tanya Diaz lagi.
“Ini di mana paman? Tadi mereka di toko buku, tapi aku keluar karena melihat temanku. Tapi, sepertinya aku tersesat,” terang Ken.
Diaz yang baru pertama kali datang ke mall tersebut tak paham di mana letak toko buku.
“Mari kita cari toko buku itu, son. Sembari kita mencari pusat informasi untuk mecari tahu untuk memanggil mereka.”
“Apa paman orang baik?” tanya Ken polos membuat Diaz menaikkan sedikit alisnya.
“Tentu saja paman orang baik,” jawab Diaz setelah mengerti maksud Ken.
Sejurus kemudian, digendongnya anak kecil itu.
“Siapa namamu?” tanya Diaz.
“Kenshin, paman. Mommy dan ayah suka memanggilku Ken.”
“Nama yang familiar seperti karakter komik favorit paman.”
“Apa yang paman maksud Kenshin Samuarai X?”
“Iya, kau tahu itu?”
“Iya. Mommy dan papi sangat senang dengan karakter itu.”
“Kenapa kamu mengganti panggilan ayah dengan papi?” tanya Diaz penasaran.
“No, no, paman. Ayah dan papi orang yang berbeda. Ayah itu ayahku. Kalau papi itu, kembaran mommy.”
Diaz tersenyum.
Entah mengapa ia sangat menyukai Ken yang interaktif dan cerdas. Hatinya seakan telah jatuh cinta pada Ken tanpa tahu takdir Tuhan sedang berjalan.
Mereka berdua pun berkeliling.
Tak lupa, Diaz juga menanyakan letak pusat informasi dan toko buku yang dimaksud oleh Ken.
Obrolan-obrolan receh terus keluar diantara keduanya. Lebih tepatnya, Ken berceloteh tentang apa yang ia lakukan sebelum akhirnya tersesat.
“Kamu suka gelato rasa apa?” tanya Diaz.
“Aku paling suka rasa kiwi paman. Aku juga punya perpaduan tiga rasa gelato favorit.”
“Oh ya? Rasa apa saja?”
“Eemmm, kiwi, white chocolate, dan cinnamon.”
Alis Diaz naik sebelah. Ia cukup terkejut. Rasa yang sama seperti dirinya, sebuah kebetulan yang, ah entah mengapa membuat hatinya gembira.
Merasa gemas, Diaz menanyakan pada Ken apa dia boleh menciumnya.
Dengan ragu, Ken mengangguk.
“Andai aku memiliki anak selucu kamu, Ken,” batin Diaz.
Ia kembali mengingat kejadian lima tahun lalu. Kebodohannya yang membuat sang anak lenyap. Hanya saja, Diaz sedikit berharap calon anaknya juga selamat--sama seperti Elok.
“Apa paman boleh mengajakmu makan gelato bersama lain kali? Selera kita sepertinya sama. Nanti paman akan meminta izin pada orang tuamu.”
Dengan riang Ken, mengiyakan. Lalu memberikan kelingkingnya pada Diaz, mengikat janji.
Tak lama, keduanya tiba di pusat informasi terdekat lalu memberi tahu petugas keperluannya. Selang beberapa menit, suara pengeras suara bersahutan mengumumkan keberadaan Kenshin.
Karen dan Arashi yang menangkap suara itu seketika menghela nafas lega.
Bahkan, Karen nyaris saja menangis ketika hendak memberi pengumuman di pusat informasi. Beruntung pengumuman penemuan Ken lebih dulu berkumandang.
Karen dan Arashi turun ke lantai 1. Hatinya jauh lebih tenang.
Dengan tergopoh-gopoh, Karen menuju ruang tunggu yang berada di belakang pusat informasi.
“Ken!” panggil Karen setelah membuka pintu.
Diaz dan Ken menoleh ke arah Karen.
“Mommy!” seru anak itu, lalu berlari ke arah Karen yang langsung menggendongnya.
Diaz berdiri, betapa terkejutnya ia melihat sosok perempuan yang dipanggil mommy.
“Karen,” lirih Diaz.
Sama halnya dengan Karen, ua pun sama terkejutnya.
“Takdir macam apa ini,” seru wanita itu dalam hati.
“Mom, paman Diaz yang menolongku.”
Ucapan Ken membuyarkan pikiran Karen.
“Ah, iya sayang. Mari ucapkan terima kasih pada paman Diaz.”
Dengan patuh, Ken mengucapkan terima kasih pada Diaz. Lalu, beralih ke gendongan Arashi.
“Terima kasih, Tuan. Telah menolong anak saya,” ucap Karen, lalu membungkuk memberi hormat.
Begitu juga dengan Arashi. Pria itu bahkan meminta Ken untuk berpamitan pada Diaz, lalu membawa bocah itu keluar dari ruangan, seolah memberi ruang lagi pada Karen dan Diaz.
Sementara itu, Karen tak ingin berbasa-basi. Ia pun berbalik hendak menyusul kakak dan anaknya. Namun, ucapan Diaz berhasil menghentikan langkahnya. “Apa Kenshin anak kita?”
Karen menghentikan langkah sejenak tanpa menoleh. Lalu kembali berjalan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun--meninggalkan Diaz yang belum mendapat jawaban atas pertanyaannya.“Apa itu artinya Kenshin memang anakku?” Diaz menyimpulkan sendiri dan segera berlari keluar ruangan--memindai sekeliling mencari jejak Karen walau sekedar bayangan.Ketemu!Diaz kembali mengejar Karen. Langkahnya yang jenjang tak begitu sulit untuk menyusul ibu satu anak itu.“Karen, tunggu!” Pria itu mencekal tangan Karen, tetapi perempuan itu segera melepaskannya. “Sudah kukatakan, orang akan salah paham jika kamu melakukan hal seperti ini,” sentaknya.“Ayo kita bicara sebentar,” ajak Diaz.Karen sejenak melihat ke arah Arashi yang mengangguk dan Ken yang melambaikan tangan pada Diaz.“Ingat janji kita paman,” ucap Ken lalu tersenyum ke arah Diaz.Tanpa sadar, Diaz tersenyum. Senang. Satu kata yang bisa mengungkapkan isi hati Diaz saat ini.Sementara itu, Arashi membawa anak itu berlalu meninggalkan orang tu
Mendengar penuturan dokter membuat Karen semakin gelisah. Selain khawatir dengan kondisi Ken, golongan darahnya tak sama. Ia hanya menggeleng lemah.Tak kalah khawatir, Diaz berharap golongan darahnya sama.“Golongan darahnya O, tuan.”“Golongan darah kami sama dokter. Saya bisa menjadi pendonor,” ucap Diaz spontan.Karen menatap Diaz dengan ekspresi yang sulit diartikan.“Tidak perlu, Diaz.” Karen mengcekal tangan Diaz yang hendak berjalan mengikuti dokter.“Golongan darah Arashi sama dengan Ken. Sebentar lagi, dia akan sampai di sini,” lanjut Karen.Diaz mendengus kesal.“Jadi kamu akan memepertaruhkan nyawa anakmu demi menunggu pria itu, hah? Waraslah sedikit Karen.”Tanpa sadar ucapan itu keluar dari mulut Diaz. Sejujurnya, ia merasa kecewa mendapati kenyataan bahwa Arashi memiliki golongan darah yang sama dengan Ken. Bahkan, Karen lebih memilih menunggu Arashi ketimbang menerima donor darah darinya.“Harusnya, aku tak boleh seemosional ini, belum tentu Ken itu anakku.”Diaz meru
“Ayah, sakit!” racau Ken lagi, “Mom, ayah mana?”Karen memang tak terlalu pandai menenangkan Ken, sebab ada Arashi yang selalu bisa diandalkan.Wanita itu seketika tersadar. Sedekat apapun ia dengan anaknya, peran seorang ayah tak kalah pentingnya.Sedangkan Diaz, ia tak tahu harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.Ia hanya bisa memandang iba.Untungnya, itu tak berlangsung lama. Arashi telah datang dengan membawa es krim kesukaan Ken.“Ta—da.” Arashi memamerkan paper bag yang ia bawa.“Maafkan ayah, boy. Tadi ayah ada sedikit urusan.”Arashi duduk di samping Ken, lalu mengecup kening bocah itu.Dibelainya kepala Ken lembut. “Di mana yang sakit?”Ken menunjuk bahu dan tangan kirinya. Anak kecil itu terus menangis dan mengeluh sakit--mungkin efek biusnya sudah habis.“Apa sakit sekali?” tanya Arashi, ia masih membelai kepala Ken. Ken mengangguk.“Jagoan ayah harus?”“Ku-at,” jawab Ken terbata.“Pintar.”Lagi. Ada sesuatu yang aneh di hati Diaz m
Mobil itu berhenti setelah menabrak mobil lain di depannya. “Astaga. Untung saja. Sepertinya tidak terlalu parah,” gumam Diaz. Pria itu sudah melepas sabuk pengaman dan melongok bumper mobil yang di kendarainya. Ia lupa bahwa diseblahnya ada anak manusia yang gemetaran ketakutan. “Ya Tuhan, Diaz. Kamu benar-benar ingin membunuhku?” pekik Karen. Jantungnya berdebar kencang, kaget. Sabuk pengaman benar-benar menyelamatkan hidupnya. Diaz tersadar, menoleh ke arah Karen, “kamu tidak apa-apa?” tanya Diaz panik. Ia memindahi tubuh Karen. Karen menekan pelipisnya, pening. “Berapa kali aku hampir mati karenamu,” lirih Karen. Ingin hati mengucapkan maaf, tapi mulut berkata lain. “Ini semua salahmu, kalau kamu tak memancing keributan, kejadian ini tak akan terjadi.” Dua anak manusia itu masih melanjutkan pertengkaran. Karen mendengus kesal. Tuk! Tuk! Tuk! Kaca pintu mobil diketuk dengan tidak sabar. Diaz menurunkan kaca jendela. “Hei, keluar dan selesaikan masalah kita,” perint
Karen mendorong pelan tubuh Diaz. Nyaris saja ia terhipnotis oleh pesona Diaz Pradana. “Jangan berbuat sesukamu, Diaz Pradana.” Karen yang salah tingkah, membuat Diaz merasa gemas. “Ayo kita makan, aku harus segera ke rumah sakit,” ucap Karen canggung. Karen menurunkan tangannya dari dada Diaz. Lalu bergeser dua langkah untuk melepaskan diri dari pria itu. Ternyata tidak semudah itu lepas dari seorang Diaz Pradana. Suaminya itu mencekal kedua tangannya, lalu menariknya, memangkas jarak. “Apa kamu tak merindukanku?” bisik Diaz. Karen menunduk, menghindari tatapan mata Diaz. Jantungnya tak bisa ia ajak kompromi, seperti akan melompat ke luar dari rongga dadanya. Dapat dipastikan wajah telah merona. “Jangan seperti ini, Diaz,” lirih Karen. “Apa jantungmu berdebar saat ini?” sinis Diaz. Karen berdecak dalam hati, Diaz sungguh pandai mempermainkan hati Karen. Di sisi lain, Ken terbangun dari tidurnya. “Ayah, mommy mana?” “Kamu terbangun, boy!” “Mommy sedang pulang mengambi
Sampai di tempat tinggalnya, Diaz langsung merebahkan diri. Ternyata tubuhnya letih sekali. Tak butuh lama untum sampai ke alam mimpi. Entah kapan terakhir ia bisa tidur senyenyak ini semenjak kematian Elok. Insomnianya berangsur menghilang saat ia melihat paras ayu sang istri. Meski masih harus meminum obat tidur tapi reaksinya lebih cepat ketimbang biasanya. Matahari bersinar terang memasuki cela-cela gorden yang tak rertutup rapat. “Jam berapa ini?” gumam Diaz. Ia mencari handphone yang semalam diletakkannya sembarangan entah dimana. Pukul 11 siang, tulisan itu nampak jelas di layar benda pipih tersebut. Ada sepuluh panggilan tak terjawab salah satunya dari Henry—ayahnya—dan Glen. Pria itu kembali merebahkan diri, tak ada niatan untuk menghubungi dua orang itu. Ia justru membuka galeri fotonya, melihat foto selfinya bersama Kenshin. “Hei, son. Kau tampan sekali. Maafkan daddy,” monolog Diaz. Panggilan dari ayahnya membuat layar itu berganti dengan foto profil sang ayah.
Mendengar suara asing, reflek Diaz menutup teleponnya.“Siapa itu? Apa pegawai itu salah menekan nomor telepon?”Diaz kembali mendatangi pegawai tadi untuk mengkonfirmasi kebenaran nomor yang ditelepon. Pagawai itu yakin ia benar.Diaz heran mengapa ada orang yang dengan mudahnya mengangkat panggilan telepon milik orang lain.Tak habis akal Diaz meminta kontak nomor Karen, namun sayangnya pegawai itu tidak di perbolehkan memberikan kontak pemilik dan kerabat pada orang lain.“Apa katanya? Kerabat? Jadi bengkel ini milik siapa? Aaarrrgghhh,” Diaz mengerang dalam hati.“Siapa sebenarnya kamu ini, Ren?” Diaz merasa frustasi.Pupus sudah harapannya mengetahui keadaan dan keberadaan Ken.Sepertinya benar apa kata Arashi ia harus lebih bersabar. Tapi sampai kapan?Diaz mengacak-acak kasar rambutnya.*“Apa katanya kak?” tanya Karen pada Haru.Saat panggilan masuk, Karen sedang sibuk membersihkan tubuh Ken. Kepalang tanggung jika
Karen mengedipkan mata, bingung harus menjawab apa.Lantas ia menoleh ke arah Arashi, kakaknya itu hanya mengedikkan bahu.Ken masih menatap intens sang ibu, berharap sang ibu segera memberinya jawaban.“Mmmm, boleh tapi tidak sekarang atau besok ya sayang. Besok kan teman-temanmu akan datang. Mungkin lusa atau menunggu saat paman tidak sibuk.”Ken mengangguk paham.“Kalau boleh mom tahu, kenapa kamu ingin paman Diaz datang menjengukmu?” tanya Karen yang penasaran dengan kemauan anaknya.“Entahlah, mom. Aku hanya merasa rindu pada paman Diaz,” jawab Ken polos.“Aku belum menyapanya dengan benar kemaren, aku merasa bersalah,” sesal Ken.“Apa ini yang dinamakan ikatan batin ayah dan anak, mereka baru saja bertemu, tapi Ken sudah bisa mengatakan bahwa ia merindukan ayahnya,” batin Karen.Karen memandang ke Arashi, pria itu nampak tidak peduli dengan obrolannya dengan Ken.Karen mendekati Arashi yang berada di balkon kamar ruang rawat Ke