Share

Bab 7. Tidak Tahu Malu

“Halo, Elok Anugrah Cinta!”

“Atau sekarang aku harus memanggilmu Karen? Karen Esme,” sapa Diaz setelah acara presentasi selesai.

Karen masih diam, sejujurnya ia bingung harus bersikap seperti apa, ini terlalu mendadak.

“Oh, kalau kamu lupa, perkenalkan aku Diaz Pradana, suamimu,” ujar Diaz seraya mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Pria itu memberi penekanan pada kata “suamimu” untuk memberi tahu kepemilikan pada pria yang berdiri di sebelah Karen.

Tatapan tajam Diaz tak lepas dari wajah ayu Karen.

Namun, wanita itu memilih untuk tidak membalas jabat tangan dari Diaz. Sungguh saat ini jantungnya sedang berdetak tak karuan, hatinya gelisah, dan tangannya dingin bagai memegang es batu.

“Salam kenal, tuan Diaz,” balas Karen yang sudah bisa menetralkan detak jantungnya, “sepertinya, Anda salah mengenali seseorang.”

Entah mengapa ia memilih tidak mengakui dirinya sebagai Elok.

“Oh ya? Tapi Anda terlalu sama jika hanya dikatakan mirip dengan istri saya.”

Diaz memainkan emosi Karen.

Pria itu memandang ke arah Arashi dengan tatapan tajam, seolah meminta Arashi untuk memberi ruang untuknya dan Karen.

Awalnya, Arashi menatap tak kalah tajam. Namun, melihat Karen mengangguk tanda mengiyakan, pria itu pun menyerah.

Hanya saja, sebelum meninggalkan Karen, Arashi tersenyum lembut dan menepuk bahu saudarinya pelan. 

Melihat Karen membalas senyum Arashi, dada Diaz bergemuruh. 

Ingin rasanya ia menghajar Arashi jika tidak mengingat ini adalah tempat umum.

Apa ia cemburu? 

Tidak-tidak. Ia hanya tidak suka jika Karen hidup bahagia. Begitulah hatinya meyakinkan dirijya sendiri.

“Apa kamu bahagia, setelah meninggalkanku dengan memalsukan kematian dan mengganti identitas?” ucap Diaz dingin.

Karen hanya diam tanpa ekspresi.

“Kamu tak perlu berpura-pura tidak mengenalku, kita hanya berdua sekarang,” sinis Diaz.

“Tentu saja, aku bahagia, sangat bahagia bisa lepas dari hidup wanita bernama Elok. Wanita yang bahkan tak kau anggap kehadirannya.”

Andai kata-kata itu bisa keluar dari mulutnya, sayang hanya ada dalam kepalanya.

Karen menghela nafas pelan sebelum akhirnya berkata, “Ada apa kamu jauh-jauh mencariku?” 

“Mencarimu? Kamu terlalu percaya diri, nona Karen.”

“Baiklah, kalau tidak ada yang ingin kamu sampaikan, aku permisi lebih dulu,” tutur Karen.

Ia berjalan melewati pria itu, hingga tangan Diaz mencekal tangannya. Lalu kembali mensejajarkan tubuhnya dengan Karen.

“Jangan seperti ini, orang akan salah paham.” 

Karen berusaha melepas tangan Diaz yang memegang tangannya.

Tersirat kemarahan dari tatapan Diaz.

Pria itu berpikir Karen takut bila Arashi akan salah paham. 

Padahal, Karen tidak mau bila anak buah kakeknya melihat pertemuannya dengan Diaz, lalu melapor pada sang kakek.

“Untuk apa kamu mencariku?” ulang Karen.

Diaz belum juga melepas tanganya, seakan takut jika wanita itu kabur meninggalkannya.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa istriku yang memalsukan kematiannya benar-benar hidup tenang dan bahagia. Karena, mulai sekarang, aku akan membuat hidupmu tak tenang, hingga tidur pun tak bisa.”

Mata Karen membulat. “Istrimu adalah Elok Anugrah Citra dan dia memang sudah mati bersama calon anak, serta masa lalu kelam kalian.”

“Yang ada di depanmu ini, aku, Karen Esme. Tidak ada kisah masa lalu di antara kita. Jadi, lebih baik kamu lupakan saja dendam masa lalumu itu,” lanjut Karen penuh penekanan.

Kini, tatapannya bahkan tak kalah nyalang pada Diaz. Ada kebencian di sana. “Cukup Elok yang mati di tanganmu, tapi tidak untuk Karen Esme.”

Karen menghempaskan tangan Diaz. Namun, seolah tidak peduli, pria itu justru mengeratkan genggamannya.

“Lepas!” sentak Karen.

Sayang, Diaz seolah tuli dan enggan melepas genggaman tangannya.

Kesabaran Karen mulai menipis. Matanya mulai memerah karena emosi.

Diaz tersenyum dalam hati. Ia ingin melihat Karen lebih meluapkan emosinya. 

Berharap wanita itu akan memaki atau memukulnya, asalkan tidak memberikan tatapan itu padanya.

“Lepaskan!” 

“Tidak akan,” tegas Diaz, “baik Karen atau Elok, tidak akan aku lepas, kecuali karena kematian sungguhan.”

Diaz memegang kedua tangan Karen, memajukan langkah, hingga nyaris tak berjarak. 

Pandangan keduanya saling mengunci.

Deru nafas saling bersahutan, hingga….

BUUUKK!!!

Karen menendang tulang kering Diaz. 

“Arrgh!” Terdengar Diaz mengerang kesakitan.

“Yas!” Suara seorang wanita tiba-tiba mengalihkan atensi sepasang anak manusia itu.

“Hei, kenapa kamu ke Jepang tanpa mengabariku?” ucap Anna bergelayut manja di tangan Diaz tanpa tahu situasi apa yang sedang pria itu hadapi.

Diaz segera melepas genggaman tangan Anna, membuat wanita itu memanyunkan bibirnya.

Melihat pemandangan di depannya, Karen memandang jijik. 

Wanita inilah yang bersama suaminya saat ia berjuang mempertahankan dua nyawa.

Tak menampik, hatinya juga kecewa karena dua insan itu masih berhubungan sampai sekarang, atau mungkin sudah menjadi sepasang suami istri?

Karen segera melangkah kaki meninggalkan dua pasangan tak tahu dari itu.

Di sisi lain, Anna merasa ada yang tidak asing dengan wanita yang sedang beranjak pergi. Ia pun mengejar dan menarik tangan Karen agar menghadap ke arahnya.

“Astaga!” pekik Anna saat melihat wajah Karen. Tangannya sontak menutup mulutnya. “Kamu sungguh-sungguh masih hidup!” 

Anna benar-benar tak percaya sampai ia mencubit pipinya sendiri, sakit.

Diaz dengan tegas meminta Anna untuk meninggalkan mereka. 

Dengan berat hati, wanita itu pergi meninggalkan Karen dan Diaz dengan kesal.

Harusnya momen tadi Karen manfaatkan untuk kabur. Tapi, otak dan tubuhnya tidak sinkron. Ia memilih untuk tetap berdiri tegak menunggu drama apa yang akan terjadi.

Melihat Anna telah pergi, barulah Karen bertepuk tangan. 

“Wah, drama apa yang sedang dimainkan oleh Romeo dan Juliet ini?” ucap Karen lalu tertawa sumbang.

“Aku tidak menyangka! Apa kalian sedang memainkan drama suami istri yang sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing?” sindirnya.

“Sepertinya, kalian selalu bersenang-senang tak peduli keadaan,” ucap Karen tajam, “sama seperti lima tahun lalu saat aku meregang nyawa.”

“Lalu, sekarang  kau datang seolah-olah meminta keadilan?”

“Tidak tahu malu!” maki Karen lalu memilih berlalu.

Mendengar ucapan sang istri, Diaz tertohok–tak bisa berkata apa-apa. 

Ia ingin meminta maaf, tapi tak bisa. 

Seketika, Diaz merasa tak lagi memiliki alasan untuk menghentikan langkah Karen yang semakin menjauh. Jadi, pria itu hanya bisa memandangi kepergian Karen dengan perasaan menyesal yang mulai menyusup di dadanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status