Kemiskinan membuat Bayu Setiawan digugat cerai oleh sang istri. Hal tersebut membuat hati Bayu terkoyak dan turun harga dirinya. Bayu mempunyai putri cantik yang bernama Nilam. Nilam yang masih kecil terpaksa menjalani hidup tanpa kasih sayang seorang ibu. Bayu pun merasa kasihan kepada Nilam. Akankah, Bayu bangkit dari keterpurukannya. Ataukah dia malah terjebak dalam kehidupan yang semakin rumit? Ikuti cerita pada episode selanjutnya.
View More"Mas, kita bercerai saja. Aku sudah tidak betah hidup dengan kamu yang miskin!" ujar seorang wanita berumur sekitar 23 tahun.
"Jangan begitu, Dek. Bertahanlah dan bersabar menjalani hidup ini. Untuk menjadi kaya itu butuh proses. Mas memang hanya seorang kuli, tetapi mas itu tanggung jawab meski semua serba kekurangan. Toh, Nilam bisa sekolah," jawab Bayu dengan nada ramah. Seorang pria berumur 28 tahun yang sudah mempunyai anak perempuan berumur tujuh tahun. "Sudahlah, Mas. Aku sudah bertahan lima tahun denganmu, tetapi hidup ini masih seperti ini saja. Lihat dasterku lusuh. Apalagi wajahku. Tak pernah kau belikan aku skincare! Lihat, istrinya Mas Weldan, cantik dan selalu tercukupi. Pokoknya hari ini aku ingin pulang ke rumah ibuku. Aku juga mau menikah dengan Mas Weldan," ungkap istrinya Bayu yang bernama Rengganis. "Rengganis, apa kamu bilang? Menikah dengan Weldan suami orang itu? Jangan mencari prahara di atas rumah tangga orang lain, Dek. Bahaya. Nanti mas yang malu. Maaf kalau mas belum bisa memberikan kebutuhan untuk keperluan kecantikanmu. Tahu sendiri kan, buat makan dan biaya sekolah Nilam saja pas pasan. Pikirkanlah matang-matang jika kamu ingin berpisah denganku. Siapa tahu, kelak, mas akan sukses dan kamu menyesal," sahut Bayu dengan nada sedikit emosi. Namun, ia berusaha tetap tenang. Rengganis berkacak pinggang sambil menatap Bayu dengan tatapan sinis. Ia duduk di ruang tamu usang bersama Bayu yang sedang membuat kerajinan berupa sangkar burung. Selain menjadi kuli, Bayu berusaha menyempatkan membuat sangkar burung peliharaan yang kini diminati oleh kaum lelaki yang suka memelihara. "Cuih. Ya enggaklah. Kenapa aku harus menyesal berpisah denganmu? Yang ada aku malah bebas dari kesengsaraan ini. Aku bosan, Mas. Tiap hari makan hanya dengan sambal dan kerupuk. Lihat, Mas Weldan kaya seorang kerja kantoran yang mapan. Punya mobil dan rumah. Lah kamu, rumah kecil, sempit dan reyot!" ejek Rengganis. Ia membandingkan suaminya dengan Weldan yang seorang pekerja kantoran. Weldan memang terlahir dari anak kaya. Rumahnya tidak jauh dari rumah mereka. Hanya berjarak dia rumah dari tetangganya. "Istighfar, Dek. Meskipun rumah ini kecil, tetapi layak dihuni dan tidak bocor. Mas selalu berusaha merawat rumah ini. Lihat, aku juga mencari kesibukan lain yang bisa menghasilkan uang. Meski hasilnya belum seberapa. Tapi yakinkah, suatu saat, yang beli banyak! Kasihan Nilam jika kau tinggalkan. Dia masih kecil dan masih butuh kasih sayang seorang ibu." Bayu tetap memberi semangat kepada sang istri agar tidak jadi bercerai dengannya karena pria itu sangat sabar. Rengganis lah yang kurang bersyukur. Waktu itu, pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB. Di mana anak mereka masih sekolah. Sehingga perdebatan mereka tidak didengar oleh sang anak. Bayu sangat perhatian dengan sang anak dan berharap Rengganis tidak menceraikan dirinya. "Sudahlah, Mas. Jangan sok alim. Nih, aku sudah mengemasi barang-barangku. Aku nitip Nilam. Dan jaga dia baik-baik. Jika kamu itu tidak miskin, aku tidak pergi darimu. Sudah lima tahun kita menikah. Hidup kita tidak berubah. Aku ingin mengubahnya sekarang juga. Jangan mencari aku lagi karena aku sudah dibelikan rumah baru oleh Mas Weldan!" Rengganis bersiap-siap untuk pergi dari rumah Bayu. Ia sudah dibutakan oleh kemewahan dunia yang menipu. "Dek, jangan tinggalkan, mas. Kasihan Nilam." Hanya itu yang bisa Bayu ucapkan. Harga dirinya sebagai pemimpin keluarga terkoyak gara-gara ulah istrinya. Rengganis sudah ke luar dari rumah Bayu. Ia benar-benar pergi meninggalkan rumah Bayu. Wanita itu juga tidak lupa meninggalkan surat gugatan cerai dan Bayu harus menandatangani surat tersebut. "Ya Alloh, Dek. Kau sudah mempersiapkan sejauh ini. Kau tega sekali mengkhianati pernikahan kita," ujar Bayu sambil meremas surat cerai tersebut. Dalam dadanya, berkobar rasa yang tidak pernah padam. Bayu, seorang pria miskin yang hidupnya jauh dari kata nyaman. Rumahnya yang sederhana, di pinggiran kota, kini hanya dihuni dirinya dan seorang anak perempuannya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, bernama Nilam. Setelah ditinggal Rengganis, hidup Bayu semakin berat. Bayu hanya bekerja serabutan, kadang menjadi buruh bangunan, kadang menjadi kuli sembako di pasar. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Pakaiannya sederhana dan wajahnya selalu terlihat lelah. Waktu menginjak pukul 12.00 WIB. Bayu bersiap-siap menjemput Nilam ke sekolah dengan mengendarai motor bututnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Suherman, teman lamanya yang kini sukses menjadi pengusaha. Suherman mengendarai mobil mewah, berpakaian rapi, dan terlihat sangat makmur. Melihat Bayu, Suherman hanya tersenyum sinis. "Wah, Bayu, masih saja begini keadaannya?" Dulu kita sama-sama susah, tapi sekarang lihat, saya sudah sukses. Kamu masih saja miskin," ujar Suherman dengan nada meremehkan. Bayu hanya tertunduk malu. Ia tak mampu membalas ucapan Suherman. Ia tahu, hidupnya memang jauh dari kata sukses. Ia merasa terhina dan berkecil hati. Nilam yang sudah berdiri di sampingnya pun terlihat sedih. Ia tidak suka melihat ayahnya dihina. Setelah Suherman pergi, Nilam memeluk Bayu. "Ayah, jangan sedih," ujar Nilam yang masih memeluk sang ayah dengan penuh kehangatan. "Ayah tetap ayahku yang terbaik." Kata-kata Nilam sedikit menghibur Bayu yang kini hatinya sedang pilu. Bayu menyadari bahwa ia harus tetap tegar demi Nilam. Ia tidak boleh menyerah pada keadaan. Di sekolah, Nilam berusaha akran dengan teman-temannya. Namun, beberapa temannya menertawakan Nilam karena ayahnya miskin. Nilam merasa sedih dan malu. Ia ingin sekali ayahnya sukses seperti ayah teman-temannya. Nilam berjanji akan belajar rajin agar kelak bisa membahagiakan ayahnya. Terlebih, Nilam mengetahui bahwa ibu kandungnya sudah pergi meninggalkan dirinya. Ada rasa remuk dalam hatinya. Keesokan harinya, Bayu kembali bekerja. Ia terdorong untuk mengubah hidupnya. Ia berusaha bekerja lebih keras lagi untuk membahagiakan Nilam. Bayu akan membuktikan kepada Suherman dan orang-orang yang meremehkannya bahwa ia mampu untuk sukses. Ia tahu, jalan menuju kesuksesan tidak mudah, tetapi ia tidak menyerah. Pria itu tidak mendengarkan cibiran orang yang suka merendahkan dirinya, demi masa depan Nilam dan dirinya sendiri. Ia bertekad untuk mengubah cibiran menjadi kekaguman. Meskipun jalannya masih panjang dan penuh batu terjal, tetapi tekadnya untuk mengubah nasib tetap berkobar di hatinya. "Kenapa Ayah menangis?" tanya Nilam sambil meletakkan buku mata pelajaran di meja. Kebetulan Bayu libur bekerja. Nilam merasa iba melihat sang ayah seperti dalam tekanan berat. "Eh, Nilam. Ayah tidak apa-apa," jawab Bayu dengan nada datar dan menyembunyikan beban mental yang sangat berat yang sedang ia alami. Ia mengusap air matanya agar Nilam tidak ikut dalam kesedihan hebat yang baru saja ia alami.Sore hari yang mendung, sememdung hati Aisyah yang kini mendengar cerita dari Bayu dan Pak Riyan. Mereka sedang merencanakan pernikahan. Namun, Bayu masih belum seratus persen menyetujui usulan Pak Riyan. Dilihat dari beberapa pertimbangan. Suara daun pisang kering mengakibatkan Bayu mendengar bisikan itu. Ia langsung menuju suara tersebut. Hingga ia menemukan siapa yang ada di samping kebun rumahnya. "Neng Aisyah? Kamu di situ?" Bayu memberanikan diri mendekati Aiayah. Aisyah menunduk sambil menangis. "Maaf, saya lancang!" ujar Aisyah sambil berbalik dan mencoba berlari. Namun, Bayu dengan cepat meraih tangan Aisyah. "Aisyah, kau jangan pergi. Ayo ikut aku!" "Jangan, Mas Bayu. Kau mau ajak aku ke mana?" tanya Aisyah dengan gugup. Bayu melangkah menuju di mana Pak Riyan dan Nisa berada. Pak Riyan dan Nisa berada di ruang tamu. Aisyah pun dipersilakan duduk oleh Bayu. "Siapa ini, Bay?" tanya Pak Riyan dengan terkejut. Pikirannya menerawang ke mana-mana.
"Alhamdulilah, Pak Riyan. Semoga pembangunannya lancar," jawab Bayu sambil berdiri memandang bangunan yang ia usahakan. Pak Riyan menepuk pundak Bayu. "Kalau kau kesulitan dana, kubantu. Saya pikir, kau itu pria dewasa yang matang dan sederhana. Pikirkan tentang Nisa. Saya memberi kepercayaan padamu untuk menikahkan Nisa denganmu. Semoga kau mau," bisik Pak Riyan dengan mantap. Bayu menoleh ke arah Pak Riyan dengan tatapan mata melebar. Ia sangat dilema. Masalahnya ada wanita yang juga diam-diam menyukainya. Sangat bingung saat ini. Bayu hanya diam. Dia mengambil piring kotor yang berserakan di area bangunan. Ia belum sempat membawa masuk ke dalam rumah. Tenaganya terbatas dan ia butuh istri yang memahami kondisi suami. Bukan istri egois yang ingin didahulukan keinginannya. "Mas Bayu berpikir saja dulu. Soalnya Nisa itu memang seperti itu. Saya ingin ada yang membimbingnya," ujar Pak Riyan lagi. Ia tahu isi hati Bayu yang dilema. "Hem, Baik, Pak saya akan coba dulu. Siapa tahu j
Siang itu Bayu bingung. Tamunya ada dua kubu. Kubu pertama datang dari keluarganya Pak Riyan yang turun dari mobil bersama anak gadisnya berusia sekitar dua puluh tahunan. Cantik, tomboy dan cuek. Kubu ke dua datang dari tetangganya sendiri yang bernama Aisyah. "Ayah, tamunya banyak. Ada Ustadzah Aisyah dan ada mereka. Sepertinya Nilam pernah lihat," ujar Nilam yang ikut bingung dengan kejadian tersebut. "Maaf, saya cuma sebentar. Hanya ingin memberikan ini!" ujar Aisyah dengan gugup. "Oh, iya terima kasih, Neng. Nggak bertemu Nilam dulu?" tanya Bayu dengan basa-basi. "Tidak, saya permisi!" Aisyah cepat-cepat pulang karena di rumah Bayu ada tamu. Bayu pun tidak sempat membuka kantong kresek yang diberikan Aisyah. Ia fokus melayani tamunya sambil membawa kantong kresek tersebut. "Pak Riyan, Neng Nisa, mari silakan masuk," ujar Bayu sambil mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang tamu. Kedua tamunya langsung ke ruang tamu sambil memandang ke rumah Bayu yang d
Cahaya surya mulai meredup berwarna orange. Hawa pinggiran kota yang panas berubah dingin. Polusi dari asap-asap pabrik yang sudah mengisi daerah tersebut memudar karena hawa sedikit sejuk. Namun, tidak sesejuk Bayu yang sedang ditimpa musibah. Bayu mengalami bahaya sedang diserang Suherman dan dua anak Suherman. Ia berusaha menangkis, mengeluarkan seluruh gaya silatnya yang ia pelajari saat sekolah dulu. "Rasakan ini!" "Awa, sakit!" Suherman rubuh ke aspal. Dua anak buah Suherman langsung menyerah Bayu ketika bosnya tersebut kewalahan. Satu lawan dua orang. Bayu tidak menyerah. Ia teringat dengan nasihat guru silatnya dulu. Barengi usahamu dengan doa. Pria itu berdoa agar dimenangkan dalam pertarungan membela diri tersebut. Tidak lama, tumbangkan kedua pria yang bergelar preman tersebut. Suherman berdiri. Mengusap hidungnya yang mimisan dan memberi kode pada kedua anak buahnya untuk berlari. Usahanya menghancurkan Bayu gagal. Ia lari tunggang langgang dan mencari motornya.
Mentari tepat di ubun-ubun. Di rumah Bayu kedatangan tamu tidak lain adalah kakaknya Aisyah, Fathur. Beliau ingin menyatakan sesuatu. Fathur menarik napas dalam-dalam agar tidak grogi. "Mas Bayu, sebenarnya adik saya itu diam-diam menyukai sampean. Kemarin, dia mengakui dan curhat sama aku. Malahan sukanya sejak SMP. Bagaimana menurut Mas Bayu. Bayu terkejut. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Sesuatu yang membuatnya bergetar hatinya. Ia diam tak mampu berkata-kata. Namun, beberapa menit kemudian, ia menjawab. "Saya terkejut Mas. Serasa ini tidak mungkin, Neng Aisyah menyukai saya. Saya itu duda yang sudah punya anak. Menurut saya ya, maksudnya bagaimana ini?" Bayu masih bingung dengan tujuan Fathur ke sini. Apakah hanya sekedar memberi tahu tentang perasaan Aisyah, atau ada hal lain yang ingin disampaikan. Fathur terkekeh sambil menikmati camilan yang disediakan oleh Bayu. "Jangan bingung, Bay. Kalau mau, menikahlah dengan adikku. Siapa tahu jodoh. Kalau berminat, hubungi s
"Dia bukan istri saya! Saya itu sudah bercerai,* ujar Bayu dengan jujur. Tukang bangunan tersebut tidak tahu jika Bayu duda. Tahunya Bayu sudah menikah dan punya anak. "Maaf, Mas. Kirain dia istrinya. Buat saya boleh?" tanya tukang bangunan itu yang ternyata masih muda. Selalu melirik ke arah Nurma. "Tanya saja sendiri sama orangnya. Saya tidak mau menjodohkan. Takutnya salah. Sudah ya, dari tadi menyindir terus. Nur, nih ada yang mau kenalan denganmu," ujar Bayu sambil menunjuk ke arah temannya. "Saya nggak suka sama Mas tukang. Sukanya sama Mas Bayu," ungkap Nurma pada Bayu. "Jangan begitu. Saya masih punya fokus pada Nilam. Belum bisa bicara soal cinta," jawab Bayu dengan tegas. "Cie, ada yang lagi cinlok ini. Gas pol Mas Bayu. Jangan dibuang, sayang," sahut Pak Tukang yang sedang beristirahat di teras sambil meminum kopi dan makan jajanan pasar buatan Bayu. "Ada-ada kalian ini. Disambut yuk makanannya!" "Siap! Mas Bayu, saya salut dengan model sangkar burungnya. Kapan-kapan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments