"Kau milikku, Candice," kata seorang pria yang wajahnya tak begitu jelas.
"Siapa kau?" tanyaku sambil berusaha menajamkan penglihatanku. "Kau melupakanku, hm? Setelah apa yang kau lakukan padaku di kamarku?" tanya pria itu dengan nada menggoda. Kamar? "Aku bisa menghentikan rasa laparmu itu, Sayang. Karena aku juga merasakan hal yang sama," kata pria itu lagi. Oh, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Astaga! Tidak Mungkin! Dia...dia adalah... "Hayden," gumamku tak percaya. "Ya, Sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti waktu itu," jawabnya lalu tersenyum lebar. "Jangan," gumamku saat dia mulai mendekatiku. Hentikan! Jangan lakukan itu! Tapi aku merasa tidak sanggup untuk menolak sensasi yang menyenangkan dan luar biasa ini. "Kau adalah ratuku. Tak akan kubiarkan siapapun memilikimu," ucapnya dengan nada yang terdengar begitu mendominasi.*** "Hah!" Aku tersentak dan langsung membuka mata. "Candice, kau tak apa-apa?" tanya seorang wanita yang terdengar familiar di telingaku. Aku menoleh dan mendapati Sharon yang sedang berbaring di samping kananku. Entahlah, apakah aku baik-baik saja? Tapi mimpi tadi terasa begitu nyata. Rasanya, rasanya bagian bawah tubuhku... Tidak mungkin! Tanpa sadar aku berlari ke kamar mandi secepat yang aku bisa. Tubuhku sudah bugar sepenuhnya. Tak ada lagi rasa lapar seperti sebelumnya yang begitu menyiksa. Aku menatap cermin dan terkesiap saat mendapati wajahku terlihat berbeda. Kulitku nampak bersinar dan rambut hitamku berkilau. Oh, tidak. Ini terlalu mencolok. Apa yang terjadi padaku? Dan itu...tunggu, tanda apa itu di dada kiriku? Seperti tato sepasang sayap dan pedang dengan posisi vertikal di tengah-tengahnya yang berada tepat di atas jantungku. Apakah ini yang menyebabkan rasa sakit yang luar biasa itu? "Candice?" panggil Sharon dari luar kamar mandi. Cepat-cepat aku melepaskan pakaianku dan melangkah ke bilik shower. Guyuran air hangat merilekskan tubuhku dan menenangkan pikiranku. Aroma lavender dari sabun dan shampo semakin membuatku merasa nyaman. Setelah membilas tubuh dan rambutku, aku keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Kudapati Sharon yang tengah menatapku aneh. "Kau terlihat...berbeda," gumamnya sambil mengamati seluruh tubuhku. Aku merasa risih dipandangi seperti itu, jadi kuputuskan untuk menuju ke lemari besar di dekat ranjang dan melihat-lihat pakaian yang tertata rapi di sana. "Hari ini kau ikut denganku ke kantor," ujarnya. Aku menoleh sekilas padanya, lalu kembali fokus pada tumpukan pakaian yang membuatku bingung. Di dunia dacros, tidak ada yang namanya celana pendek atau t-shirt seperti yang kupakai kemarin. Pakaian yang dipakai wanita adalah gaun tanpa lengan yang panjangnya selutut dan terbuat dari kain sutra.Sedangkan untuk keluarga kerajaan, gaunnya panjang sampai di bawah mata kaki dengan lengan panjang sampai di bawah pergelangan tangan, yang berarti menandakan bahwa wanita itu terhormat dan berkelas tinggi. Sebenarnya aku merasa sangat risih jika setiap hari harus mengenakan gaun panjang, karena itu menghambat pergerakanku yang tidak suka berdiam diri. Tapi di dunia manusia, kenapa pakaiannya justru banyak yang terbuka? Kutebak karena gaya hidup atau cuaca yang begitu panas. Di duniaku tidak pernah sepanas ini. "Aku harus memakai pakaian yang mana?" Aku menoleh ke arah Sharon yang sudah memakai pakaian yang terlihat tebal dan kaku. "Pakailah ini. Beberapa manusia berpakaian seperti ini saat bekerja," jawabnya sambil mengambil tiga potong pakaian lalu menyerahkannya padaku. Aku mengambil bra dan celana dalam, lalu menyambar pakaian itu dan melesat menuju ke kamar mandi. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit dan aku sudah selesai memakai semua itu. Aku menatap bayanganku di cermin. Oh, tidak! "Sharon, bisakah kau membuatku terlihat biasa-biasa saja?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya. Sharon memiringkan kepalanya tampak berpikir. "Kau masih terlihat mencolok meskipun mengenakan pakaian formal seperti itu. Huh, aku sungguh iri." "Sharon, kau tidak ingin sara...pan?" Aku menoleh ke arah pintu dan mendapati Ashton yang tengah mematung seraya mengamatiku. Aku tersenyum padanya, namun tubuhnya langsung menegang dan sebelum aku sempat berkedip, dia sudah menghilang. Kenapa dia? "Dasar! Baru kali ini dia jatuh cinta. Sayang sekali pada wanita yang salah," gumam Sharon sambil menggiringku ke depan meja rias di samping nakas. "Jatuh cinta pada siapa?" tanyaku penasaran. "Bukan siapa-siapa. Candice, aku penasaran kenapa baumu seperti manusia?" tanya Sharon sambil melakukan sesuatu pada rambutku. "Wow, rambutmu memiliki highlight merah marun. Seingatku kemarin hanya berwarna hitam. Apakah semua dacros seperti itu? Menyenangkan sekali jika bisa mengganti warna rambut dan mata setiap saat." "Hei, aku sendiri tidak tahu kenapa rambutku tiba-tiba memiliki highlight," jawabku sambil ikut mengamati warna rambutku. "Jawab dulu pertanyaanku yang tadi," desak Sharon mengingatkanku. "Oh, aku memakai sesuatu yang membuatku bisa menyamar. Yah, seperti menghilangkan jejak," ucapku seraya mengamati kalung di leherku dari balik cermin. Kalung milik Raja Black Dacros memang terkenal sakti. Itu bisa membuat sang raja mengubah baunya menjadi seperti makhluk apapun yang dia inginkan. Entahlah, kenapa dia bisa memiliki benda seperti ini? Apa yang tersimpan di dalamnya sehingga bisa membuat pemiliknya menyamarkan atau mengubah bau tubuhnya? "Oh, ya? Apa itu?" tanya Sharon penasaran. Aku mengeluarkan kalung dengan liontin sebuah pedang kecil yang memiliki hiasan batu permata berwarna emerald. Kalung itu terlihat bersinar jika dilihat oleh makhluk supernatural seperti kami. "Indah sekali," gumam Sharon dengan mata berbinar. "Um, sebenarnya ini sangat rahasia. Aku harus menyembunyikannya agar tidak diketahui oleh makhluk lain. Bisakah kau menjaga rahasiaku?" pintaku. "Tentu saja. Aku tak ingin terjadi sesuatu padamu. Nah, sekarang sudah selesai. Ayo kita sarapan!" ajaknya dengan antusias sambil menarik tanganku untuk keluar dari kamar. "Darimana kau mendapatkan darah-darah itu? Kemarin aku melihat ada berbotol-botol darah di lemari es," tanyaku penasaran. "Ashton yang mendapatkannya. Dia memburu binatang karena tidak ingin meminum darah manusia. Kemarin aku benar-benar kelaparan, jadi aku memutuskan untuk berburu sendiri di hutan. Ternyata aku malah menemukanmu tergeletak begitu saja di atas rumput dengan bau yang menggiurkan," jawabnya dan meringis begitu menatapku. Kami sudah sampai di ruang makan dan hanya tersedia sandwich di atas meja. "Ak-aku tidak tahu apa seleramu, jadi aku menuangkan darah di gelasmu. Aku pikir setelah melihatmu meminum darah kemarin, kau juga meminum darah seperti kami," ujar Ashton dengan gugup. Wajahnya terlihat begitu tegang. Ada apa dengannya? Dia bahkan tidak berani memandangku secara terang-terangan seperti kemarin. Aku mengerutkan kening sambil mengamati perubahan raut wajahnya. "Ashton, kau terlihat gugup sekali. Bersikaplah biasa saja di depannya," bisik Sharon dengan sangat pelan, namun aku masih bisa mendengarnya. Tiba-tiba terbersit ide jahil di kepalaku yang membuatku menyunggingkan seringai. Aku mendekati Ashton dengan perlahan lalu duduk di sampingnya dan menghadapnya. "Jadi, kau memperhatikanku, hm?" tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ashton melengos. Tangannya menggenggam gelas di depannya dengan erat. Geraman rendah lolos dari tenggorokannya yang sempat terdengar di telingaku. "Kenapa kau menghindariku? Apa aku sejelek itu?" tanyaku dengan wajah sedih. "Tidak! Kau sangat cantik! Kau sungguh mempeso...." Ashton membelalak dan buru-buru berlari dengan kecepatan vampir meninggalkan kami. Sharon yang sejak tadi memperhatikan kami malah tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Baru kali ini pria bodoh itu gelagapan di depan seorang gadis. Biasanya dia selalu bersikap sok angkuh dan dingin." Aku tersenyum puas kemudian melahap sandwich di hadapanku. Hm, rasanya enak juga. Aku tidak menyesal telah melarikan diri ke dunia manusia, meskipun rasanya sangat melelahkan saat melintasi dua dunia yang berbeda. Sejak kemarin aku telah menikmati makanan-makanan baru yang terasa lezat dan menggoda selera. "Jadi, siapa sebenarnya Ashton itu?" "Dia adalah sepupuku. Dia juga sama sepertiku, tidak suka berperang. Kami lebih suka kehidupan yang damai, aman, dan tentram. Untuk itulah kami melarikan diri ke dunia manusia selama seratus tahun." "Seratus tahun? Memangnya berapa umur kalian?" tanyaku kaget. "Aku berusia 150 tahun, sedangkan Ashton berusia 160 tahun. Kami merasa nyaman tinggal di sini karena manusia tidak pernah mengusik kami. Itulah sebabnya kami memilih untuk tinggal di kota. Tak akan ada yang peduli pada kami di sini, meskipun masih ada beberapa manusia yang menyempatkan diri untuk beramah tamah menyapa kami atau memberikan sesuatu pada kami. Aku sangat menghargai apa yang mereka lakukan," jawabnya, lalu meneguk darah dari gelas berkaki. Hmm, sama seperti dacros kalau begitu. Umurku sudah 130 tahun. Jika di dunia manusia, wajahku masih terlihat seperti gadis yang berusia sekitar 20 tahun. Wajah kami tak akan pernah menua dan semua dacros memiliki wajah seperti berusia 25 tahun di dunia manusia setelah mencapai usia 200 tahun. "Sharon, kau punya susu? Aku sedang tidak berminat untuk meminum darah," tanyaku sambil menjauhkan segelas darah dari hadapanku. Sharon mengangguk. Dia bangkit untuk mengambilkanku sekotak susu dari kulkas lantas memberikannya padaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya dengan tulus sambil tersenyum. Bagaimanapun juga, berterima kasih pada siapapun yang telah menolong kami adalah suatu keharusan bagi semua dacros, tak peduli seburuk apapun sifat maupun perilaku si penolong. Itu sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis di dunia kami. "Jadi, sebenarnya minuman dacros itu apa? Kau pernah bilang bahwa kalian menyukai air yang berisi bunga, tapi kau juga meminum darah dan susu. Aku masih bingung dengan semua itu," tanya Sharon dengan tatapan penasaran. Aku meneguk sedikit susu lalu mengusap bibirku dengan tisu yang sudah disediakan di atas meja. "Di dunia kami ada dua ras. Ras White Dacros sangat menyukai susu, sedangkan ras Black Dacros sangat menyukai darah. Tapi keduanya sama-sama menyukai air yang berisi berbagai macam bunga," jawabku sebelum kembali melanjutkan makanku. "Tapi...kau meminum darah dan susu. Kenapa....oh, jangan bilang bahwa kau adalah..." Ucapan Sharon terhenti. "Yup, kau benar sekali. Aku adalah dacros berdarah campuran. Dan aku..." Aku mendongak untuk melihat Sharon yang langsung menegang. "Aku menjadi buronan, karena aku sangat berbahaya," lanjutku dengan hati-hati. Wajah Sharon serta-merta memucat. Dia melihatku dengan ekspresi ketakutan. "Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu. Kau adalah temanku, jadi kau aman berada di dekatku," kataku cepat-cepat, berusaha menenangkannya. Sharon langsung menghela nafas lega. "Kurasa aku harus menyuruh Ashton untuk mengambil buku-buku sejarah kuno di perpustakaan kerajaan. Aku sangat penasaran dengan dunia dacros setelah mendengar ceritamu tadi. Aku kira kalian hanyalah mitos belaka, karena selama ini kami sama sekali belum pernah bertemu dengan kalian." Aku hanya tersenyum menanggapinya. Kuharap Sharon dan Ashton tidak akan berubah memusuhiku atau menjauhiku setelah tahu lebih jauh mengenai dacros."Xyan Uzair," kataku ketika bayi laki-laki yang sangat tampan dan lucu itu kini tengah diserahkan oleh ibu mertuaku untuk kususui. Aku menatap bayi yang baru kulahirkan satu jam yang lalu itu dengan hati berbunga-bunga. Kedua matanya mengerjap lucu ketika melihatku. Tiba-tiba dia tertawa, membuat Dessidra dan Ester langsung mendesah dengan wajah gemas. "Kenapa kau menamai dia dengan nama itu, sayang?" tanya Hayden sambil membelai rambutku. Dia mencium keningku lalu kening Xyan, membuat bayi kecilku semakin tertawa riang. "Ah, aku jadi iri. Kapan aku bisa membuat yang seperti itu juga?" tanya Ester dengan kedua sudut bibir menekuk ke bawah, lalu melirik suaminya yang hanya memasang wajah datar meskipun kedua matanya tak lepas dari Xyan. "Xyan artinya sinar matahari. Kau tahu, dulu aku pernah bertemu dengannya di alam mimpiku ketika aku bersama dengan Zam. Waktu itu Zam menyuruhku untuk memakan banyak tanaman Arconium, dan Xyan versi balita datang membawakan semangkuk madu untukku.
Hayden POV Aku buru-buru mendatangi Candice yang tiba-tiba menangis di depan batu hitam itu. Sebenarnya hal yang sudah biasa terjadi, karena banyak manusia yang juga tiba-tiba menangis dan bertingkah aneh di sekitar Ka'bah. Aku kemarin bahkan melihat seorang pria muda yang berteriak-teriak seperti orang gila sambil melihat kesana kemari, seolah-olah dia mendadak lupa sedang berada dimana. Dia juga berteriak tidak bisa melihat Ka'bah, padahal Ka'bah berada tepat di hadapannya. Hassa menjelaskan padaku bahwa manusia itu memiliki niat yang tidak murni ketika datang ke tempat ini. Uang yang dia gunakan juga didapatkan dari jalan yang dilaknat oleh Tuhan, sehingga ketika datang kesini, Tuhan membuatnya tidak bisa melihat Ka'bah yang merupakan rumah-Nya. Ternyata semua dosa yang pernah dilakukan oleh manusia dan jin di masa lalu atau yang sedang berlangsung, akan langsung mendapatkan balasannya ketika berada di tempat ini. Tidak ada yang lolos dari tempat ini, untuk itulah disebut dengan
Dua bulan berlalu setelah aku bertemu dengan Hassa di pusat bumi, dan aku memutuskan untuk tinggal di rumah pria itu yang ternyata tak jauh dari lokasi pusat bumi berada. Hayden setuju saja dengan keputusanku, karena dia sendiri merasa penasaran. Hassa tinggal bersama istrinya, sedang dua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di daerah lain. Umur Hassa sudah ribuan tahun, mungkin dua ribu lebih. Dia menjadi saksi hidup ketika utusan terakhir diutus ke bumi untuk menyampaikan agama bagi seluruh umat. "Kalian luar biasa. Baru dua bulan sudah mengerti hampir seluruh ajaran agama kami. Bukan hal yang mudah bagi siapapun untuk menerima ajaran kami. Bahkan manusia pun banyak yang menyangkalnya," ucap Hassa ketika kami baru saja menyelesaikan materi tentang hidup bertetangga. "Hayden dulunya adalah seorang raja, sedangkan aku..." Aku mengedikkan bahu. "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku memang penasaran dengan segala hal yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Apalagi sejak melihat pusat bumi
"Pusat bumi...pusat bumi... Apa ini tempatnya?" tanyaku setelah mendarat di daratan berwarna serba putih dan terasa sangat dingin. Untungnya aku tidak terlalu merasakan hawa di bumi, karena tubuhku tidak sesolid tubuh manusia. "Kau yakin ini tempatnya?" tanya Hayden balik dengan kening berkerut. Ia terlihat sama sekali tidak yakin dengan tempat yang kami pijaki sekarang. Di sepanjang mata melihat, hanya ada warna putih yang berasal dari butiran salju yang menutupi tanah. "Hmm, aku tidak tahu. Tadi kau lihat sendiri tempat ini berada di tengah-tengah bumi," jawabku. Hayden mengedarkan pandangannya sekali lagi, lalu menggeleng. "Tidak ada kekuatan di sini. Bahkan anak buah Azazil saja tidak ada di sini. Sepertinya bukan tempat ini."Aku kembali memeluknya dan melesat ke atas. Pusat bumi itu yang bagaimana? Di tengah-tengah? Atau poros bumi? "Apa aku menembus bumi saja, ya? Siapa tahu di sana ada batu hitam," gumamku sambil mencari lokasi mana yang bisa kutembus dengan mudah. "Biar
"Aku tetap tidak setuju dengan kebijakan kakek. Kita harus lebih memikirkan apa dampak yang akan terjadi di masa depan."Aku menguap setelah hampir 2 jam menunggu Hayden dan kakek Dante yang masih saja belum selesai membahas soal kebijakan baru yang dibuat oleh kakek Dante. Aku sudah mendengar apa yang mereka bicarakan meskipun aku sedang berada di taman kerajaan, tapi lama-lama aku bosan dan mengantuk. Mereka ini kenapa ribet sekali, sih? Padahal aku sendiri sudah bisa memilih kebijakan mana yang lebih aman untuk rakyat. Tapi dua pria itu masih tetap kukuh dengan pendapat masing-masing. "Masih lama, ya?" tanyaku pada Dessidra yang ikut duduk di sampingku. Sejak kakek Dante mengambil alih kerajaan dan status Aiden diturunkan kembali menjadi Pangeran, Dessidra terlihat jauh lebih santai dan bahagia. Dia tidak lagi terlihat tertekan seperti dulu. Apalagi hubungannya dengan Aiden semakin lengket. Aku bahkan harus menyumpal telingaku ketika mereka mulai berisik. Ck, aku harus protes pa
Hayden POV Sejak meninggalkan ruang bawah tanah, Candice terlihat dingin. Auranya membuat siapapun yang melewatinya menjauh dengan wajah ketakutan. Tentu saja mereka ketakutan, karena istriku masih memegang pedang emasnya seolah-olah dia akan menebas siapapun yang menghalangi jalannya. Semua pelayan yang melihatnya langsung berlari ketakutan dan berteriak, membuat beberapa ksatria langsung berlarian ke arah kami. Namun mereka langsung berhenti ketika melihat kondisi istriku, apalagi kedua sayapnya keluar. "Ada apa ini?" tanya Hexadius dengan wajah panik. Aku meringis melihat semua kekacauan ini. Siapa suruh mencari gara-gara dengan wanita hamil? Apalagi dia adalah pejuang tangguh yang bahkan diberikan kekuatan spesial oleh tangan kanan Gabriel. Aku juga tidak akan kaget jika dia bisa menghancurkan istana ini hanya dengan sekali ayunan pedangnya tanpa menyentuh. "Galeo membuatnya marah," jawabku sambil meraih tubuh istriku dan memeluknya dengan erat. "Lebih baik kau lihat dia di