Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Pedagang Arak Yang Misterius

Share

Pedagang Arak Yang Misterius

Author: Aspasya
last update Huling Na-update: 2024-08-09 16:22:27

"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan.

"Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui.

"Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.

Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.

Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu rendah.

"Besok kita harus membeli guci-guci baru." Ren Hui berkata pelan seraya membuka tutup salah satu guci yang berada di dekat pintu.

"Harum," gumam Song Mingyu seraya mengendus-enduskan hidungnya. Aroma arak yang khas menguar dari guci yang dibuka Ren Hui.

"Ini arak buah plum." Ren Hui menjelaskan dan mengambil sebuah guci yang lebih kecil yang disimpan di rak bagian atas.

"Aku tidak memiliki cukup banyak persediaan guci karena rumahku ini tidak bisa untuk menyimpan terlalu barang." Ren Hui kembali berbicara dengan santai. Dia menuangkan sedikit arak dari guci tadi ke dalam guci yang lebih kecil.

"Maafkan aku telah memecahkan guci dan menumpahkan arak-arakmu tadi." Song Mingyu merasa sedikit menyesal atas perbuatannya tadi pagi di pasar.

"Untuk apa meminta maaf. Kau akan membayarnya bukan?" Ren Hui terkekeh pelan. Kemudian menutup guci arak tadi dan turun ke tanah.

"Aiyo," keluh Song Mingyu. Menyesali rasa ibanya pada pedagang arak itu barusan. Rasanya terlalu sia-sia jika harus mengasihani Ren Hui yang menurutnya selalu bisa mengambil keuntungan di setiap kesempatan.

"Ayo kita jalan-jalan ke sana." Ren Hui menunjuk ke arah sungai setelah menutup dan mengunci gudang arak.

Dia mengajak Song Mingyu berjalan-jalan di tepi sungai, diikuti oleh Baihua. Mereka menuju ke tempat kuda-kuda ditambatkan pada sebatang pohon plum tua.

"Apakah kuda-kuda ini yang menarik rumah berodamu itu?" Song Mingyu bertanya seraya membelai kepala salah seekor kuda. Kuda itu mendengus, tetapi diam saja dan tidak memberontak.

"Iya. Mereka kuda dari Utara yang sangat kuat. Terkadang ada satu dua petani yang meminjam kuda-kuda ini untuk menarik pedati atau kereta ke pasar atau ke kota terdekat." Ren Hui menjelaskan.

Setelah memastikan kuda-kudanya baik-baik saja, Ren Hui mengajak Song Mingyu pergi ke tepi sungai.

Ternyata, Ren Hui mengambil perangkap ikan yang dipasangnya tadi pagi sebelum pergi ke pasar.

"Untuk makan malam kita. Kau lebih suka ikan bakar atau ikan kukus?" tanyanya seraya menunjuk pada empat ekor ikan yang lumayan besar.

"Ikan kukus, yang dibumbui bawang putih, jahe, daun bawang dan minyak wijen," sahut Song Mingyu cepat. Tiba-tiba saja air liurnya hampir menetes. Sudah lama dia tidak makan makanan yang layak seperti halnya saat masih berada di manor.

"Kau pikir dirimu tuan muda. Saat ini kau hanya pelayanku. Ingat itu." Ren Hui memukul kepalanya pelan. Song Mingyu mengaduh kemudian tertawa. Dia berlari menyusul Ren Hui yang telah berjalan kembali ke rumah beroda mendahuluinya bersama Baihua.

Song Mingyu memperhatikan mereka berdua. Diam-diam, dia mencoba untuk memahami Ren Hui yang menurutnya sungguh aneh. Pedagang arak itu tidak seperti orang-orang desa umumnya. Meski sederhana dan selintas kehidupannya juga biasa-biasa saja, tetapi Song Mingyu merasakan sesuatu yang misterius di dalam diri Ren Hui.

Malam harinya, Sinar rembulan memancar lembut di tengah padang rumput yang sepi. Ren Hui dan Song Mingyu duduk bersama, menikmati makanan dan arak di luar. Di atas bonggol kayu tua yang berbentuk bulat dan sudah diratakan, sepiring ikan kukus, mi, sup Wonton dan sekendi arak menemani mereka.

"Kenapa kau melarikan diri rumahmu?" Ren Hui bertanya dengan santai.

"Ayahku ingin aku menikahi seorang jenderal wanita," sahutnya pelan. "Dia berpikir itu akan menguntungkan keluarga kita."

Ren Hui berhenti mengunyah dan menatap pemuda itu dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba saja dia tertawa pelan.

"Apa yang kau tertawakan?" Song Mingyu setengah berteriak kesal.

"Jenderal wanita?" Ren Hui bertanya dan tersenyum tipis.

"Iya. Jenderal Miu Yue," sahut Song Mingyu sambil lalu saja. Dia tidak terlalu peduli dengan rencana pernikahan yang sudah ditetapkan sang ayah untuknya.

"Miu Yue?" Ren Hui bergumam pelan. Dia meletakkan mangkok dan supitnya di atas meja kayu.

"Iya, dia jenderal wanita yang memimpin perang ke perbatasan menggantikan ayahnya. Dia sudah melewati masanya untuk menikah karena itu atas jasa-jasanya pada kekaisaran, Ibu Suri menghadiahinya dengan pernikahan dan beliau memilih Manor Song untuk menikahkan salah satu putranya." Song Mingyu menjelaskan lebih terperinci.

"Kenapa kau menolaknya? Bukankah cukup menguntungkan jika kau menikahinya? Setidaknya masa depanmu lebih terjamin." Ren Hui merasa heran dengan sikap Song Mingyu yang memilih melarikan diri dari pernikahan.

"Aku lebih suka hidup bebas, menjelajahi dunia luar, daripada terikat dalam pernikahan yang hanya untuk kepentingan politik." Song Mingyu menjawab dengan lugas.

Ren Hui tertawa, matanya berkilau di bawah cahaya rembulan. "Wanita, cinta, dan pernikahan adalah hal terumit yang tidak pernah aku mengerti," katanya dengan nada lembut.

Song Mingyu mengangguk, memahami bahwa Ren Hui yang hidup sendiri mungkin memiliki pandangan yang sama tentang pernikahan. "Kau benar," ujarnya.

Namun, rasa ingin tahu Song Mingyu tak terbendung. "Bagaimana dengan dirimu?" Dia bertanya setelah menghabiskan nasinya

"Aku hanya seorang pedagang arak yang menjalani hidup dengan cara yang aku pilih." Ren Hui menatap ke kejauhan, wajahnya penuh misteri. "Ayo kita bereskan semua ini dan beristirahat." Ren Hui berdiri dan menepuk bahunya, mengajaknya kembali ke rumah beroda untuk beristirahat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status