Ren Hui sibuk mengaduk kuali di atas tungku. Dia memasak saus yang aroma lezatnya menguar, tercium hingga ke seluruh rumah beroda itu. Sedangkan daging dan iga babi tadi tengah dipanggangnya.
"Kau bisa membersihkan rumah bukan?" tanyanya pada Song Mingyu. Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih terpesona dengan rumah milik Ren Hui yang menurutnya unik dan aneh. "Bersihkan semuanya, setelah itu kita makan bersama." Ren Hui mengibaskan tangannya. "Baihua, tunggu sebentar lagi. Tulang iga ini belum matang benar," lanjutnya pada sang rubah putih yang duduk di pintu dapur. Song Mingyu dengan enggan melaksanakan perintah Ren Hui. Dia mengambil kain yang tersampir di sandaran kursi. Untuk sesaat dia berdiri canggung di tengah ruangan. Memperhatikan isi rumah beroda itu. Rumah itu dapat dikatakan tanpa sekat, semua menyatu dalam satu selasar. Di ujung dekat tangga ada dapur kecil. Di ujung lain sepertinya difungsikan sebagai ruang belajar, menilik adanya sebuah lemari kayu di salah satu dindingnya dan berisi banyak buku. Kemudian ada tempat tidur sederhana dan juga kursi panjang beralas kasur dan bantal-bantal. Sederhana tetapi rapi dan bersih. "Rupanya dia pria yang apik," gumamnya seraya mulai mengelap debu dari meja dan menggeser kursi kayu yang berderit. Ini adalah pekerjaan rumah pertamanya, seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan pelayan. Dia adalah Tuan Muda Song Mingyu, putra pertama Keluarga Song yang terkenal bahkan hingga ibukota. "Kenapa aku harus melakukan ini?" gumam Song Mingyu, hampir saja memecahkan sebuah vas bunga saat membersihkan rak. Barang-barang di rumah beroda itu tampak rapuh dan berharga. Ren Hui, yang sedang sibuk memasak, menoleh dengan wajah kesal. "Song Mingyu!" tegurnya dengan tegas. "Berhati-hatilah! Tidak perlu terburu-buru dan lakukanlah dengan senang hati." Seulas senyum jahil muncul di sudut bibir pria tampan itu. Atau mungkin lebih tepat dikatakan cantik, setidaknya itu menurut Song Mingyu. "Iya iya," sahutnya setengah menggerutu. Dia melanjutkan pekerjaannya. Sesekali melirik Ren Hui yang tengah sibuk membolak-balik daging babi panggangnya. Aromanya sungguh menggoda menggugah selera. Barulah dia menyadari sedari pagi perutnya belum terisi apapun. "Bukankah lebih baik kau kembali ke Manor Song dan meminta uang pada ayahmu? Kau tak perlu menjadi pelayanku." Ren Hui tiba-tiba saja berkata padanya dengan nada biasa saja. Song Mingyu menelan ludah. Ucapan Ren Hui sepenuhnya benar, tetapi bertentangan dengan gejolak dan keinginan hatinya. "Aku tidak akan kembali ke Manor," sahutnya dengan tegas. "Oh ya?" Ren Hui membawa piring berisi daging dan iga panggang yang telah matang, kemudian meletakkannya di atas meja yang tengah dibersihkan Song Mingyu. "Bagaimana kau akan bertahan hidup di luar sana jika hal-hal kecil seperti ini pun kau tak mampu melakukannya?" Diraihnya kain lap di tangan Song Mingyu. Dengan cekatan pria itu membersihkan meja kemudian meletakkan piring, mangkok dan cangkir. Kemudian disusul piring berisi masakan lainnya. Dia bekerja pelan, hati-hati tetapi efisien. Meski tidak secekatan dan seapik para pelayan di Manor Keluarga Song. "Apakah semua itu diperlukan?" Song Mingyu bertanya padanya, duduk di kursi, bertopang dagu pada meja menatap makanan di atas meja dengan tatapan penuh selera. "Tergantung bagaimana dirimu akan menjalani hidup di dunia luar yang luas dan bebas," sahut Ren Hui. Pria itu kini memberikan semangkok penuh daging dan tulang iga yang sudah direbus pada Baihua. Rubah putih itu pun segera menyantap makanannya. Sepertinya dia jinak terhadap Ren Hui. Sedari tadi dia menunggu dengan sabar makanannya hingga benar-benar matang. Binatang itu sama sekali tidak mengganggu. "Ayo kita makan!" Ren Hui duduk di depan Song Mingyu setelah mencuci tangannya. Di atas meja kayu sederhana itu kini terhidang daging dan iga babi panggang dengan saus plum, tumis sayuran hijau, nasi dan juga teh. Aroma harum dari hidangan yang disajikan membuat perut Song Mingyu berdentang. Ren Hui tersenyum. "Makanlah!" Dia mengambil sepotong daging babi panggang saus plum dan meletakkannya di atas mangkok nasi Song Mingyu. Pemuda itu menganggukkan kepalanya kemudian mulai menyantap makanannya. Dia makan dengan lahap. Selain karena lapar, dia juga merasa masakan Ren Hui sungguh lezat. "Pelan-pelan, tidak akan ada yang merebut makananmu." Ren Hui menegurnya saat melihat Song Mingyu hampir saja tersedak. Dengan cekatan dia menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikannya pada Song Mingyu. Pemuda itu segera meneguk tehnya. "Ini sungguh enak," pujinya dengan tulus setelah menghabiskan tehnya dalam sekali teguk. "Membutuhkan waktu lama bagiku untuk bisa memasak seenak ini," sahut Ren Hui lebih mirip sebuah gumaman. "Dan sebenarnya aku juga jarang masak daging, ini hari keberuntunganmu." Pria itu tersenyum menatap Song Mingyu yang sepertinya menyantap hasil masakannya dengan nikmat. Ren Hui mengambil tumis sayuran dan sepotong daging panggang kemudian menyantapnya dengan nasi dalam diam. Entah mengapa dia teringat kembali akan masa-masa beberapa tahun silam saat mengawali perjalanan panjangnya, meninggalkan dan melupakan masa lalunya. Mungkin saat itu dia seusia Song Mingyu. Muda dan energik serta dipenuhi ambisi. Sayangnya karena sesuatu hal yang di luar kehendaknya, semua itu musnah dalam sekejap. Sepuluh tahun berlalu, dan kini yang tersisa hanyalah dirinya, Ren Hui sang pedagang arak. Miskin, sakit-sakitan, hidup seorang diri dan terkadang para wanita menyebutnya bujangan lapuk tak laku. Situasi yang dahulu tak pernah ada dalam angannya meski hanya selintas saja.Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga
Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija
Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi
Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel
Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h
Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai