Share

Menuju Mata Air

Author: Deschya.77
last update Last Updated: 2024-10-15 07:01:53

Hah?

Bingwen terbelalak mendengar tawaran yang sangat tidak diduganya. Tanpa menjawab pun semua orang pasti bisa mengetahui jawabannya hanya dengan melihat ekspresinya saat ini.

“Apa aku tidak salah dengar?!” tanya Bingwen dengan senyuman yang mengembang memperlihatkan deretan giginya.

Kakek Guozhi menganggukan kepala sebagai jawaban. Bingwen langsung berdiri dari posisinya, kemudian bersimpuh dihadapan kakek Guozhi.

“Saya akan bersumpah setia sebagai murid! Saya juga berjanji akan menggunakan kemampuan yang akan saya pelajari nanti, dalam hal kebaikan dan menghindari keburukan!” ucap Bingwen menggunakan bahasa sumpah setia murid dari akademinya.

Kakek Guozhi yang baru mendengar hal itu, tampak terkejut dan salah tingkah. Tidak pernah ada di bayangannya, seorang Pangeran akan bersimpuh di hadapannya seperti itu.

Kakek Guozhi langsung meminta Bingwen untuk segera berdiri, dan memintanya kembali duduk di sebelahnya. Terlihat jelas kegugupan yang diperlihatkan sang kakek, karena Bingwen merupakan murid pertamanya dan bahkan orang pertama yang bisa dirinya ajak komunikasi setelah puluhan tahun berada di gunung Xian itu.

“Lalu, apa yang harus saya pelajari, Guru?” tanya Bingwen yang sudah tidak sabar ingin mempelajari ilmu milik Kakek Guozhi.

Kakek Guozhi tampak berpikir sejenak. Dia belum pernah memiliki pengalaman mengajar seseorang, jadi dia tampak bingung apa yang harus dia ajarkan untuk pertama kali.

“Aku baru ingat sesuatu! Sebelumnya bukankah ada yang kau lupakan?” ucap Kakek Guozhi sambil menaikkan alis putihnya.

Sang Kakek langsung menarik tangan Bingwen, yang tampaknya tidak paham dengan maksud ucapannya. Bingwen dibawa menuju ke dalam pondok, dan saat pintu pondok terbuka bau anyir darah ditambah racun yang busuk bercampur menjadi satu.

Bahkan, saat Bingwen pertama menciumnya lagi setelah keluar dari dalam pondok kemarin, dia hampir memuntahkan isi perutnya yang masih kosong. Namun, dirinya langsung menyadari ucapan sang guru tadi, yang berarti dirinya harus membersihkan semua darah yang ada di dalam pondok itu seorang diri.

“Pertama-tama bersihkan itu sampai bersih!” perintah Kakek Guozhi sambil menyeringai, namun tertutupi oleh jenggot putihnya.

Bingwen membatu di tempat, dirinya bahkan tidak tahan dengan baunya saat pintu terbuka. Namun, dirinya harus membersihkan genangan darah itu seorang diri.

“Oh iya! Aku lupa bilang, air yang aku bawa tadi hanya cukup untuk makan, minum dan membersihkan diri. Jadi, jika kau butuh air untuk membersihkan itu, maka kau harus pergi ke mata air di arah timur untuk mendapatkannya!” tambah Kakek Guozhi mengingatkan, yang membuat Bingwen semakin tidak percaya dengan apa yang dihadapinya.

Bingwen yang pada akhirnya mencoba melakukan apa yang diperintahkan sang guru, mencoba untuk mengambil beberapa tempat air yang dikaitkan pada sebuah tongkat.

Saat akan mengangkatnya, dirinya hampir terjatuh karena tubuh Bingwen yang tidak seimbang berkat beban yang dipikulnya.

Dirinya sama sekali tidak menyangka, jika beberapa tempat air itu sudah sangat berat walau belum terisi air.

Dan saat perjalanan menuju mata air, dirinya kembali dikejutkan dengan medan yang harus dilewatinya.

“Bagaimana bisa untuk mendapatkan air saja, aku harus melakukan hal ini!” teriak Bingwen kesal, sambil berjalan tertatih menuruni jalan terjal yang penuh bebatuan.

“Kenapa kau lama sekali?! Apa kau tidak ingin segera makan?!” teriak Kakek Guozhi, yang sudah berjalan lebih dulu di depan untuk menunjukkan tempat mata air berada.

“Bagaimana bisa saya berjalan cepat, jika jalannya terjal seperti ini! Apalagi bawaan saya sangatlah berat!” sungut Bingwen yang semakin kesal.

Butuh waktu berjam-jam hingga mereka akhirnya sampai di mata air yang dimaksud sang guru. Bingwen yang sudah sangat kelelahan, langsung menghampiri mata air itu dengan mata berbinar.

Dia langsung meminum air jernih dari mata air itu, untuk membasahi tenggorokannya yang sudah kering dan dia tahan selama di perjalanan. Sedangkan Kakek Guozhi yang melihatnya hanya tersenyum tipis, karena tingkah laku Bingwen yang seperti orang yang belum minum selama berhari-hari.

Seorang pangeran yang hidup serba ada, dan bahkan semua perlengkapan yang dibutuhkan selalu disiapkan oleh pelayan. Kini harus melakukan banyak hal, hanya untuk mendapatkan air.

Kakek Guozhi bisa membayangkan, bagaimana perasaan Bingwen saat ini. Namun, dia juga tidak berencana memberikan keistimewaan kepadanya, walaupun statusnya yang seorang pangeran.

Dirinya bisa menguasai seluruh elemen, juga berkat gemblengan hidup seorang diri di sebuah hutan yang penuh dengan monster ini. Dan alasan utama Kakek Guozhi menunjukkan jalan di arah timur pada Bingwen, adalah karena jalan inilah satu-satunya jalur teraman di gunung Xian.

“Cepat isi penuh semua wadahnya! Kita akan langsung kembali, agar bisa segera menyantap makanan!” perintah sang guru, sambil bersemedi di salah satu bebatuan untuk menunggu.

“Baik, Guru!” sahut Bingwen yang langsung mengisi setiap wadah yang dibawanya dengan air.

Dari sudut matanya, Bingwen mengamati cara bermeditasi Kakek Guozhi. Dia merasakan suatu hal yang berbeda, walaupun gerakan dan posisi yang digunakan masih sama dengan yang dia pelajari.

'Apa kira-kira yang berbeda dari semedi itu?’ tanya Bingwen dalam hati.

“Apa yang kau katakan barusan?!” teriak Kakek Guozhi yang membuat Bingwen terkejut.

“Ti–tidak, a–aku tidak mengatakan apa-apa, Guru!” jawab Bingwen dengan terbata, sambil menyeringai menutupi rasa terkejutnya.

Bingwen sangat yakin jika dirinya tadi bertanya dalam hati, tapi sang guru bisa langsung memberi respon seperti itu. Seakan Kakek Guozhi bisa membaca apa yang sedang Bingwen pikirkan, yang membuat Bingwen mulai merasa was-was.

Setelah beberapa saat, Bingwen telah mengisi penuh semua tempat air yang dibawanya. Namun, saat dia hendak mengangkat pikulannya, tubuhnya tidak berhasil mengangkat semua air itu. Bahkan, semua tempat air tidak ada yang bergerak dan terangkat sama sekali. Membuat Kakek Guozhi menghampirinya, dan membantu mengangkat pikulannya, dan meletakkannya di pundak Bingwen.

“Uuugghhh!” erang Bingwen yang sedang menahan beban di pundaknya dengan sekuat tenaga.

“Apa kau benar-benar tidak mampu menopangnya?!” tanya Kakek Guozhi dengan suara dalam, membuat Bingwen ragu untuk menjawab pertanyaannya.

“Sa–saya kuat, Guru!” jawab Bingwen terbata, sambil berusaha menahan beban itu sekuat tenaga.

“Bagus! Itu baru muridku!” sahut Kakek Guozhi menyeringai, sambil menepuk-nepuk pundak Bingwen yang semakin bergetar.

Kakek Guozhi berjalan lebih dahulu, meninggalkan Bingwen yang berjalan tertatih demi menyeimbangkan badannya. Namun, dengan gerakan tangan sang kakek, tiba-tiba seperti ada angin yang mendorong Bingwen—membuat gerakannya menjadi lebih cepat.

Bingwen yang terkejut, merasa kebingungan karena beban yang dipikulnya menjadi lebih ringan dibanding sebelumnya. Tapi dirinya langsung mengetahui, jika hal itu dilakukan oleh sang guru untuk membantunya.

Bingwen menjadi bersemangat, dan melanjutkan perjalanan itu dengan lebih cepat. Sampai dirinya melihat sesuatu yang aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya.

“Guru, apa itu?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Langkah yang Menggetarkan Tanah

    Malam telah jatuh. Langit hanya menampilkan bintang-bintang kecil, tertutup awan tipis yang menyapu perlahan. Tak ada angin. Hanya suara debu yang merayap di tanah kering, seperti bisikan lembut dunia yang menyimpan rahasia.Bingwen duduk di tempat yang sama. Pohon kecil yang mati kini tak lagi menemaninya. Tapi di sampingnya, kecambah baru itu tetap tumbuh, seolah tak peduli dengan dunia. Cahaya tipis dari batu giok kecokelatan masih mengendap di telapak tangannya, berdenyut pelan seperti nadi bumi.Ia tak tidur. Tak lapar. Tak haus.Entah kenapa, setelah keluar dari celah tanah itu, tubuhnya seperti diselaraskan. Energi mengalir dalam aliran-aliran halus, bukan dari kekuatan luar, tapi dari dalam dirinya sendiri.Namun, malam ini berbeda.Tanah di bawahnya terasa gelisah.Awalnya, hanya getaran kecil. Tapi kemudian, seperti langkah kaki. Berat. Perlahan. Tapi pasti.Bingwen membuka mata. Ia tak bergerak, hanya mendengarkan.Satu... dua... tiga langkah.Tanah bukan hanya berbicara pa

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Bumi yang Menyimpan Ingatan

    Tanah masih diam. Sunyi. Namun bukan lagi sunyi yang dingin dan menakutkan seperti awal kedatangannya. Sekarang, keheningan itu terasa seperti pelukan. Bukan pelukan hangat, tapi pelukan yang jujur. Yang membuat seseorang tak bisa lari dari dirinya sendiri. Bingwen duduk bersila di samping pohon kecil yang perlahan menguning. Akarnya menggenggam bumi, meski kering dan rapuh. Seperti satu-satunya saksi perjalanan Bingwen dalam penguasaan Elemen Tanah. Ia menutup mata. Tak ada mantra. Tak ada jurus. Hanya napas yang diselaraskan dengan denyut bumi. Dulu, ia berpikir bahwa menguasai elemen berarti menaklukkannya. Sekarang, ia tahu, tanah tak bisa ditaklukkan. Ia hanya bisa diterima. Keheningan itu mulai bergeser. Ada getaran halus yang menjalar dari bawah. Bingwen membuka mata perlahan. Pohon itu bergetar. Daun-daunnya yang tersisa menggigil, lalu satu per satu jatuh ke tanah. Dari akar pohon, tanah merekah. Sebuah celah terbuka—sempit, gelap, dan dalam. Bukan retakan biasa, tapi sema

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Nafas Tanah, Nafas Jiwa

    Tangannya gemetar saat memegang batu tajam yang dipakai menggali. Jemari yang dulu lincah menangkis serangan kini pecah-pecah, penuh luka dan debu. Setiap goresan di kulitnya seolah mengingatkan bahwa ia bukan lagi murid di bawah naungan Kakek Guozhi. Di sini, di tempat sunyi dan tandus ini, dia bukan siapa-siapa. Hanya manusia biasa yang berhadapan dengan batas tubuh dan pikirannya sendiri.Ia berhenti sejenak, mengangkat wajah yang kotor dan penuh peluh ke arah langit yang tak bergerak. Tak ada awan. Tak ada angin. Hanya langit kaku seperti dinding batu yang mengawasinya tanpa simpati.Tapi tanah… tanah terasa berbeda.Dengan gemetar, Bingwen menempelkan telinga ke permukaan keras itu. Ia pejamkan mata, meredam seluruh hiruk-pikuk pikirannya. Dalam diam itulah, ia merasakannya: denyut samar seperti detak jantung yang dalam dan berat. Seolah tanah sedang bernafas.Ia menahan napas, takut mengusik keheningan itu. Getaran itu nyata. Aliran energi yang perlahan mengalir jauh di bawah sa

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Rasa Haus Dan Lapar

    Bingwen berdiri di atas tanah kering dan retak, tatapannya menyapu sekeliling. Gunung gersang ini tidak seperti tempat-tempat sebelumnya yang pernah dia lalui. Tidak ada pepohonan yang bisa memberinya naungan, tidak ada sungai yang bisa memberinya seteguk air, dan yang paling membuatnya gelisah—tidak ada tanda-tanda keberadaan Kakek Guozhi.“Kakek?” panggilnya, berharap suara berat gurunya akan menyahut. Namun, yang terdengar hanya suara angin yang menyapu debu dan kerikil di sekelilingnya.Dia sama sekali tidak menyangka jika sang guru telah pergi, karena sejak awal Chi milik Kakek Guozhi tidak pernah terasa oleh Bingwen. Dan dalam waktu sekejap, dirinya harus dihadapkan rintangan yang harus dia hadapi seorang diri tanpa arahan dari sang guru lagi.Bingwen mengepalkan tangan, menenangkan dirinya. Ini adalah ujian. Kakek Guozhi telah mengatakan bahwa untuk benar-benar memahami Elemen Tanah, dia harus menyatu dengannya, memahami bagaimana tanah bernapas, bagaimana ia menyimpan kekuatan

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Kesombongan Dan Kecerobohan

    Bingwen berdiri dengan penuh percaya diri di atas tanah yang kini seolah menjadi bagian dari dirinya. Setelah mengalahkan puluhan Golem Tanah, ia merasa bahwa dirinya telah berkembang pesat. Dulu, ia harus bersusah payah untuk sekadar bertahan, tetapi kini ia dapat mengendalikan tanah dengan lebih mudah. Senyum puas terukir di wajahnya.Kakek Guozhi mengamatinya dari kejauhan, tatapannya tajam. Ia bisa melihat perubahan dalam diri muridnya—bukan hanya kekuatan yang meningkat, tetapi juga sikapnya. Bingwen tampak terlalu percaya diri, bahkan ada sedikit kesombongan dalam sorot matanya. Ini adalah hal yang wajar bagi murid yang mulai merasakan kekuatannya, tetapi jika dibiarkan, bisa menjadi kelemahan yang fatal.“Kau merasa sudah menguasai Elemen Tanah?” tanya Kakek Guozhi tiba-tiba.Bingwen menoleh dengan ekspresi percaya diri. “Aku rasa begitu, Guru. Aku bisa merasakan aliran Chi di dalam tanah, menggunakannya untuk menyerang dan bertahan. Aku bahkan bisa bergerak melalui tanah seper

  • Kembalinya Sang Jenius 1000 Tahun Bela Diri   Penguasaan Elemen

    Bingwen berdiri dengan kaki yang masih menjejak kuat ke tanah yang kering dan retak. Napasnya masih terengah setelah pertarungan melawan lima Golem Tanah, namun matanya tetap berbinar penuh semangat. Ia merasa bahwa tubuhnya mulai selaras dengan elemen baru ini, namun dirinya tahu bahwa pemahaman tersebut masih sangat dangkal.Kakek Guozhi berjalan mendekat, tatapannya tajam namun penuh kebanggaan. "Kau telah melakukan langkah pertama dengan baik, Bingwen. Namun, mengendalikan Elemen Tanah bukan hanya tentang menggunakan kekuatan tanah untuk menyerang atau bertahan. Kau harus bisa menyatu dengannya, merasakan aliran Chi yang ada di dalam tanah, dan memanfaatkannya dengan cara yang lebih cermat."Bingwen mengangguk penuh perhatian. "Apa yang harus kulakukan, Guru?"Kakek Guozhi menepukkan tangannya ke tanah dengan lembut. "Duduk dan tutup matamu. Rasakan dunia di bawah kakimu. Tanah yang kau pijak bukan hanya sekadar benda mati. Ia memiliki Chi sendiri, energi yang terus mengalir di da

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status