Gaun pengantin yang tadi dikenakannya kini tergantung diam di balik tirai. Angin malam membuat kainnya berkibar pelan, menciptakan ilusi seolah pakaian itu bernapas. Jiali berdiri di depan cermin besar yang menyudut ke arah jendela. Cahaya bulan memantul di permukaan kaca, menyoroti siluet perempuan yang kini tidak memiliki apa-apa. Ia menggigit bibir bawahnya. Napas tercekat. Matanya memanas, tetapi Jiali tidak menangis. Tidak boleh. Ketukan lembut di pintu, disusul suara pelayan terdengar, “Yang Mulia Kaisar hendak masuk.” Jiali merapikan kerah jubah tipis yang ia kenakan lalu menoleh ke arah pintu. “Silakan masuk.” Pintu terbuka. Yunqin melangkah masuk tanpa tergesa. Ia mengenakan jubah malam berwarna gelap, rambut panjangnya disisir rapi. “Kau belum tidur?” tanyanya berusaha menyembunyikan kecewa karena ia belum bisa menikmati malam pengantin bersama. Jiali menunduk sedikit. “Belum, Yang Mulia.” “Aku harap malam ini tidak terasa berat. Semua orang memujimu hari ini. Perma
Meski langkah kakinya terantuk-terantuk di lorong batu yang licin. Ujung gaunnya basah, napasnya memburu, dan kedua tangannya tidak henti meremas erat sisi tubuhnya. Xiumei tidak akan berhenti. Di depan ruang tahanan, dua penjaga menatapnya. “Ampun ... tolong ... izinkan hamba masuk,” mohonnya setengah terisak. Kedua penjaga saling berpandangan. Salah satunya mengangguk lalu membuka pintu. Angin lembap dari dalam menyeruak. "Terima kasih, Tuan." Xiumei melangkah masuk. Suasana lengang menyambutnya. Ia mengedarkan pandangan pada ruangan yang telah kosong. “Mereka semua sudah dibawa keluar,” ungkap salah satu penjaga yang membuat Xiumei kembali menoleh. “Tidak!” Xiumei melangkah makin dalam. Ia menyusuri lorong-lorong yang masih menyimpan bau obat serta darah, sampai akhirnya berhenti tepat di depan sel tempat Yuwen biasa ditahan. Tangan kecilnya menggenggam jeruji yang dingin. Masih ada noda darah yang tertinggal di lantai, tetapi tubuh itu … tidak lagi di sana. Mereka su
“Yuwen’er, jangan paksa dirimu.” Yuwen menoleh lalu kembali duduk. Peluh mengucur dari pelipis, napasnya kembali tenang. Hari ini ia berhasil bangkit dan berjalan walau hanya beberapa langkah. “Aku tidak akan membiarkan hari ini berlalu hanya dari atas tikar,” bisiknya serak. “Beristirahatlah sebentar. Tabib Lu akan datang sebentar lagi untuk memeriksa.” Sekali lagi Yuwen coba bangkit lagi. Genggamannya semakin erat pada jeruji ketika ia berhasil berdiri. Satu kakinya bergerak, tampak ringan, tetapi Yuwen merasa seperti memindahkan batu besar. Yuwen melepaskan genggamannya, tetapi langkahnya tiba-tiba goyah. Ia jatuh terduduk, tetapi tidak lama kemudian, dengan satu gerakan lambat penuh tekad ia kembali bergerak. Qiongshing menggigit pelan bibirnya. Tidak ada yang bisa menghentikan tekad Yuwen. Suara langkah yang mendekat membuat keduanya menoleh. Yuwen mengeratkan genggaman pada jeruji besi ketika Jiali muncul dari lorong. Gaun merah bersulam emas Jiali menyapu lantai. Hias
Aroma kuat rempah adalah yang pertama kali Yuwen rasakan ketika membuka mata. Ia hendak bangkit, tetapi rasa nyeri di sekujur tubuh, memaksanya untuk tetap berbaring. Kelopak matanya perlahan terbuka. Langit-langit batu berwarna kelabu menyambut pandangannya. Suara air tetesan dari sudut sel terdengar samar, tetapi cukup jelas untuk menegaskan bahwa ia belum mati. Dalam diam, ia coba mengingat segalanya dan … kenyataan pahit memukul tepat di dalam dada. Sesak kembali terasa nyata. “Yuwen’er?” suara itu datang dari samping. Terdengar gemetar. Yuwen berhasil sedikit menoleh ketika sentuhan hangat menyelimuti tangannya. Wajah sang ibu penuh dengan lelah dan tangis yang belum sempat dihapus. “Maafkan … aku.” Qiongshing menggeleng, semakin erat ia menggenggam tangan Yuwen. “Ini … bukan salahmu.” “Lien Hua ….” Yuwen tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Hanya air mata yang kemudian jatuh di pipi. Qiongshing ikut meneteskan air mata yang ia kira sudah mengering. “Kasim, Kasim Hon
“Aku akan menunggu di sini sampai Yang Mulia sadar,” ucap Menteri Xi. Kasim Hong menoleh. “Tuan, biar hamba saja. Hamba khawatir Kaisar Tiansheng akan berpikir yang tidak-tidak kalau tahu Tuan berada di sini.” “Kasim, lihatlah dia … tidak berdaya. Aku … bersalah,” timpal Menteri Xi memukul dadanya sendiri. “Tuan, perjalanan kita baru saja menemui kabar baik. Kalau Tuan sampai dicurigai, maka apalagi yang bisa hamba lakukan?” Menteri Xi menutup mata, menarik napas dalam-dalam lalu menatap Kasim Hong. “Bila terjadi sesuatu, kau harus segera melaporkan padaku. Segera!” Kasim Hong mengangguk. “Ya, Tuan. Hamba mengerti. Sekarang, Tuan bisa pergi bersama Tuan Han. Mari, Tuan.” “Baiklah.” Kasim Hong serta Menteri Xi keluar dari sel Qiongshing. Pintu besi ditutup hati-hati, menyisakan denting rendah yang menggema di lorong sempit itu. Hanya beberapa langkah dari sana, sel milik Han Dunrui berdiri dalam gelisah di bawah bayang obor yang sama. Kasim Hong memberi isyarat pada penjaga.
Langkahnya melambat, seolah setiap derap di batu koridor membawa banyak beban. Xiumei mengangkat kedua tangannya yang masih gemetar. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat eksekusi mati.Xiumei memejamkan mata sejenak lantas menatap lurus gerbang utama menuju Paviliun Timur. Ia menarik napas dalam-dalam lantas melanjutkan langkahnya.Dua penjaga membiarkan Xiumei masuk setelah mereka memberikan anggukan hormat. Xiumei membalas dengan satu senyuman tipis. Rasa sesak dalam dadanya belum bisa berkurang.“Nyonya,” panggil Xiumei di ambang pintu.Setengah berlari, ia berjalan menuju pintu. Ujung gaun sederhananya tampak ikut bergoyang pelan.“Bagaimana? Apa … dia diampuni?” tanyanya menuntut.Xiumei mengerjapkan mata lalu menggeleng pelan. “Nyonya, Permaisuri Agung Wei … telah dieksekusi,” jawabnya pelan. Jiali terdiam. Bingung menanggapi jawaban Xiumei. Ia memang tidak pernah menyukai Wei Junsu, tetapi ia tidak pernah mendoakan hal buruk menimpa wanita itu.Terlebih, Jiali merasa kalau