Kembalinya Sang Pangeran

Kembalinya Sang Pangeran

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-06-13
Oleh:  Ine TimeBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat. 2 Ulasan-ulasan
120Bab
776Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Terlahir dari seorang selir, Qing Yuwen tumbuh jauh dari istana, ditakdirkan hanya sebagai panglima perang, bukan pewaris takhta. Namun, ketika titah Kaisar memaksanya menikahi Han Jiali, mantan tunangan pangeran mahkota, Yuwen menyadari pernikahan itu hanyalah awal dari intrik yang lebih berbahaya. Dari percobaan pembunuhan hingga jebakan politik, Yuwen terpaksa menghadapi kenyataan pahit: satu-satunya cara melindungi orang-orang yang dicintainya, termasuk ibunya dan Jiali, adalah dengan merebut kekuasaan yang seharusnya tidak pernah menjadi miliknya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 01. Ketika Fajar Menyingsing.

Perkemahan telah kosong.

Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara.

Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya.

Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan.

“Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—”

“Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.”

Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu diam adalah jalan terbaik. Yu Ying hanya menundukkan kepala ketika dengan tiba-tiba Yuwen berbalik lalu berjalan menuju kudanya yang berdiri tak jauh dari sana.

Kuda hitam itu meringkik pelan, seolah bisa merasakan badai amarah yang sedang melingkupi tuannya. Satu tarikan kekang yang tegas, Yuwen melompat ke pelana. Kuda itu meringkik lebih keras, melangkah gelisah di bawah kekangan yang hampir menghancurkan.

Yuwen tidak menoleh lagi. Ia menarik kekang lalu memacu kudanya menjauh dari perkemahan. Membawa serta ketegangan yang masih menggantung di udara.

Angin menerpa wajah Yuwen saat laju kudanya membelah jalan setapak yang dibatasi pepohonan rimbun. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli.

Di dalam kepala, pikirannya berputar liar, mengulang-ulang kejadian semalam. Informasi tentang pasukan Mancu yang bergerak ke Selatan—detil yang diterimanya langsung dari istana. Seharusnya tidak diragukan lagi kebenarannya. Namun, itu semua ternyata hanyalah jebakan.

“Bajingan,” desisnya, meski tidak ada seorang pun di sana untuk mendengar.

Penyergapan itu adalah jebakan. Intrik untuk menyingkirkannya, untuk menjauhkannya dari istana ketika peristiwa penting sedang berlangsung. Seharusnya Yuwen sudah mencium bau kebohongan sejak awal.

Bagaimana ia bisa seceroboh ini? Sekarang, waktu adalah musuh terbesarnya. Secepat mungkin, ia harus tiba di istana.

Langit mulai berubah warna. Cahaya fajar yang hangat di ufuk timur biasanya memberi harapan baru, tetapi tidak pagi ini. Bagi Qing Yuwen, fajar menyingsing berarti waktu yang tersisa semakin sedikit. Jika ia tidak tiba di istana sebelum matahari benar-benar terbit, semuanya akan selesai.

Pernikahan yang digadang bertujuan menyatukan dua kerajaan besar akan menjadi alat yang akan mengalahkan sekaligus mengukung Yuwen.

Ketika tiba di gerbang utama istana, pemandangan di hadapannya membuat rahang Yuwen mengeras. Ratusan rakyat berkumpul, memenuhi jalan utama. Bendera-bendera sutra berkibar anggun di atas kepala mereka, berwarna merah dan emas, simbol keberuntungan dan kehormatan.

Bagi Yuwen, semuanya hanyalah kebohongan yang dicetak di atas kain mahal. Ia tidak ingin terlibat di dalamnya. Apapun rencana kaisar, Yuwen akan menolaknya.

Musik tradisional terdengar dari kejauhan, melodi yang melambangkan cinta dan kegembiraan. Namun, di telinga Yuwen, melodi itu seperti tawa penghinaan.

Seorang Kasim yang sedari tadi memang menunggu kehadiran Yuwen tampak lega ketika Yuwen berjalan mendekat. “Yang Mulia, selamat datang,” katanya membungkuk rendah. Suaranya terdengar hati-hati, nyaris gemetar. “Yang Mulia, pernikahan Pangeran Mahkota akan segera berlangsung. Hamba akan membawa Yang Mulia menuju aula utama.”

“Pergilah! Aku tahu ke mana harus melangkah!”

Kasim itu membungkuk lebih dalam. “Ampun, Yang Mulia, sebaiknya Yang Mulia, mengikuti hamba.”

Tanpa menjawab, Yuwen menyerahkan kekang kudanya kepada seorang prajurit yang berada di dekatnya lalu melangkah cepat tanpa memperdulikan lagi permintaan sang kasim.

Setiap langkahnya memantulkan suara berat di jalan berbatu, seperti dentang waktu yang menghitung mundur takdirnya. Yuwen tahu siapa yang pertama kali harus ia temui di istana.

Ketika ia sampai di pintu utama paviliun, langkahnya tertahan. Dua pengawal berdiri di sana, pedang mereka terangkat menyilang, menghalangi jalannya.

“Yang Mulia,” salah satu dari mereka berkata, suaranya bergetar, “Kami diperintah oleh Permaisuri Junsu. Tidak ada yang diizinkan masuk ke paviliun selir agung.”

Gu Yu Yong, yang akhirnya menyusul dari belakang, langsung menghunus pedangnya ketika mendengar Yuwen tidak diperkenankan masuk. Matanya menyala dalam amarah yang jarang ditampakkan. “Menyingkir!” serunya.

Sebelum pedang Yu Yong bergerak, Yuwen mengangkat tangan—menghentikannya. Ia menatap kedua pengawal itu dengan tatapan dingin, dengan langkah tegas, ia maju hingga ujung pedang mereka hampir menyentuh dadanya.

“Jika kalian pikir bisa menghentikan aku,” katanya bersuara rendah penuh ancaman, “lakukanlah,” tantangnya.

Pengawal itu saling pandang. Mereka tahu, tidak ada seorang pun di istana ini yang memiliki keberanian untuk benar-benar melawan Qing Yuwen. Penuh keraguan, akhirnya mereka menurunkan pedang.

Tanpa menunggu lebih lama, Yuwen mendorong pintu paviliun selir agung yang sering disebut sebagai paviliun bunga.

Paviliun bunga adalah tempat yang indah, tetapi pagi ini keindahannya terasa seperti ejekan. Langit-langitnya memang dihiasi kain sutra yang berwarna cerah, dan bunga-bunga segar turut memenuhi setiap sudut ruangan, tetapi ada kedukaan di setiap udara.

Mata Yuwen menangkap sosok yang berdiri di ujung lorong.

Dialah ….

Permaisuri Wei Junsu.

Sosoknya hampir seperti dewi yang turun ke bumi. Di bawah cahaya lentera, gaun sutra emas yang dikenakannya berkilauan seperti kulit ular yang baru berganti.

“Ah, Pangeran Kedua,” katanya ketika Yuwen mendekatinya. Suaranya lembut, penuh dengan sindiran yang tidak berusaha disembunyikan. “Kau akhirnya datang. Aku mulai berpikir kau lupa bahwa pernikahan ini adalah acara besar yang tidak boleh dilewatkan.”

Yuwen tidak menjawab. Ia hanya menatap Junsu, tatapannya penuh kecurigaan, kemudian matanya beralih ke sisi lain. Bangunan yang merupakan kamar ibunya.

“Ibu,” kata Yuwen, suaranya rendah, hampir berbisik.

Junsu menoleh ke arah yang Yuwen tatap lantas tersenyum, senyum yang lebih seperti ejekan. “Aku tahu siapa yang pertama kali akan kau temui di istana. Ah, aku lega karena pada akhirnya ibumu tahu di mana seharusnya dia berada.”

Kemarahan Yuwen hampir meledak, tetapi ia menahannya. Yuwen tahu apa yang Junsu inginkan dan Yuwen tidak sudi memberikannya.

Ketika Yuwen ingin berbalik pergi, Junsu berbicara lagi. Suaranya pelan, tetapi setiap kata yang diucapkan seperti pisau yang menembus punggung Yuwen.

“Kau pikir kau bisa mengubah apa yang telah aku gariskan?” katanya, “pernikahan ini adalah awal dari cerita sekaligus akhir bagimu, Yuwen. Ingatlah, kau hanya bidak kecil di papan caturku.”

Yuwen berhenti sesaat. Napasnya berat. Ia ingin menjawab, ingin menyerang, tetapi ini bukan saatnya. Junsu sedang bermain dalam permainan panjang. Semua langkah harus dipikirkan dengan penuh kehati-hatian. Jadi, tidak ada gunanya meladeni Junsu.

Langkahnya kembali terayun. Tiba di depan kamar ibunya, dua pengawal yang sama masih berdiri di sana, pedang mereka kembali disilangkan. Kali ini, Yuwen tidak berhenti.

“Singkirkan pedang kalian,” katanya dingin. Suaranya penuh keyakinan, penuh otoritas hingga kedua pengawal itu menundukkan kepala lalu menurunkan senjata mereka tanpa perlawanan.

Yuwen kembali menoleh ke sekelilingnya. Keramaian persiapan pernikahan masih berlangsung. Baginya, pesta itu awal dari ambisi sesat yang akan menyeretnya masuk ke dalam intrik istana.

Mengapa harus dilibatkan lagi? Bukankah sejak usia tujuh tahun, Yuwen dipaksa meninggalkan istana? Keputusan kaisar yang konon dilapisi oleh janji mulia. Jalan penuh kehormatan dan masa depan cemerlang. Namun, bagi Yuwen kecil, itu hanyalah tipu daya.

Ia direnggut dari dekapan hangat ibunya—Shu Qiongshing. Konon katanya Yuwen harus menjadi perisai terkuat kaisar. Kini Yuwen tahu perisai itu bukan simbol kebanggaan, melainkan penjara tanpa dinding yang membuatnya jauh dari sang ibu.

Kunjungannya ke istana dibatasi tidak lebih dari lima kali dalam setahun. Di setiap kunjungan rasa asing kian menguat, seolah tempat yang seharusnya menjadi rumah telah berubah menjadi arena pertempuran dingin dan tak bersahabat.

“Yuwen-er.”

Sebuah suara membuyarkan lamunan. Suara yang dulunya lembut, penuh kehangatan, kini malah membawa luka dalam, seperti angin musim dingin yang menggigit kulit.

Yuwen menoleh, lambat. Shu Qiongshing berdiri di sana. Sosoknya telah berubah. Keanggunannya memang masih ada, tetapi sekarang lebih menyerupai sisa-sisa dari mahakarya yang perlahan hancur dimakan waktu.

Rambutnya yang dulu hitam pekat, kini dihiasi garis-garis perak. Matanya yang dulu bersinar seperti batu giok dalam cahaya pagi, kini redup tenggelam dalam kabut kesedihan.

Shu Qiongshing, sang ibu seharusnya berada di antara para bangsawan, berdiri seperti bayangan kaisar, tetapi di sinilah dia berada. Diasingkan seolah ibunya adalah aib kaisar.

Tak ada gaun megah, tak ada perhiasan yang mencerminkan statusnya. Hanya pakaian sederhana yang tak pantas untuk disebut seorang selir agung. Sebuah cincin giok di jarinya—satu-satunya simbol yang tersisa dari kehidupan yang pernah dimilikinya.

Bagi Yuwen, ibunya tampak seperti seorang janda—bukan hanya karena kehilangan suami, tetapi karena hidupnya sendiri telah dicuri. Diasingkan dari keluarga, diasingkan dari status kerajaannya.

“Yuwen-er,” ulang Shu Qiongshing Kali ini lebih lirih, seolah takut melukai keheningan canggung di antara mereka.

Yuwen berdiri mematung. Napasnya terasa berat, seperti ditusuk oleh ribuan duri. Kata-kata menyekat tenggorokan, tidak bisa ia keluarkan. Amarah membara dalam dadanya berselimut rasa bersalah yang menyesakkan menahan segala tindakannya.

Ia hanya bisa menundukkan kepala. Satu-satunya bahasa yang tersisa adalah keheningan.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Yuwen memutar tubuh lantas melangkah pergi. Sepatu botnya berdentum di lantai paviliun, menciptakan gema yang terdengar seperti jarak yang semakin jauh antara ia dan ibunya.

Ketika mendekati aula utama, tampak dua pengawal istana berdiri di pintu, mata mereka beradu dengan Yuwen. Seketika air wajah mereka menegang. Ketakutan tampak jelas di mata, tetapi demi mengemban titah, mereka mengangkat pedang, menyilang di depan tubuh—tembok baja tipis yang coba menghentikan kekuatan yang tak terhentikan.

Salah satu dari mereka, dengan suara gemetar, coba berkata, “Yang Mulia, ini ... ini perintah.” Kata-katanya nyaris tercekik oleh ketakutan, seolah tahu bahwa perintah itu tak akan berarti.

Yuwen terus berjalan, tak melambat sedikit pun. Langkahnya mantap, seperti derap drum perang yang membuat udara seolah menebal di sekitarnya. Ketika ia berdiri tepat di depan pedang mereka, ia berhenti. Dengan gerakan perlahan, ia mendongak, menatap kedua pengawal.

“Apa ini yang sungguh-sungguh kalian inginkan?”

Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tetapi kekuatannya lebih dahsyat daripada bentakan. Kata-katanya menusuk seperti pisau, meninggalkan bekas di hati mereka yang mendengarnya. Tatapannya menyala tajam, seperti bara yang siap melahap apa saja.

Pengawal itu gemetar hebat. Pedang mereka masih terangkat, tetapi tangan mereka terlalu lemah untuk mempertahankannya. Mereka tahu, melawan Yuwen bukanlah pilihan. Untuk menghalanginya berarti menghadapi takdir yang jauh lebih buruk daripada kematian.

Yuwen tidak berbicara lagi. Ia hanya menatap mereka seolah-olah waktu telah berhenti. Akhirnya, pedang itu perlahan turun, seperti mengakui kekalahan yang tak terhindarkan. Pengawal-pengawal itu menundukkan kepala, membuka jalan tanpa berani berkata sepatah kata pun.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Ine Time
haloooow, maaf ya, beberapa hari ini aku enggak update. Kondisiku lagi kurang baik, flu berat. Semoga kalian sehat-sehat selalu, yaa. Untuk Yuwen dan Jiali, terima kasih sudah mengikuti perjalanan mereka dari awal sampai hari ini. ...️
2025-06-07 19:12:09
1
user avatar
Ine Time
halo, salam kenal. aku penulis dari buku ini. happy reading semuanya.
2025-03-21 05:41:18
4
120 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status