Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin.
Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darrel menundukkan kepala sejenak, lalu mengangguk. “Ya, Ayah.” Duke Davin berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke jendela besar yang menghadap halaman kastil. Dia memandang keluar, sejenak terdiam sebelum berbicara lagi. “Aku mendengar tentang duelmu dengan Frey Han Rollock.” Darrel mengepalkan tangannya. Dia tahu, meskipun duel itu terpaksa terjadi karena provokasi Frey, pertempuran antar bangsawan muda selalu menjadi perhatian serius, terutama ketika melibatkan anak-anak Duke yang berpengaruh. “Aku minta maaf, Ayah. Aku tahu seharusnya tidak membiarkan situasi ini terjadi. Frey memprovokasi, dan aku...” “Tidak perlu menjelaskan,” potong Duke Davin sambil berbalik, tatapannya masih tajam. “Frey Rollock memang terkenal sebagai pengganggu. Ini bukan kali pertama aku mendengar laporan tentang perilakunya. Namun, terlibat dalam duel seperti itu adalah hal yang berisiko, terutama bagimu. Kau tahu konsekuensinya jika salah satu dari kalian terluka parah.” Darrel mengangguk lagi, merasa beban di pundaknya semakin berat. Namun, sebelum dia bisa merespons lebih jauh, Duke Davin mendekatinya. Wajahnya masih dingin, tetapi ada sesuatu yang lain dalam sorot matanya—sesuatu yang Darrel belum pernah lihat sebelumnya. “Kau mengalahkan Frey,” ucap Duke Davin dengan nada datar. Darrel menatap ayahnya dengan sedikit bingung. “Ya, aku... aku berhasil mengalahkannya.” Ada jeda sejenak. Darrel menunggu teguran lebih lanjut, tapi yang datang berikutnya benar-benar tidak diduganya. Sang Duke tersenyum tipis, hampir tidak terlihat, tapi jelas ada. “Bagus,” kata Duke Davin pelan, hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuk dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan bahwa kau bukan lagi anak kecil yang bisa dipermainkan. Aku mendengar dari para pelayan bahwa duelmu berlangsung dengan sangat baik. Kau menunjukkan keberanian dan ketenangan yang luar biasa. Sesuatu yang lebih dari sekadar naluri bertarung.” Darrel terdiam, tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Apakah itu... pujian? Dari ayahnya? “Tapi,” lanjut Duke Davin, kembali serius, “jangan biarkan kemenangan itu membuatmu lengah. Keluarga Rollock tidak akan menerima kekalahan ini begitu saja. Kau harus waspada.” Darrel mengangguk pelan. Meski ada sedikit rasa bangga yang menyelinap ke dalam hatinya, dia tahu betul bahwa ancaman dari keluarga Rollock bisa menjadi lebih serius di masa depan. Sebelum Darrel bisa membalas, pintu ruang kerja tiba-tiba terbuka dengan tergesa-gesa. Seorang penjaga masuk dengan cepat, napasnya berat, seolah-olah dia telah berlari sepanjang jalan dari gerbang kastil. “Lord! Berita dari perbatasan timur!” katanya dengan suara gemetar. Duke Davin segera menatap tajam ke arah penjaga tersebut. “Apa yang terjadi?” Penjaga itu berusaha mengatur napasnya sebelum menjawab. “Gerombolan orc, Tuan. Mereka telah menyerang desa-desa di sepanjang perbatasan timur. Pasukan penjaga kita terdesak, dan mereka meminta bantuan segera!” Kejutan menghantam Darrel dan Duke Davin pada saat yang bersamaan. Serangan orc di perbatasan bukanlah hal yang biasa. Selama bertahun-tahun, wilayah Duke Van Bertrand relatif aman dari ancaman besar seperti itu, meskipun ketegangan selalu ada di perbatasan. Namun, kali ini tampaknya berbeda. Penjaga yang dikirim ke perbatasan timur adalah pasukan terbaik mereka, dan jika mereka terdesak, itu berarti ancaman ini lebih serius dari yang diduga. “Berapa besar gerombolan itu?” tanya Duke Davin dengan tenang, meskipun ada kekhawatiran di balik suaranya. “Diperkirakan lebih dari seratus, mungkin lebih. Mereka bergerak cepat, dan beberapa desa sudah dibakar habis. Kami belum bisa memperkirakan jumlah pasti mereka, tapi situasinya mendesak.” Duke Davin terdiam, pikirannya jelas tengah menyusun rencana. Dia kemudian berbalik ke arah Darrel, yang masih berdiri di tempatnya. “Kau ingin menjadi pewaris nama Van Bertrand, bukan?” tanyanya dengan nada tegas. Darrel mengangguk. Meski hatinya masih dipenuhi kecemasan atas apa yang terjadi sebelumnya dengan Frey, ini adalah saatnya untuk membuktikan dirinya. Dia tahu ini lebih besar dari sekadar duel atau konflik pribadi. Ini tentang tanggung jawab dan melindungi rakyatnya. “Baik,” ucap Duke Davin. “Aku akan memimpin pasukan utama. Tapi kau, Darrel, akan berangkat lebih dulu dengan sekelompok prajurit elit. Tugasmu adalah membantu pertahanan di desa-desa perbatasan hingga bala bantuan tiba. Kau akan menjadi ujung tombak kita.” Darrel terkejut mendengar perintah itu. “Aku? Memimpin pasukan?” Duke Davin menatapnya dalam-dalam, dan kali ini tanpa ada tanda-tanda keraguan. “Ya, kau. Ini bukan lagi tentang duel pribadi atau persaingan antar bangsawan. Ini tentang rakyat kita, tentang tanah kita. Dan ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan bahwa kau bukan hanya pewaris darah, tetapi pewaris kehormatan.” Darrel merasakan jantungnya berdebar keras. Perintah ini adalah tantangan yang besar, dan dia tahu bahwa dia belum memiliki pengalaman memimpin di medan perang. Namun, dengan kekuatan yang dia miliki—baik sebagai seorang Van Bertrand maupun sebagai penerus Drakonis—dia yakin bahwa dia bisa menjalankan tugas ini. “Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah,” ucap Darrel tegas. Duke Davin menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. “Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku.” Darrel segera meninggalkan ruang kerja ayahnya, pikirannya dipenuhi dengan tanggung jawab yang baru diberikan kepadanya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu ujian terbesar dalam hidupnya, baik sebagai seorang putra Duke maupun sebagai seseorang yang harus belajar mengendalikan kekuatan besar di dalam dirinya.Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap