Home / Urban / Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya / 2-Kebaikan Di Tengah Keputusasaan

Share

2-Kebaikan Di Tengah Keputusasaan

last update Last Updated: 2023-07-25 11:24:09

“Ya, Shanon.”

Harold membalas singkat setelah berulang kali ia mendengar kalimat yang keluar dari mulut bibir Shanon. Belum pernah dalam masa kerjanya hingga hari ini, harus menghadapi kejadian mengenaskan seperti tadi.

Air mata Shanon tak berhenti mengalir.

Harold pun melirik ke arah sekretaris baru yang sudah dipecat di hari pertamanya bekerja itu. Helaan napas putus asa pun terlepas pelan dari bibir sang manajer HRD. ‘Naas.’

Mau tak mau netra Harold menelusur, memperhatikan bagaimana bentuk rambut Shanon yang sudah berantakan tidak karuan, karena digunting sembarangan oleh Pamella. Belum lagi kopi yang sudah mengering di kepalanya.

Tapi tak ada yang bisa dilakukan olehnya, walau ia memikul jabatan yang cukup penting di perusahaan.

Mereka tiba di depan teras lobi. Harold pun hanya bisa mengingatkan Shanon, “Segera bereskan barang-barangmu dari apartemen dinas itu. Selamat tinggal.”

Shanon mematung di depan lobi dengan air mata berurai tak henti. Pandangannya yang tengah menatap punggung Harold dari kejauhan kini mulai terfokus pada pantulan dirinya di pintu kaca gedung tersebut.

Pipi Shanon terlihat sangat merah, ada beberapa goresan merah tipis di sana. Kemungkinan terbaret oleh kuku Pamella yang panjang.

Riasannya pun sudah berantakan karena air mata dan juga kopi hitam yang sudah mengering di wajahnya.

Penampilannya saat ini benar-benar menyedihkan. Tangis senyap kembali membuat bahunya berguncang.

Rambut ikalnya sudah berantakan, panjang pendek tidak beraturan. Basah dan lepek seperti tikus tercebur dalam got. Ada sedikit ampas kopi hitam bertebaran di atas kepalanya.

Kota Tinseltown selalu ramai dengan orang lalu-lalang. Shanon pun hanya bisa menunduk ketika orang-orang yang berpapasan mendengkus geli melihat penampilannya.

‘Sebaiknya aku segera pulang dan membersihkan diri,’ batinnya sambil berdiri di barisan penunggu taksi.

Bibir Shanon bergetar hebat. Menahan tangis yang tak sudi ia pertontonkan di tempat umum. Untunglah tak lama ia menunggu giliran mendapatkan taksi.

Tiba di apartemen, ia segera membersihkan diri. Dan berganti pakaian. Sesuai perintah Harold untuk segera mengosongkan apartemen dinas itu, Shanon pun segera mengerjakannya.

Namun, tengah membereskan pakaiannya, Shanon mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia pun meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya dan membukakan pintu untuk tamu tak diundang tersebut.

“Ya—“

Tak disangka, ternyata yang sekarang tengah berdiri di hadapannya adalah Pamella. Wajah wanita paruh baya itu sangat mengerikan.

“Nyo—nyonya—“

“Masih berani kamu ada di apartemen ini?!” bentak Pamella sambil menarik tubuh Shanon keluar dari kamar, hingga terjatuh di lorong apartemen.

“Sa—saya baru akan—“

Bruk!

Pamella membuang koper milik Shanon ke luar kamar dan melempar semua pakaian gadis malang itu ke lantai di luar kamar.

“Pergi kamu dari sini! Pelakor sialan! Jangan pernah lagi kamu tunjukkan wajahmu di sekitar sini!” raung Pamella.

Tentu saja keributan ini membuat beberapa penghuni apartemen yang sedang ada di tempat langsung keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka juga mendengar ucapan Pamella yang mengatakan bahwa Shanon adalah seorang pelakor.

“Bo—bolehkah saya be—berganti pakaian—“

Blam!

Pintu apartemen itu langsung ditutup oleh Pamella. Jelas, tidak ada lagi akses Shanon untuk masuk ke dalam. Padahal saat ini ia hanya mengenakan jubah mandi.

Shanon menatap beberapa penghuni apartemen yang menatapnya dengan pandangan menuduh. Gadis itu hanya bisa tertunduk menyembunyikan tangisannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Shanon membereskan pakaian yang berhamburan di lantai dan segera berganti baju di kamar mandi umum.

‘Tak ada satupun yang memihakku ...,’ isak Shanon dalam hatinya. Ia mengikat rambutnya dan pergi mencari losmen murah untuk menetap sementara.

Berjalan mengikuti sebuah tanda bertuliskan ‘losmen murah’, kaki Shanon membawanya tiba di depan sebuah losmen tua di area pinggiran kota Tinseltown.

Gadis naas itu bermaksud menggunakan sisa uangnya untuk hidup dan mencari pekerjaan baru.

“Mm ... aku tidak tahu ada losmen di daerah ini,” gumam Shanon bermonolog. “Tapi aku seperti pernah ke tempat ini.”

Ragu-ragu, Shanon mendorong terbuka pintu kayu yang dihiasi gantungan bertuliskan “Tempo Losmen”.

Sambil berjalan perlahan ke arah meja resepsionis yang sederhana, netranya menjelajah pemandangan yang disajikan losmen tersebut.

‘Walau terlihat seperti mau rubuh, ternyata dalamnya cukup nyaman,’ batin Shanon.

Kakinya berhenti di depan meja resepsionis. Netra Shanon pun disambut dengan tatapan ramah dari seorang pria berusia senior.

Sang resepsionis tua itu menyapanya hangat, “Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”

“Uhm ... selamat siang,” balas Shanon.

Kemudian menambahkan, “Apa ada kamar kosong? Ka—kalau saya menyewanya secara mingguan atau bulanan, berapa harganya?”

‘Kuharap harganya tidak terlalu mahal.’ Shanon berdoa dalam hati, berharap pria tua itu memberinya harga diskon.

“Mingguan atau bulanan? Tunggu sebentar.”

Pria tua itu membuka laci dan mengambil sebuah kertas kaku, lalu menyodorkannya pada Shanon.

“Ini daftar harganya.”

Shanon mengangguk sambil tersenyum canggung begitu melihat tulisan pada kertas kaku itu, sementara otaknya mulai menghitung.

‘Harian 45 dollar. Kalau aku mau tinggal selama seminggu, harus keluar uang 300 dollar. Satu bulan 1.200 dollar. Oh Tuhan, apa aku bisa hidup setelah ini?’

“Ka—kalau begitu sa—satu bulan saja. Saya bayar sekarang.” Shanon segera mengeluarkan ponselnya dan melakukan transaksi.

Uang dalam rekeningnya hanya tersisa enam ribu dollar. Shanon tidak yakin apakah ia akan bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, sebelum uangnya habis.

Setelah mencetak bukti pembayaran, pria tua itu menyerahkannya pada Shanon sambil berkata, “Semoga betah, Nona. Kalau butuh sesuatu, cari saya saja—Genio.”

***      

Tiga minggu berlalu.

Di akhir minggu ke tiga, usaha Shanon mencari pekerjaan baru pun akhirnya membuahkan hasil. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil sebagai staf sekretaris.

Shanon pun harus mencari tempat tinggal, yang lokasinya dekat dengan kantor baru.

“Paman Genio, aku pamit.” Shanon membungkuk penuh ucapan terima kasih.

Genio cukup terlihat sedih, karena selama ini, ia lumayan terhibur ditemani Shanon di meja kasir, sambil menikmati camilan gratis darinya. “Sedih harus berpisah darimu, Nona. Tapi aku turut bahagia, karena sepertinya kau sudah menemukan apa yang kau butuhkan, hm?”

Shanon mengangguk dengan penuh semangat. Wajahnya berbinar seolah kehidupan kembali meraja. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan. Terima kasih untuk semuanya, Paman.”

“Sama-sama, Nona.” Genio tersenyum sambil mengutak-atik mesin kasirnya.

Laci penyimpanan uang pun terbuka. Pria tua penunggu meja kasir itu mengambil beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada Shanon.

Dahi Shanon berkerut bingung. Kalaupun ingin mengembalikan kelebihan pembayaran, lembaran uangnya tidak akan sebanyak itu.

Gadis itu pun memutuskan untuk bertanya, “Apa ini, Paman? Kau tak perlu mengembalikan kelebihannya. Aku sangat terbantu dengan adanya tempat ini.”

Genio terlihat berpikir sesaat, sebelum menjawab, “Pemilik tempat ini memintaku untuk mengembalikan semua uangmu. Ia sudah membayar semuanya. Uang sewa kamar dan juga uang makanmu.”

Shanon ternganga. Ia tak pernah punya kenalan seorang pemilik losmen seperti ini.

“Apa aku mengenal pemilik losmen ini, Paman Genio?” tanya Shanon keheranan.

Lagi, Genio terlihat seperti kesulitan menjawab pertanyaan Shanon. Pada akhirnya ia mengangguk.

“Menurut beliau, Anda mengenalnya, Nona.”

Namun, baru saja Shanon hendak menanyakan nama sang pemilik losmen, Genio menambahkan, “Beliau tidak ingin memberitahukan namanya. Kalau-kalau kau penasaran, Nona Shanon.”

Shanon kembali menutup mulutnya yang tadi terlanjur menganga hendak bertanya. Pandangannya kembali fokus pada tumpukan lembar uang di atas meja kasir Genio.

‘Kalau kutebak, ini jumlahnya lebih dari tiga ribu dollar. Padahal aku yakin, uang makanku tidak akan semahal ini.’ Shanon berkonflik dalam hati.

“Nona, sepertinya taksimu menunggu di depan lobi?” tanya Genio yang melihat mobil sedan kuning dengan lampu putih di atas kap bertuliskan ‘taxi’.

“Astaga! Aku harus bagaimana dengan uang ini, Paman?” Shanon berbalik menatap taksi yang sudah menunggunya kemudian kembali menghadap Genio, panik.

Gadis muda itu masih belum memutuskan apakah akan menerima kebaikan hati pemilik penginapan yang asing baginya itu, atau mengambil uang sesuai porsinya.

Melihat Shanon masih ragu, tanpa basa-basi Genio meraup lembaran uang itu dan menjejalkannya pada tangan Shanon yang diraihnya dengan sedikit kencang.

“Bawa semua. Semua ini milikmu, Nona. Percaya saja padaku.”

Shanon menatap uang yang kini sudah ada di tangannya. Ia pun memutuskan untuk mengangguk dan berterima kasih terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan losmen.

‘Siapapun Anda, terima kasih.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   54-Masa Depan yang Indah

    “Jangan bicara sembarangan, Avantie!” seru Damian yang tidak rela label palsu itu bisa saja didengar Shanon. “Shanon akan segera menjadi istriku.” “Aku tidak sembarangan. Ada video—” “Shanon di jebak, Avantie,” potong Herv cepat, tak ingin lagi membahas masa lalu Shanon yang ia yakin tidak baik kalau sampai Shanon mendengarnya lagi. Lagi, Herv menambahkan, “Pelakunya sudah menyatakan permohonan maaf mereka dan sudah mengakui semua kesalahan. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi Shanon sudah membersihkan namanya.” Damian turut mengangguk, membenarkan ucapan sang kakek. Mendengar kenyataan terbaru itu, Avantie tak bisa lagi berkata-kata. Ia tidak menyiapkan diri untuk hal ini. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan Damian. “Tapi aku lebih mencintaimu, Damian,” rintihnya sementara air mata mulai mengenang dan tak sedikit yang berjatuhan di atas pangkuan gadis malang itu. Herv menatap Damian, memberinya isyarat agar cucu laki-lakinya itu mengatakan s

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   53-Masa Lalu Shanon

    “Lihat, Pa! Perempuan ini pasti menggoda Damian!” pekik Avantie sambil menunjukkan foto Shanon dan Damian masuk ke dalam mobil yang sama. Bahkan si pengintai yang dibayar Avantie juga melaporkan kalau mereka pergi ke butik gaun pernikahan setelah selesai dari pemakaman.Lemuel mendengarkan rengekan Avantie sambil memijat pelipisnya, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk memenangkan hati Damian yang baru disadari tidak pernah punya perasaan pada putrinya. Katanya, “Papa tidak bisa sembarang bergerak, Vantie, Nak. Jangan sampai kita membuat Herv marah dan kau malah kehilangan segalanya, Avantie.” Netra Avantie menyalak marah. “Apa maksud Papa? Damian adalah segalanya buatku! Kalau aku tidak bisa memilikinya, apa lagi yang Papa maksud dengan ‘segalanya’?!”Desahan berat terdengar keluar dari sela bibir Lemuel. Ia tahu kalau Avantie tidak pernah tahu tujuan lain ia bersikeras menjodohkannya dengan Damian adalah demi mendapatkan keyakinan bahwa seumur hidup, Avantie tidak akan kehi

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   52—Pengakuan

    ‘Apa benar aku akan menikahi pria sempurna ini?’ Shanon diam-diam melirik ke sisi kanannya, di mana Damian duduk. Pria itu tidak melepaskan rangkulan di bahu Shanon, membuat gadis itu sedikit canggung dibuatnya.Ia jadi ingat bagaimana dulu teman-temannya paling berisik kalau Damian muncul dalam wawancara berita di televisi. SHanon tak sengaja terkekeh membuat Damian mengangkat salah satu alisnya. “Senang-senang sendirian, hm?” ledek Damian. Shanon menggelengkan kepalanya sementara tangannya menutupi bibir yang berusaha sekuat tenaga menahan tawa.“Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Aku akan bertemu dengan Almarhum orang tuamu. Aku harus tampil baik, Shan.” Damian mencoba mengorek alasan di balik wajah bahagia Shanon barusan. Lagi, Shanon menggeleng dulu sebelum menjawab, “Tidak. Kau sempurna. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal penampilanmu, Damian.”‘Sudah mau datang ke makam mereka saja, aku sudah bersyukur. Pria berstatus tinggi sepertinya mendatangi makam orang tuak

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   51-10 Tahun Mengenalnya

    51“Kak Damian, jangan bercanda,” kekeh Shanon dengan canggung. Ia tak tahu harus menatap ke mana, karena matanya terus saja kembali pada benda bulat melingkar yang duduk manis di dalam kotak itu. Lagi katanya, “Kau bukannya akan menikah dengan Avantie? Dan lagi, aku—”“Aku tidak pernah mengakui pertunanganku, apalagi menikahinya,” potong Damian dengan tenang. Rahang Shanon seperti lepas dari engselnya, ia tidak menyangka kalau selama ini semua kesedihan atas kenyataan rencana pernikahan Damian dan Avantie sia-sia belaka. Padahal pria itu sama sekali tidak menganggap hal tersebut ada.Damian menambahkan, “Aku menunggu sampai kau selesai dengan urusanmu, untuk menikahimu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’. Aku bisa menjadi suamimu.”Belum sempat membalas ucapan Damian, sebuah tawa menggelegar terdengar memasuki ruangannya. “Kalian ini, jangan lupa menutup pintu. Ha! Ha! Ha!” Herv masih saja tergelak, terlebih melihat wajah Shanon yang memerah karena sadar kalau keja

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   50-Case Closed

    50“Me—menagih hutang?!” tanya Shanon dengan wajah panik. Terperangah dengan ucapan Damian.Ia memang harus mengembalikan uang yang dipinjamkan Damian saat membangun Steenkool. Hanya saja selama ini Damian tidak pernah menagih, karena setiap bulan Shanon pasti menyicilnya. “Apa Kakak butuh uangnya segera? Aku tahu aku harus mengembalikan uang modal pertama Steenkool—”Damian menggelengkan kepala, membuat Shanon berhenti bicara. Dengan wajah serius ia menjelaskan, “No. Aku menagih hutang rumah sakitmu.”Rahang Shanon seolah jatuh mendengar ucapan Damian. Satu-satunya kejadian ia harus di rawat di rumah sakit dan menggunakan uang Damian adalah saat pertama kali mereka bertemu. “Apa itu hutang, Mama?” tanya Alden yang berada di pangkuan Shanon. “Uhm … Mama pernah pakai uang Uncle Damian untuk berobat dan harus dikembalikan.” Shanon mencoba menjelaskan pada putranya sesederhana mungkin. Dalam hati, Shanon menganalisa permintaan Damian itu. ‘Tapi apa dia bakal nagih hutang 10 tahun la

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   49-Menagih Hutang

    “Saya menolak!” raung Pamella yang tidak mungkin membiarkan kondisi suaminya terpampang di media.Tidak mungkin ia membiarkan teman-teman sosialitanya mengetahui kondisi mengerikan seperti ini.Spontan Shanon tergelak mendengar penolakan Pamella. “Anda sadar siapa saya, tapi tidak satupun saya dengar permintaan maaf dari Anda. Begitu angkuhnya?” tegur Shanon. Pamella tertegun. Ia tidak tahu bagaimana membalas ucapan Shanon itu.Dan karena Pamella belum berkomentar atau menunjukkan tanda kalau ia menyerah dan meminta maaf pada Shanon, owner dari Steenkool itu menambahkan, “Saya hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkan kalian berdua. Kalau semua tahu Anda yang mandul, apakah ada lagi gunanya Anda untuk keluarga Simons?” Seperti ada yang menumpahkan es di atas tengkuk dan punggungnya, Pamella merasakan sekujur tubuhnya mulai mendingin. Panik. Pura-pura tenang, Pamella menghardik Shanon, “Apa maksud Anda?!”“Kalau Anda menundukkan kepala sampai ke lantai, saya berpikir untuk men

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   48-Awak Media

    “Lantas, apa yang Anda mau dari saya sekarang, Nona Shanon? Saya tidak memiliki apa-apa lagi jika saya lepas dari keluarga istri saya.”Netra Shanon menyipit mendengar omong kosong Julian. Ia bertanya dengan santai walau sebenarnya ia tidak mengerti kalimat Julian, “Apa maksudnya dengan lepas dari keluarga istri?”Dengan percaya dirinya Julian menjelaskan, “Jika Anda bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban saya setelah apa yang saya perbu—”“Cukup!” sentak Shanon memotong ucapan Julian. Lagi ia mengeluhkan kedangkalan pikiran pria itu, “Itu pemikiran yang sangat menjijikkan, Tuan Julian. Saya tidak percaya Anda bisa berpikir ke arah sana.”Baru saja Julian membelah mulutnya, Shanon buru-buru menyelak, “Kalau Anda tanya apa yang saya mau, itu adalah kehancuran hidup Anda.”Shanon mengambil sebuah benda yang biasa dipakai oleh para pencukur rambut pria dan menunjukkannya pada Julian.“Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.” Seringai kebencian di wajah Shanon semakin terlihat. Sementara i

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   47-Secangkir Kopi

    “Tuan Julian, bagaimana Anda bisa melakukan semua ini? Pada owner perusahaan pula!” tuduh salah satu direktur wanita yang ia kenal bernama Salome—direktur bidang personalia.Julian tercengang mengetahui bahwa wanita yang sekarang sedang duduk di kursi CEO itu adalah sang pemilik Steenkool. Wanita yang ia ketahui bernama Shanon. Hanya saja, ia tidak paham dengan konteks pembicaraan Salome barusan. Hal itu membuatnya merasa sembarangan dituduh. Namun, ia menyadari posisinya sebagai orang baru dan bertanya, “Apa maksud Anda? Melakukan apa? Saya? Soal apa ini?”Menjawab pertanyaan itu, Shanon melemparkan sesuatu ke lantai, dekat kaki Julian. Spontan Julian menunduk dan menatap apa yang dilempar kepadanya tadi.Netra Julian langsung membelalak melihat foto-foto yang memuat dirinya di dalam sana. Bukan sekedar foto biasa, ia bahkan bisa menyadari kalau ia sedang memaksakan dirinya, menyetubuhi seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Shanon. Ia mengenali dari bentuk rambutnya yang

  • Kembalinya Sang Sekretaris Teraniaya   46-Ingatan yang Terlupakan

    “Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status