Share

2-Kebaikan Di Tengah Keputusasaan

“Ya, Shanon.”

Harold membalas singkat setelah berulang kali ia mendengar kalimat yang keluar dari mulut bibir Shanon. Belum pernah dalam masa kerjanya hingga hari ini, harus menghadapi kejadian mengenaskan seperti tadi.

Air mata Shanon tak berhenti mengalir.

Harold pun melirik ke arah sekretaris baru yang sudah dipecat di hari pertamanya bekerja itu. Helaan napas putus asa pun terlepas pelan dari bibir sang manajer HRD. ‘Naas.’

Mau tak mau netra Harold menelusur, memperhatikan bagaimana bentuk rambut Shanon yang sudah berantakan tidak karuan, karena digunting sembarangan oleh Pamella. Belum lagi kopi yang sudah mengering di kepalanya.

Tapi tak ada yang bisa dilakukan olehnya, walau ia memikul jabatan yang cukup penting di perusahaan.

Mereka tiba di depan teras lobi. Harold pun hanya bisa mengingatkan Shanon, “Segera bereskan barang-barangmu dari apartemen dinas itu. Selamat tinggal.”

Shanon mematung di depan lobi dengan air mata berurai tak henti. Pandangannya yang tengah menatap punggung Harold dari kejauhan kini mulai terfokus pada pantulan dirinya di pintu kaca gedung tersebut.

Pipi Shanon terlihat sangat merah, ada beberapa goresan merah tipis di sana. Kemungkinan terbaret oleh kuku Pamella yang panjang.

Riasannya pun sudah berantakan karena air mata dan juga kopi hitam yang sudah mengering di wajahnya.

Penampilannya saat ini benar-benar menyedihkan. Tangis senyap kembali membuat bahunya berguncang.

Rambut ikalnya sudah berantakan, panjang pendek tidak beraturan. Basah dan lepek seperti tikus tercebur dalam got. Ada sedikit ampas kopi hitam bertebaran di atas kepalanya.

Kota Tinseltown selalu ramai dengan orang lalu-lalang. Shanon pun hanya bisa menunduk ketika orang-orang yang berpapasan mendengkus geli melihat penampilannya.

‘Sebaiknya aku segera pulang dan membersihkan diri,’ batinnya sambil berdiri di barisan penunggu taksi.

Bibir Shanon bergetar hebat. Menahan tangis yang tak sudi ia pertontonkan di tempat umum. Untunglah tak lama ia menunggu giliran mendapatkan taksi.

Tiba di apartemen, ia segera membersihkan diri. Dan berganti pakaian. Sesuai perintah Harold untuk segera mengosongkan apartemen dinas itu, Shanon pun segera mengerjakannya.

Namun, tengah membereskan pakaiannya, Shanon mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia pun meninggalkan apa yang sedang dikerjakannya dan membukakan pintu untuk tamu tak diundang tersebut.

“Ya—“

Tak disangka, ternyata yang sekarang tengah berdiri di hadapannya adalah Pamella. Wajah wanita paruh baya itu sangat mengerikan.

“Nyo—nyonya—“

“Masih berani kamu ada di apartemen ini?!” bentak Pamella sambil menarik tubuh Shanon keluar dari kamar, hingga terjatuh di lorong apartemen.

“Sa—saya baru akan—“

Bruk!

Pamella membuang koper milik Shanon ke luar kamar dan melempar semua pakaian gadis malang itu ke lantai di luar kamar.

“Pergi kamu dari sini! Pelakor sialan! Jangan pernah lagi kamu tunjukkan wajahmu di sekitar sini!” raung Pamella.

Tentu saja keributan ini membuat beberapa penghuni apartemen yang sedang ada di tempat langsung keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Mereka juga mendengar ucapan Pamella yang mengatakan bahwa Shanon adalah seorang pelakor.

“Bo—bolehkah saya be—berganti pakaian—“

Blam!

Pintu apartemen itu langsung ditutup oleh Pamella. Jelas, tidak ada lagi akses Shanon untuk masuk ke dalam. Padahal saat ini ia hanya mengenakan jubah mandi.

Shanon menatap beberapa penghuni apartemen yang menatapnya dengan pandangan menuduh. Gadis itu hanya bisa tertunduk menyembunyikan tangisannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Shanon membereskan pakaian yang berhamburan di lantai dan segera berganti baju di kamar mandi umum.

‘Tak ada satupun yang memihakku ...,’ isak Shanon dalam hatinya. Ia mengikat rambutnya dan pergi mencari losmen murah untuk menetap sementara.

Berjalan mengikuti sebuah tanda bertuliskan ‘losmen murah’, kaki Shanon membawanya tiba di depan sebuah losmen tua di area pinggiran kota Tinseltown.

Gadis naas itu bermaksud menggunakan sisa uangnya untuk hidup dan mencari pekerjaan baru.

“Mm ... aku tidak tahu ada losmen di daerah ini,” gumam Shanon bermonolog. “Tapi aku seperti pernah ke tempat ini.”

Ragu-ragu, Shanon mendorong terbuka pintu kayu yang dihiasi gantungan bertuliskan “Tempo Losmen”.

Sambil berjalan perlahan ke arah meja resepsionis yang sederhana, netranya menjelajah pemandangan yang disajikan losmen tersebut.

‘Walau terlihat seperti mau rubuh, ternyata dalamnya cukup nyaman,’ batin Shanon.

Kakinya berhenti di depan meja resepsionis. Netra Shanon pun disambut dengan tatapan ramah dari seorang pria berusia senior.

Sang resepsionis tua itu menyapanya hangat, “Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?”

“Uhm ... selamat siang,” balas Shanon.

Kemudian menambahkan, “Apa ada kamar kosong? Ka—kalau saya menyewanya secara mingguan atau bulanan, berapa harganya?”

‘Kuharap harganya tidak terlalu mahal.’ Shanon berdoa dalam hati, berharap pria tua itu memberinya harga diskon.

“Mingguan atau bulanan? Tunggu sebentar.”

Pria tua itu membuka laci dan mengambil sebuah kertas kaku, lalu menyodorkannya pada Shanon.

“Ini daftar harganya.”

Shanon mengangguk sambil tersenyum canggung begitu melihat tulisan pada kertas kaku itu, sementara otaknya mulai menghitung.

‘Harian 45 dollar. Kalau aku mau tinggal selama seminggu, harus keluar uang 300 dollar. Satu bulan 1.200 dollar. Oh Tuhan, apa aku bisa hidup setelah ini?’

“Ka—kalau begitu sa—satu bulan saja. Saya bayar sekarang.” Shanon segera mengeluarkan ponselnya dan melakukan transaksi.

Uang dalam rekeningnya hanya tersisa enam ribu dollar. Shanon tidak yakin apakah ia akan bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, sebelum uangnya habis.

Setelah mencetak bukti pembayaran, pria tua itu menyerahkannya pada Shanon sambil berkata, “Semoga betah, Nona. Kalau butuh sesuatu, cari saya saja—Genio.”

***      

Tiga minggu berlalu.

Di akhir minggu ke tiga, usaha Shanon mencari pekerjaan baru pun akhirnya membuahkan hasil. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil sebagai staf sekretaris.

Shanon pun harus mencari tempat tinggal, yang lokasinya dekat dengan kantor baru.

“Paman Genio, aku pamit.” Shanon membungkuk penuh ucapan terima kasih.

Genio cukup terlihat sedih, karena selama ini, ia lumayan terhibur ditemani Shanon di meja kasir, sambil menikmati camilan gratis darinya. “Sedih harus berpisah darimu, Nona. Tapi aku turut bahagia, karena sepertinya kau sudah menemukan apa yang kau butuhkan, hm?”

Shanon mengangguk dengan penuh semangat. Wajahnya berbinar seolah kehidupan kembali meraja. “Aku sudah mendapatkan pekerjaan. Terima kasih untuk semuanya, Paman.”

“Sama-sama, Nona.” Genio tersenyum sambil mengutak-atik mesin kasirnya.

Laci penyimpanan uang pun terbuka. Pria tua penunggu meja kasir itu mengambil beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada Shanon.

Dahi Shanon berkerut bingung. Kalaupun ingin mengembalikan kelebihan pembayaran, lembaran uangnya tidak akan sebanyak itu.

Gadis itu pun memutuskan untuk bertanya, “Apa ini, Paman? Kau tak perlu mengembalikan kelebihannya. Aku sangat terbantu dengan adanya tempat ini.”

Genio terlihat berpikir sesaat, sebelum menjawab, “Pemilik tempat ini memintaku untuk mengembalikan semua uangmu. Ia sudah membayar semuanya. Uang sewa kamar dan juga uang makanmu.”

Shanon ternganga. Ia tak pernah punya kenalan seorang pemilik losmen seperti ini.

“Apa aku mengenal pemilik losmen ini, Paman Genio?” tanya Shanon keheranan.

Lagi, Genio terlihat seperti kesulitan menjawab pertanyaan Shanon. Pada akhirnya ia mengangguk.

“Menurut beliau, Anda mengenalnya, Nona.”

Namun, baru saja Shanon hendak menanyakan nama sang pemilik losmen, Genio menambahkan, “Beliau tidak ingin memberitahukan namanya. Kalau-kalau kau penasaran, Nona Shanon.”

Shanon kembali menutup mulutnya yang tadi terlanjur menganga hendak bertanya. Pandangannya kembali fokus pada tumpukan lembar uang di atas meja kasir Genio.

‘Kalau kutebak, ini jumlahnya lebih dari tiga ribu dollar. Padahal aku yakin, uang makanku tidak akan semahal ini.’ Shanon berkonflik dalam hati.

“Nona, sepertinya taksimu menunggu di depan lobi?” tanya Genio yang melihat mobil sedan kuning dengan lampu putih di atas kap bertuliskan ‘taxi’.

“Astaga! Aku harus bagaimana dengan uang ini, Paman?” Shanon berbalik menatap taksi yang sudah menunggunya kemudian kembali menghadap Genio, panik.

Gadis muda itu masih belum memutuskan apakah akan menerima kebaikan hati pemilik penginapan yang asing baginya itu, atau mengambil uang sesuai porsinya.

Melihat Shanon masih ragu, tanpa basa-basi Genio meraup lembaran uang itu dan menjejalkannya pada tangan Shanon yang diraihnya dengan sedikit kencang.

“Bawa semua. Semua ini milikmu, Nona. Percaya saja padaku.”

Shanon menatap uang yang kini sudah ada di tangannya. Ia pun memutuskan untuk mengangguk dan berterima kasih terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan losmen.

‘Siapapun Anda, terima kasih.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status