Share

2 kasus 1 masalah

"Hyung. Maaf, bukan maksudku menghina gadis pujaanmu. Tapi, aku tahu betul siapa, dan bagaimana sifat Zora," balas Elmo, dengan suara sedikit mengecil.

Benedict melihat kedua netra Elmo dengan seksama. Ia tidak menyangka, pria yang ia kenal selama belasan tahun lamanya, menghina gadis pujaannya. Hatinya terbakar api emosi. Ingin rasanya ia memberi tanda merah lima jari di pipi Elmo, tetapi ia urungkan, lantaran ada perasaan persahabatan.

"Ah sudahlah. Mau kalian suka atau tidak, bagaimanapun juga aku akan tetap mencintai Zora. Dan aku akan membuktikan padanya bahwa aku mencintainya," sanggah Benedict.

Benedict masih saja bersikeras atas pendapatnya. Baginya tidak ada gadis lain selain Zora. Dan apa pun akan dilakukan oleh Benedict, meski kedua sahabatnya menentang dirinya untuk terus maju berjuang mendapatkan cinta Zora.

"Oh ya? Lalu dengan cara apa kau akan membuktikannya? Dengan membelikan barang-barang mahal? Begitukah, Hyung?" sambung Lee.

"Kalau iya. Lalu kenapa? Aku akan mencari pekerjaan di desa. Lagipula menunggu masa panen sangat lama, maka aku bisa memanfaatkan waktu ini untuk bekerja di tempat lain," tekad Benedict.

Melihat sikap keras kepala Benedict, sudah dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun yang mampu merubah cara berpikirnya. Mau tak mau Elmo dan Lee hanya bisa pasrah melihat keputusan yang di ambil.

"Elmo cepat antarkan aku pulang ke rumah. Aku ingin secepatnya membuat surat lamaran pekerjaan," pinta Benedict.

Home sweet home.

Sebuah kendaraan sedan Peugeot keluaran terbaru berhenti di sebuah bangunan seluas 150 meter. Dari luar masih tampak terlihat dengan jelas rumah pedesaan yang begitu kental dengan nuansa klasik.

Hanok atau yang disebut juga dengan rumah adat Korea ini, dibangun dari bahan-bahan alami, seperti kayu, tanah, batu, jerami, genting dan kertas.

Warna tembok luar masih tampak basah. Terlihat seperti baru saja di cat ulang oleh pemilik rumahnya. "Sepertinya tembok luar baru saja dicat ulang. Siapa yang melakukannya?" batin Benedict.

"Baiklah Hyung, kita sudah sampai di rumahmu," ucap Elmo.

"Kalian tak ingin mampir sebentar, masuk ke dalam?" balas Benedict berbasa-basi.

"Tidak, terima kasih. Ayahku mengirim pesan, agar pulang tidak terlalu larut," jawab Elmo.

"Bagaimana dengan kau, Lee?" lanjut Benedict.

"Maaf Hyung, tapi ini sudah terlalu malam. Aku takut jika kedua orang tuaku cemas."

"Baiklah, terima kasih atas tumpangannya Elmo. Dan terima kasih juga untuk acara yang berkesan, hari ini. Aku pamit duluan. Kalian hati-hati di jalan ya." Benedict pun pamit sambil keluar dari mobil.

Dengan perlahan menutup pintu bagian belakang, kemudian melambaikan tangan pada Elmo serta Lee. Setelah itu, pria berusia dua puluh enam tahun itu, masuk ke dalam hanok.

Beberapa menit, setelah deru mesin mobil tak terdengar, Benedict masih berdiri di halaman depan. Merenungi nasibnya ke depan.

Termenung dalam temaram malam, dan dinginnya malam, Benedict hanya bisa menatap sedih kondisinya saat ini. Seorang pemuda yang dipaksa oleh keadaan untuk menjadi tulang punggung keluarga, sejak ia masih berusia 15 tahun. Hal ini ia lakukan, lantaran sang Ayah sudah tak mampu lagi bekerja secara maksimal.

Hembusan nafasnya menjadi teman sepinya saat ini. Dipandanginya bintang di langit dan diajaknya bersenda gurau.

"Hey Bintang, aku ingin bekerja di luar sana, tak lagi berkebun dan berladang. Setidaknya dengan aku bekerja di luar kebun, aku bisa membantu ayah membayar uang sekolah adik-adikku," lirih Benedict,

menghela nafas cukup dalam dan terasa begitu berat.

Tak lama terdengar suara bariton dari dalam rumah. Semakin lama, semakin terdengar dekat. "Kaukah itu, Benedict?" tanya seorang pria dari dalam rumah.

Terdengar suara kursi roda reyot dengan gesekkan dari besi tua berpadu dengan lantai yang terbuat dari semen. Dari dalam rumah, terdengar suara batuk bercampur dengan suara kursi roda yang lemahnya dari tangan seorang pria paruh baya.

"Ya ayah, ini aku," jawab Ben dengan nada terkejut.

Tak lama pria paruh baya itu sudah berada di hadapan Benedict. Duduk di sebuah kursi roda, selama belasan tahun akibat kecelakaan lalu lintas sebelas tahun silam.

"Kenapa baru pulang selarut ini, nak? Apa kau sudah makan?" tanya pria berambut putih itu dengan suara khawatir.

"Sudah yah. Jangan khawatirkan aku," jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Lalu kenapa pulang sampai larut begini? Apakah ada pekerjaan di kebun tuan Kim?" lanjut pria berambut putih.

"Tidak ada pekerjaan. Aku hanya meminjam buku-buku di perpustakaan Elmo saja." Benedict menjawabnya dengan sedikit berbohong.

Jawaban Benedict membuat pria paruh baya itu mengernyitkan keningnya. Ia begitu hafal dengan gelagat dari putranya, ketika ia tengah berbohong. Di pandanginya dalam- dalam kedua netra putranya.

"Kau sedang tak berbohong padaku kan, Ben?"

Benedict membalikkan tubuh menghadap ke arah ayahnya. Berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, Benedict tersenyum simpul sambil menjawab pertanyaan pria berambut pirang, "Tidak ayah. Mana mungkin aku berani berbohong padamu."

Pria paruh baya itu terus saja menatap dalam kedua netra putranya. Mencoba membaca pikiran serta memahami perasaan putranya yang lelah, entah itu lelah karena harus menanggung beban hidup atau lelah karena seharian ia baru kembali bekerja.

"Ya sudah. Malam semakin larut, kau istirahat saja. Lagipula besok kau harus bangun lebih pagi. Tuan Min memintamu untuk bekerja di kebun lebih awal," ucapnya.

Tanpa banyak cakap, Benedict segera masuk ke dalam kamar. Sebelum tidur, ia berusaha mencari cara agar bisa berbicara pada ayahnya.

Bicara mengenai untuk bisa bekerja di luar kebun. Selain itu, ia juga harus menyiapkan mentalnya. Benedict sudah bisa membaca situasi ke depan, dimana sang Ayah tidak akan pernah menyetujuinya.

Sepanjang malam berlangsung, Benedict masih terjaga. Gelisah tak menentu dalam pikiran dan jiwanya, membolak-balikkan tubuhnya berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, tetap saja pikiran Ben masih saja berlutut mengenai alasan apa yang akan ia kemukakan.

morning

"Oase … Osaze, ayo bangun nak. Sudah pukul enam, nanti kalian terlambat ke sekolah," teriak Tuan Alexi dari arah dapur.

Menyiapkan sarapan walaupun hanya dengan mie ramen buatan sendiri, tak membuat Tuan Alexi merasa kewalahan meskipun kedua kakinya sudah tak berfungsi dengan sempurna. Dirinya berusaha untuk bisa mengurus pekerjaan rumah tangga. Ia tak ingin menjadi beban, dengan hanya berdiam diri dan berpangku tangan saja.

Pagi ini, tak seperti biasanya kedua anak kembar Tuan Alexi dari istri keduanya, Oase dan Osaze masih menutupi diri dengan selimut tebal. Bukan Karena cuaca dingin yang membuat mereka malas untuk beranjak dari kasur empuk.

Akan tetapi, guru Tata Usaha sudah memberikan surat peringatan untuk segera membayar uang sekolah sekaligus uang untuk ujian semester nanti.

"Oase … Osaze, Ayo cepat untuk bersiap ke sekolah," teriak Tuan Alexi sekali lagi dari arah dapur.

Sementara, dari dalam balik selimut, kedua anak kembar ini masih saja sibuk berdebat apakah akan memberitahukan pada ayahnya atau berbohong saja.

"Bagaimana ini Oase, apa lebih baik kita berbohong saja ya? Kita katakan pada ayah, kalau hari ini libur," ucap Osaze.

"Tapi … kalau sampai ketahuan oleh kak Brie, kita berbohong, bagaimana? Pasti ayah akan lebih marah dan menghukum Kita. Sudahlah Oase, sebaliknya Kita katakan saja yang sejujurnya saja," usul pria muda yang usianya hanya beda lima menit lebih dulu dari Oase.

"Bagaimana kalau Kita suit saja. Yang menang, maka harus mau melakukannya," balas Oase.

Belum sempat mereka melakukan suit jepang, tiba-tiba kaki mereka terasa lebih dingin. Selimut tebal bergambar kartun pororo berwarna biru sudah bergeser dari tempat tidur mereka.

Dan kini wajah cantik berambut pirang, sudah ada di hadapan mereka berdua, sambil berteriak dengan nada jahil. "Nah, ya ketahuan. Bukannya bergegas mandi dan sarapan, malah enak-enakkan di kasur. Yah, Oase dan Osaze malas untuk bangun."

"Iisshh kakak apa-apaan sih. Berisik tahu!" Seru Oase.

"Uhh … lucu banget sih kalau mukanya kesel begitu. Hihihi," ledek gadis pemilik netra berwarna emerald, sambil mencubit kedua pipi salah satu adik kembarnya.

"Iihh sakit tahu," ketus Oase.

"Biarin aja. Weeekkk," ledek gadis itu. "Kalau nggak mau di cubit, makanya lekas bangun dari tempat tidur, lalu mandi dan sarapan. Cepat! Pokoknya dalam waktu lima belas menit, kalian masih berpakaian piyama. Hmmm… lihat saja nanti, hehehe," lanjut gadis berambut pirang meledek kedua adik kembarnya.

Beberapa menit setelah kakak perempuan mereka keluar dari kamar tidur. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya pada ayahnya.

"Oase, kita katakan saja yuk yang sejujurnya pada ayah dan kakak. Aku tak ingin terkena hukuman oleh ayah kelak," bisik Osaze.

“Menurutku tidak saat ini Osaze, lebih baik kita ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status