Tiga hari kemudian
Selama tiga hari, baik Benedict maupun kedua adik kembarnya, masih menyimpan permasalahannya masing masing. Mereka masih belum mau mengutarakan pada sang Ayah.Hingga sore hari ini, Oase dan Osaze masih mengatakan bahwa mereka tidak sekolah karena libur. Bukan libur nasional, melainkan karena para guru sedang rapat.sudah tiga hari ini, Oase dan Osaze memutuskan untuk membantu kakak tertua mereka untuk bekerja di kebun. Sepulang dari berkebun, mereka mendapati sang Ayah sudah berada di depan pintu dengan wajah bermuram durja."Kami pulang," sapa ketiga putra Tuan Alexi.Mata Tuan Alexi bak kilat yang menyambar. Tak sedikitpun ia berkedip, memandang penuh amarah pada kedua anak kembarnya."Kalian berdua, berhenti! Tetap di sini. Ada yang ingin aku tanyakan pada kalian!" murka Tuan Alexi.Kedua anak kembar itu mematuhi perintah ayahnya. Tak Ada niatan dari mereka untuk melangkahkan kakinya masuk ke dalam."Ada apa ini, Yah?" tanya Benedict penuh curiga melihat reaksi wajah ayahnya."Kau tanyakan sendiri pada kedua adikmu ini, apa yang telah mereka perbuat!" teriak Tuan Alexi.Pria berbadan tegap itu langsung melihat kedua adik kembarnya sambil mengernyitkan keningnya.Kedua anak laki-laki itu langsung bertingkah aneh. Wajah mereka tertunduk, dan tak berani sedikit pun untuk melirik ke arah kakak tertua mereka."Oase … Osaze, ada apa dengan kalian berdua? Apakah kalian membuat masalah di sekolah?" tanya Benedict dengan nada lembut.Kedua tubuh anak kembar itu gemetar, tak kuasa untuk menjawab pertanyaan kakaknya."Ayo cepat. Jawab pertanyaan kakakmu! Kalau kalian tak bisa menjawabnya, biar aku yang akan menjawabnya!" tantang Tuan Alexi dengan raut wajah yang begitu tegang.Benedict semakin tidak mengerti akan maksud dari ayahnya. Selama ini, kedua adiknya dikenal tidak pernah membuat onar, kalaupun ada masalah, mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan bijak tanpa perselisihan."Maaf ayah. Tapi aku semakin tidak mengerti akan maksud dari ucapanmu. Memangnya apa yang telah mereka perbuat?" timpal Benedict."Mereka telah berani berbohong padaku! Sekarang kalian berdua tidak bisa mengelaknya! Cepat katakan padaku, kenapa kalian tidak sekolah selama tiga hari ini!" cecar Tuan Alexi.Melihat raut wajah ayahnya yang terlihat begitu menyeramkan, dengan mata melotot hingga mau keluar, membuat mereka benar-benar tak ada cara lain, selain mengatakan yang sebenarnya."Ayo cepat jawab, kenapa kalian tidak masuk sekolah? Kata kalian, ‘sekolah libur’, bukan? ‘Guru-guru sedang rapat’. Tapi apa? Baru saja, aku melihat teman-temanmu baru pulang sekolah, dan mereka mengatakan tidak ada libur karena guru-guru sedang rapat!" tekan Tuan Alexi.Sambil berurai air mata, mereka pun menjawab pertanyaan pria berusia lima puluh tahun itu, "Maafkan kami,Yah. Kami berdua tidak masuk sekolah, lantaran sudah tiga bulan, belum bayar uang SPP, sekaligus belum membayar uang untuk ujian semester."Tubuh lemah Tuan Alexi lemas bukan main mendengar jawaban nanar dari bibir salah satu anak kembarnya. Ia lupa bahwa selama tiga bulan ini, dirinya memang telah mengabaikan kebutuhan sekolah mereka."Apa? Kalian belum membayar uang SPP selama tiga bulan? Tapi … tapi … bukankah saat itu, ayah meminta uang padaku untuk membayar uang SPP kalian?" Kini Benedict bertanya pada sang Ayah dengan penuh emosi.Pria pemilik kulit putih ini berjalan menghampiri kursi roda ayahnya dengan penuh emosi. Kedua tangannya saling mengepal, ingin meluapkan rasa kesal dan amarahnya dengan meninju atau memukul."Cepat katakan padaku, Ayah. Kau kemanakan uang untuk membayar sekolah adik-adik?!" cecar Benedict sambil mengepalkan tangan kanan dan mengayunkannya ke arah dinding batu bata berwarna merah.Ayunan kepalan tangan Benedict begitu kencang ke arah tembok batu bata berulang kali, hingga beberapa jarinya memar dan terluka. Tak hanya itu, tembok luar itu rapuh dan jatuh berserakan ke lantai.Melihat amarah sang kakak, mereka berdua langsung melipatkan kedua lutut, bertumpu setengah berdiri. Tak lama, kedua anak kembar itu berinisiatif menundukkan kepala sampai mencium tanah seraya meminta maaf, "Maafkan kami, Ayah … kakak. Kami tidak ingin memberitahukan kepada kalian semua. Dan sebenarnya, kami juga sudah memutuskan untuk berhenti sekolah, jika memang sudah tidak ada biaya lagi.""Apa? Coba ulangi lagi ucapan kalian barusan? ‘Berhenti sekolah’?" tekan Benedict.Bak gayung bersambut, kejadian hari ini seperti telah direstui oleh Sang Hyang Widhi untuknya bekerja, mencari tambahan selain bekerja di perkebunan. Dengan perasaan mantap dan yakin, Benedict menanggapi pernyataan kedua adik kembarnya dengan tenang."Tenang saja, kalian tidak akan putus sekolah. Kalau begitu, baiklah … akan kuputuskan, aku akan mencari tambahan, dengan bekerja diluar perkebunan," tekad Benedict.Tuan Alexi mendongakkan wajahnya keatas, lalu menatap tajam kedua netra putra sulungnya. "Kau tak boleh pergi kemana pun! Bekerja saja di perkebunan itu sudah cukup!"Tak terima dengan penolakkan sang Ayah, Benedict langsung meninggikan oktafnya. "Cukup? Kau bilang cukup? Sekarang aku tanya padamu, di mana uang SPP bulanan mereka? Apakah untuk berjudi?""Tidak! Sekalipun aku tidak pernah melakukan hal hina seperti itu. Maaf, jika aku juga tidak jujur pada kalian. Uang bulanan Oase dan Osaze dipergunakan untuk membayar bunga hutang pada lintah darat. Bunganya begitu tinggi," lirih Tuan Alexi.Benedict mengangguk sekaligus tak percaya, bahwa selama ini, perekonomian keluarganya sangat terpuruk karena lintah darat. Ia berpikir bahwa, gaji bulanan habis memang dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan adik-adik serta kebutuhan rumah.Tubuh Benedict lemas, hingga ia tidak sadar jatuh terduduk. Wajahnya tertunduk, dan air matanya mengalir deras. Pikirannya sudah bulat, yakni bekerja diluar area perkebunan. Ia tak peduli, jika ayahnya tak mengizinkannya."Suka atau tidak, aku tetap akan memutuskan untuk bekerja diluar area perkebunan. Lagipula saat ini, sedang musim tanam, sehingga masih bisa bekerja di tempat lain, hingga musim panen tiba," sergah Benedict.Benedict pun segera masuk ke dalam menuju kamar mandi. Ia berjalan dengan tegap penuh emosi.Pikirannya sedang kalut, butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Hanya dengan berendam air panaslah, setidaknya ia bisa memikirkan masalah dengan baik.Satu jam kemudianBerhasil menenangkan diri, dengan membenamkan diri di dalam bak air panas, Benedict bersiap keluar untuk mencari toko-toko yang membutuhkan tenaganya. Meskipun hari mulai gelap, tetapi tak memadamkan semangat dalam dirinya untuk pergi mencari pekerjaan.Memakai kaos oblong dibalut dengan kemeja serta baju hangat tebal polos berwarna abu-abu, serta dipadupadankan dengan celana kulot tebal, Benedict siap menerjang dinginnya malam.Keluar dari kamar, ia mendapati ayahnya sedang menonton acara TV kesukaannya, yakni membahas tempat-tempat bersejarah.Benedict hanya menatapnya sebentar lalu berjalan menuju pintu keluar. Baru saja, pria muda itu melangkahkan kakinya, Tuan Alexi memanggil nama putra sulungnya. "Benedict. Hendak ke mana kau?""Ingin menyegarkan pikiranku saja," jawab Benedict sambil terus berlalu."Sampai kapanpun, ayah tidak akan memperbolehkanmu bekerja di luar perkebunan!" seru pria yang pernah bekerja sebagai polisi di London.Lagi, Benedict harus mendengar ucapan yang tak masuk akal itu. Tentu saja tak masuk akal, memangnya alasan apa yang tidak memperbolehkan dirinya untuk tidak bekerja di luar perkebunan.Merasa kesal mendengar seruan sang Ayah, suara Benedict pun tinggi kembali. "Apa alasan ayah, tidak memperbolehkan aku bekerja di luar perkebunan?"Kedua netra Tuan Alexi melotot tajam ke arah putranya. Otaknya membeku seketika, bibirnya gemetar. Ia sadar, bahwa putranya akan balik bertanya mengapa ia tidak memperbolehkan bekerja di luar perkebunan. Namun, pria paruh baya itu masih belum bisa mengutarakan jawaban yang tepat."Selama kau tidak bisa menjawab pertanyaanku, maka selama itu juga kau tidak bisa melarangku untuk bekerja di luar perkebunan!" tantang Benedict."Kau mengancamku?!" ketus Tuan Alexi sambil mengarahkan kursi roda menuju Benedict berdiri. "Dengar ya anak muda yang sok tahu! Aku melarangmu, karena aku tak ingin hal buruk terjadi untuk yang kedua kalinya. Cukup sudah aku kehilangan ibumu!" Tuan Alexi murka dan mulai melempar beberapa barang pecah belah yang terbuat dari tanah liat ke arah dinding.Rasa takut muncul melihat kemarahan sang Ayah. Saat pria paruh baya itu sudah mulai melempar barang, artinya masalah ini sungguh serius. Dalam benak Benedict muncul begitu banyak pertanyaan. Salah satunya adalah kenapa ayahnya tidak langsung saja mengungkapkan alasan di balik tidak boleh bekerja di luar perkebunan.Benedict mendengus kesal,dan meninggalkan ayahnya di ruang tengah, seorang diri. Tanpa merasakan nikmatnya makan malam, yang sudah disajikan dengan rapih di tempat yang terbuat dari batu kali berbentuk bulat."Kau tidak bisa pergi begitu saja tanpa mendengarkan aku anak muda! Cepat kembali!" Murka Tuan Alexi melemparkan barang-barang yang ada di hadapannya ke arah pintu yang terbuat dari bambu kuning serta dipadupadankan dengan berbagai ornamen kaca di tengah.Keadaan rumah kacau balau. Lantai rumah berserakan akan pecahan kepingan mulai dari sebuah tempat berbentuk segitiga sebagai tempat untuk meletakkan abu tembakau. Kemudian sebuah tempat berbentuk silinder, tingginya
“Jangan pernah berdiri di depan meja kasir, dengan penampilan kumuhmu itu! Kau akan membuat semua tamuku kabur!” hardik wanita pemilik kedai makanan dan minuman tradisional korea.“Ma … maafkan aku, aku ….” belum sempat Ben meneruskan kembali, wanita paruh baya itu sudah memotong pembicaraannya.“Aish … sudah! Aku tidak ingin mendengar semua alasanmu itu. Sebaiknya kau tunggu di sini, sampai aku kembali,” titah wanita berbaju hanbok.Ben tidak menjawab dengan perkataan, hanya memberikan sebuah tanda bahwa ia mengerti akan ucapan wanita yang ada di hadapannya, yakni sebuah anggukan kepala.Wanita paruh baya itu mengangkat kepalanya ke atas sesaat kemudian keluar dari ruangan untuk menyelesaikan pekerjaannya, yakni mengantarkan beberapa makanan dan minuman ke meja tamu.Sambil menunggu wanita paruh baya, Ben mulai memberanikan diri untuk melihat-lihat apa isi dalam ruangan tersebut. Sebuah ruangan yang bisa dikatakan cukup luas, yang dipenuhi oleh berbagai bahan baku, seperti gandum, te
“Ben ….” teriak Tuan Alexi saat kedua matanya masih terpejam dalam mimpi buruknya.Tak lama kedua netra Tuan Alexi terbuka lebar. tubuhnya berkeringat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia pun menoleh ke arah sekitar, mencoba memahami dimana dirinya berada saat ini.Dipandanginya warna cat dinding, letak meja, lemari, hingga tempat dirinya berada saat ini, yakni sebuah tempat yang empuk, dan tak lain adalah ranjang tempat tidurnya.Tuan Alexi mulai merunutkan kejadian yang ia alami semalam, mulai dari bertengkar dengan putrinya hingga menunggu putra sulungnya di halaman depan dan tertidur pulas di atas benda yang sudah menemani hidupnya selama dua belas tahun.Setelah mengingat kejadian semalam, Tuan Alexi bergegas melihat waktu di ponselnya, dan langsung menarik kursi rodanya. Diangkatnya perlahan tubuh lemahnya dengan bertumpu pada meja kecil di samping ranjangnya.Berhasil duduk di atas kursi roda, kini tujuan pertamanya adalah menuju kamar putra sulungnya. Ada hal yang harus ia
“Kalau boleh tahu, memangnya apa yang membuat kalian berdua bertengkar?” tanya Tuan Kim, sambil meneguk air bening yang sejuk pada benda yang terbuat dari tanah liat.Tuan Alexi menundukkan wajahnya kembali. Rasa malu menghinggapi dirinya, ketika Tuan Kim mempertanyakan mengenai permasalahan yang membuat mereka berdua bertengkar hebat. Ingin sekali mengatakan permasalahan utamanya, hanya saja, seperti ada yang menahan suara Tuan Alexi untuk berbicara.Tuan Kim menunggu jawaban pasti dari Tuan Alexi. Namun, ia pun mengurungkan untuk mengetahui permasalahan mereka berdua saat melihat raut wajah memerah, dari pria yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya ini.“Baiklah, jika kau tidak ingin memberitahukan padaku. Tidak apa. Apapun itu permasalahannya, bagiku ….” belum sempat Tuan Kim melanjutkan pembicaraannya, Tuan Alexi sudah memotongnya dan memberitahukan permasalahan utamanya. “Masalahnya adalah soal keuangan.”Tuan Kim terkejut mendengar jawaban dari pria yang duduk di sebelah kiriny
“Cepat bunuh orang tua itu. Jika dia mati, maka seluruh kekayaannya tentu saja akan jatuh ke tanganku dan anak-anakkku,” titah seorang pria paruh baya pada seorang dokter yang usianya tak jauh darinya.“Tapi tuan. Bagaimana kalau sampai pihak rumah sakit mencurigaiku? Apakah aku akan mendapat keuntungan, jika aku berhasil membunuh ayah kandungmu?” tanya dokter spesialis jantung yang namanya tersohor di Brooklyn.“Keuntungan? Maksudmu bayaran mahal dariku?” Pria berjanggut tipis itu memicingkan kedua matanya. Salah satu jari dari tangan kanannya menempel pada dagunya. Pikiran pria itu adalah hanyalah kelicikan saja. Memberikan keuntungan pada dokter itu, hanya akan mengurangi hartanya saja. Pria itu menarik nafas dan tersenyum smirk. Iblis dalam dirinya memerintahkannya untuk mengiyakan permintaan sang dokter. Namun, bukanlah uang yang akan ia berikan, melainkan akan membunuh sang dokter dan menghilangkan jejak.“Baiklah. Berapapun kau minta, akan ku berikan,” ucap pria bermanik emera
“Aku ingin kau selalu mengikuti Dokter sialan itu. Dokter yang ku perintahkan untuk segera membunuh orang tua payah itu. Segera laporkan padaku, apakah dia berhasil menyuntik mati ayahku atau tidak!” perintah Tuan Connan dalam hubungan komunikasinya dengan seseorang di seberang sana.Tuan Cana begitu terkejut saat mendengar bahwa putra kesayangan berusaha membunuhnya dengan cara menyuntik mati melalui tangan seorang dokter.Geram dan murka seorang ayah pada putranya. Dalam hatinya hanya berbisik sumpah serapah dan merutuki setiap rencana jahatnya.Tak lama, ia mendengar kembali, suara putra bungsunya yang memerintahkan anak buahnya untuk segera ke lantai tempat dirinya dirawat. “Cepat naik ke lantai 7. Pastikan dokter itu sudah melaksanakan keinginanku. Jangan lupa ketika dokter Jarl sudah menyuntik mati ayahku, bunuh dia, dan ingat … jangan sampai ada jejak, kalau kita membunuh dokter sialan itu.”Bagai tersambar petir di kala musim panas, saat mendengar Tuan Connan telah merencanaka
"Tidak … jangan bunuh aku. Maafkan aku, Tuan Cana," teriak pria yang berprofesi sebagai spesialis tenaga kesehatan khususnya pada jantung, sambil duduk dengan kedua kaki dilipat kebelakang.Pria berambut putih itu tertawa dengan puas. Sudah lama rasanya ia tak merasakan bagaimana tertawa dengan lebar, Karena hal yang lucu.Tuan Cana mendekati Dokter Jarl dan memintanya untuk berbicara empat mata. "Siapa yang ingin membunuhmu, dok? Aku hanya ingin memintamu duduk dan kita bicara empat mata. Aku rasa ada hal yang harus kita bicarakan penting."Merasa malu dengan tingkah lakunya seperti anak kecil, Dokter Jarl pun menurut keinginan orang tua itu. Melihat raut wajah pria tua yang ada dihadapannya begitu berbeda dengan pria yang sudah menjebak dirinya itu. Dokter Jarl menundukkan wajahnya seraya berbisik, "Baiklah, Ka … kalau begitu. Ta … tapi … aku mohon jangan jebak aku lagi. Aku sudah tua, dan keluargaku sangat bergantung padaku.""Tenang saja, kau tak perlu khawatir. Justru aku ingin m
“Wow … wow … ada apa ini, kalian ingin membunuhku ? Aku hanya membawa pesanan untuk pasien di kamar, kenapa kalian menodongkan senjata begitu. Apa salahku?” tanya pemuda berkulit coklat.Kelima anak buah Connan terus saja memeriksa makanan, serta bagian seluruh kereta kecil pengantar makanan. Entah apa yang diperiksa oleh kelima pria berkacamata hitam itu saat memeriksa makanan, mengambil makanan dengan sendok lalu memakannya satu per satu.“Hey … kalian sangat tidak sopan sekali, makanan ini bukan untuk kalian!” seru pemuda berambut keriting dengan volume besar.Kelima pria itu langsung menghentikan suapan mereka. Dengan kompaknya mereka mengernyitkan kening serta tatapan mata yang begitu tajam, selayaknya sebilah golok yang akan menyambar lehernya.“Kami hanya memeriksa apakah makanan ini kau racuni atau tidak. Kalau sampai ada racun dimakanan ini, kami tak akan segan membawamu ke kantor polisi, serta melaporkan langsung pada pemilik rumah sakit ini,” tantang seorang pria bertubuh