Sancho yang kehilangan satu lengannya, dengan pakaian yang compang-camping dan wajah yang kuyu setelah dua hari di laut, kini tak lebih dari seorang pengemis di mata mereka."Saya datang untuk mencari Malvin," kata Sancho, mencoba menjaga sisa-sisa harga dirinya. Salah satu penjaga menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan menghina. "Beraninya kau, pengemis, memanggil nama Raja kami dengan begitu lancang?""Saudara, kau salah paham," kata Sancho cepat, menekan amarahnya. "Saya bukan pengemis. Saya adalah teman lama Raja Malvin, datang dari pedalaman untuk menemuinya."Seorang Ketua Martial Shrine yang agung, kini harus berbicara dengan nada memohon pada dua penjaga rendahan. Penghinaan ini terasa lebih menyakitkan daripada lengannya yang patah.Penjaga itu menatapnya dengan curiga, lalu berkata dengan dingin, "Ikut aku."Sancho mengikuti penjaga itu melewati sebuah istana yang megah, hingga tiba di depan sebuah dinding batu yang buntu. Sang penjaga menekan sebuah mekanisme tersembu
"Tidak perlu dilihat," potong Ryujin, suaranya datar. "Aku bisa menyetujui pelatihan yang akan diselenggarakan oleh keluarga Zellon."Wajah Jazer seketika cerah. "Kalau begitu, terima kasih banyak, Tuan Ryujin.""Namun," lanjut Ryujin. "Aku punya satu syarat."Senyum di wajah Jazer membeku. "Silahkan, Tuan Ryujin, sampaikan," katanya, mencoba menjaga ketenangannya."Pelatihan kali ini," kata Ryujin, menatap lurus ke mata Jazer. "Nathan juga harus ikut serta.""Nathan?" Nama itu terasa seperti belati es yang menusuk jantung Jazer. Ia tertegun, otaknya mencoba memproses informasi yang tak terduga itu. 'Ryujin... secara pribadi meminta Nathan untuk ikut?’Melihat Jazer yang terdiam, mata Ryujin menyipit berbahaya. "Kenapa? Kau tidak setuju?""Bukan! Bukan begitu!" Jazer segera mengibaskan tangannya, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Tentu saja bukan! Hanya saja, tempat pelatihan kali ini sangat berbahaya. Akan ada risiko yang sangat besar. Saya... saya hanya takut sesuatu yang
"Sudah kubilang, Tuan Zellon," kata Kaidar, menikmati momen kemenangannya. "Saya adalah wakil ketua aliansi." Ia dengan santai mengeluarkan sebuah batu giok putih dari sakunya. Di atasnya, terukir seekor elang yang tampak begitu hidup. "Ini adalah tokennya. Anda bisa melihatnya sendiri."Melihat token itu, ekspresi Jazer berubah-ubah. Dengan enggan, ia mengakuinya."Jadi," kata Kaidar, menyeringai. "Ada urusan apa Kepala Keluarga Zellon datang menemuiku hari ini? Apakah tentang proposal untuk mengadakan sebuah kamp pelatihan?"Jazer yang kini telah dikalahkan, menekan amarahnya dan mengangguk kaku. "Benar, ini dokumennya." Ia meletakkan gulungan itu di atas meja di samping Kaidar.Kaidar membolak-balik dokumen itu, lalu alisnya terangkat. "Pulau Draken?""Pulau itu pada awalnya adalah wilayah milik keluarga Zellon. Sangat pantas jika kami menggunakannya untuk acara ini," jawab Jazer."Pulau Draken?" ulang Kaidar, sebuah kenangan pahit terlintas di benaknya. "Pulau itu sekarang hanyala
Seketika, rasa sakit yang luar biasa tajam menghantam benaknya, membuatnya berteriak dan memegangi kepalanya."Sudah kubilang," suara serak di benaknya kini terdengar sangat marah, setiap katanya adalah sebuah ancaman maut. "Jangan pernah berpikir untuk macam-macam dengan gadis itu. Jika kau berani menyentuhnya, bukan hanya kau, bahkan aku pun akan terbakar menjadi abu, terhapus dari eksistensi, dan tidak akan pernah bisa terlahir kembali selamanya."Di dalam benaknya, ancaman sang roh masih terasa dingin, membuat Kaidar merinding. Dia buru-buru menyingkirkan semua pikiran serakah dan tidak patuh itu. Dia sadar, sekecil apa pun niat yang terlintas di kepalanya, entitas yang bersemayam di dalam dirinya itu akan mengetahuinya.Dia baru saja berhasil menenangkan dirinya kembali saat seorang anggota Martial Shrine masuk dengan tergesa-gesa dan membungkuk hormat. "Wakil Ketua, Kepala Keluarga Zellon, Tuan Jazer, meminta izin untuk bertemu. Apa yang harus kami lakukan?"Wakil Ketua.Gelar i
Di tengah keheningan aula utama Martial Shrine yang luas dan dingin, pria berjubah perunggu itu berdiri sendirian. Sisa dari pertemuan para bayangan tadi seakan masih tertinggal di udara. Perlahan, dia menurunkan tudungnya. Cahaya rembulan yang menerobos masuk melalui jendela tinggi menyinari sebuah wajah yang seharusnya sudah lama mati.Kaidar seolah telah terlahir kembali, namun dengan cara yang salah. Kulitnya yang dulu terbakar matahari kini menjadi putih dan halus, memberinya aura yang sedikit feminin. Namun di matanya, kilatan dingin yang familier itu masih ada, kini diperdalam oleh kebencian yang telah mendarah daging. Senyum sinis yang bengis tersungging di bibirnya.‘Nathan... kau selamanya tidak akan pernah menduga, bukan?’ pikirnya, rasa kemenangan yang manis membanjiri dirinya. ‘Bahwa aku tidak hanya akan bergabung dengan Martial Shrine, tetapi juga akan memegang kendali atas seluruh organisasi ini. Hari pembalasanku sudah dekat!’"Sudahlah, jangan terlalu narsis." Tiba-ti
Menyadari apa yang terjadi, Nathan meraung dan menghantamkan telapak tangannya ke cahaya itu. BANG!Sebuah ledakan dahsyat terjadi, tetapi serangannya justru terpental kembali dan menghantam tubuhnya sendiri, membuatnya terlempar ke belakang. Dia baru menyadari, dia telah dijebak di dalam sebuah ruangan yang dilindungi oleh formasi terlarang yang luar biasa kuat. Dia telah dikurung."Paul! Apa artinya semua ini?!" Raungan marah Nathan menggema di dalam ruangan yang kini menjadi penjaranya. Dia memegang Pedang Aruna, dan dengan amarah yang meluap, menebas gerbang besi di hadapannya dengan sekuat tenaga.KLANG!Suara dentang yang memekakkan telinga terdengar. Kekuatan serangan balik yang mengerikan dari formasi terlarang itu membuatnya terlempar mundur beberapa langkah, pergelangan tangannya mati rasa. Di atas gerbang besi yang kokoh itu, tebasannya yang dahsyat hanya meninggalkan sebuah goresan tipis. Melihat itu, dia kembali mengayunkan pedangnya dengan membabi butaKLANG! KLANG! KLA