Home / Rumah Tangga / Kembang Desa Milik Polisi Tampan / Part 4. Pertemuan dengan Sergio

Share

Part 4. Pertemuan dengan Sergio

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2023-06-01 12:31:44

“Bagus! Saya suka jawabanmu.” Sergio terdengar begitu semangat. Tampaknya lelaki itu memang sangat ingin agar aku bergabung sesuai dengan permintaannya.

“Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan. Ingin tahu apa yang harus dilakukan sebagai permulaan. Sebab, benar-benar belum tahu sama sekali seluk-beluk dunia seperti itu.

“Jam makan siang temui saya. Tempatnya akan saya share nanti.”

“Siap.” Aku menjawab dengan semangat. Tertular semangat lelaki itu.

Hanya itu perbincangan kami. Tidak ada bahasan tambahan. Panggilan langsung ia tutup setelahnya. Aku jadi penasaran. Tidak sabar ingin melakukan pekerjaan. Sebab, sudah terlalu lama menanti memegang lembaran banyak uang. Toh, aku hanya diminta bekerja sama. Tidak diminta untuk jual diri sungguhan. Nanti akan kupastikan benar-benar ketika bertemu saat makan siang.

Kulirik jam yang tertera di pojok kiri ponsel. Sudah pukul 09.15 pagi. Jauh terlambat jika harus berangkat kerja. Mungkin aku berhenti saja. Gajinya juga tidak mencukupi, sementara tenaga diperas habis oleh mereka. Jauh-jauh dari kampung ke Jakarta hanya bekerja sebagai cleaning service saja.

Kucari nomor pemilik kost agar bisa bernegosiasi. Setidaknya untuk hari ini saja. Aku tidak tahu harus ke mana membawa barang sebanyak ini. Mencari kost juga tidak semudah itu. Sulit mencari jika tidak dari jauh-jauh hari.

Nada sambung terdengar berbunyi setelah kutekan icon memanggil.

Hanya berselang beberapa detik panggilan langsung diterima.

“Saya tidak ingin mendengar cerita sedih kamu. Sebaiknya cepat tinggalkan kost, karena nanti sore akan ada penghuni yang baru.” Suara lantang wanita paruh baya itu langsung menyambut saat panggilan terhubung.

Ah, rupanya ia sudah tidak mempan lagi jika dibujuk dengan cara lama.

Shit! Begitu cepatnya ia mencari penyewa yang baru tanpa berbicara terlebih dahulu denganku. Aku tahu bangunan kokoh ini memang miliknya dan aku telah terlambat membayar biaya sewa. Namun, bukan berarti ia bisa bersikap seenaknya.

Sial!

“Beri saya waktu, Bu. Saya akan lunasi secepatnya. Saya ada pegang uang lima ratus ribu sekarang. Sisanya bisa saya bayar besok atau lusa.” Aku memelas, berharap agar ia iba.

Namun, sepertinya janji yang aku berikan tidak ingin ia terima. Mungkin karena terlalu sering mendapat janji palsu dariku.

“Saya sibuk, sudah, ya.” Ia langsung memutus panggilan tanpa ingin bicara lebih lama.

Arght! Ingin sekali aku berteriak. Mengeluarkan semua rasa yang selama ini mendekam di dada. Namun, rasanya suara tercekat di tenggorokan.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Harus ke mana. Harus menghubungi siapa.

Nama Sergio langsung terlintas begitu saja. Lekas kucari kembali nama lelaki itu, berharap agar ia bisa membantu.

“Ada apa? Kau melupakan sesuatu?” Ia bertanya dengan begitu santai. Seolah aku adalah teman dekat baginya.

Aku terdiam, menggigit bibir bawah. Ragu meminta bantu.

“Kau butuh bantuan?” Ia menebak dengan benar setelah aku hanya diam.

“Em, begini. Aku diusir dari kost-an, aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Karena ini mendadak sekali. Barang bawaanku cukup banyak.” Aku berucap dengan sungkan.

Takut dicap sebagai wanita apaan. Baru kenal sudah meminta bantuan. Merepotkan.

Terdengar lelaki itu menarik napas kasar. Aku sudah berpikir bahwa ia akan menolak.

“Share lokasimu sekarang. Mumpung tidak ada hal penting yang harus kulakukan.”

Aku menghela napas lega. Setidaknya ada harapan. Sergio juga tampaknya memang berniat membantu.

Cepat, kukirim lokasi di mana aku berada.

“Aku ke sana sekarang.” Ia berucap sebelum menutup panggilan.

Cukup lama aku menunggu di depan teras. Hingga matahari mulai naik dengan sinar yang panas.

Sebuah pesan masuk ketika aku tengah menunggu, kukira dari Sergio. Ternyata bukan.

[Kak, bapak masuk rumah sakit. Tadi jatuh dari tangga pas nukang di rumah Pak Rahmat. BPJS gak berlaku, karena sudah nunggak berbulan-bulan.] Pesan masuk dari Devan.

Aku menarik napas berat. Memang sudah saatnya Bapak berhenti bekerja. Akhir-akhir ini kesehatannya semakin memburuk. Namun, bagaimana lagi. Ada banyak perut yang harus diberi makan. Devan juga terlalu kecil jika diminta untuk bekerja. Ia masih duduk di bangku SMP. Sekolahnya lebih penting dibanding apa pun.

[Butuh uang berapa?] Aku bertanya. Sebab, sudah tahu apa maksud dari pesan itu.

[Belum tau. Bapak baru masuk ruang UGD. Tapi sepertinya kaki kanan bapak patah.]

Ya Tuhan.

Dadaku rasanya nyeri membaca pesan dari Devan. Ternyata hidup memang susah jika tidak punya uang. Jika kebutuhan tercukupi hanya dengan aku yang bekerja di kota, maka Bapak tidak akan cidera seperti itu.

Mata rasanya memanas. Merasa gagal menjadi anak karena belum bisa membahagiakan orang tua. Mereka semakin menua, tapi aku belum juga tampak jalan hidupnya.

Suara klakson mobil membuatku tersentak. Cepat, kuhapus mata yang sembab. Lalu bangkit berdiri saat kaca mobil turun dan muncul wajah lelaki yang menemuiku semalam.

Lelaki itu mematikan mesin mobil dan turun untuk menghampiri.

“Saya bisa membawamu ke tempat yang lebih mewah dari ini.” Ia berucap sembari menatap sekitar.

Tidak peduli seperti apa tempatnya. Yang terpenting bagiku sekarang memiliki tempat untuk berteduh dan istirahat dengan nyaman itu sudah lebih dari cukup.

“Siapa namamu?” Ia bertanya seraya menatapku.

Ah, aku lupa jika kami belum berkenalan sejak pertemuan itu. Aku tahu namanya karena ia memberi kartu nama.

“Dinda Olivia.” Aku menjawab dengan cepat.

Ia terdiam sejenak.

“Sekarang namamu Cindy Michaella.” Ia berucap setelah berpikir sejenak.

Kini giliranku yang diam. Mencoba untuk memahami kalimat itu. Kemudian mengangguk mengerti.

Ia memberikan identitas palsu.

“Kau punya uang berapa?” Lagi, ia bertanya.

Aku menunjukkan isi dompet berupa lembaran yang kudapat tadi malam.

“Oke. Setelah ini kita ke salon dan toko baju untuk shoping. Saya akan menalang terlebih dahulu. Kau bisa ganti uangnya setelah kau menerima gaji pertama.” Ia menawarkan.

Kurasa tawaran itu cukup menggiurkan.

“Tunggu dulu. Berapa nominal pasti yang akan saya dapatkan untuk satu tawaran?” Aku bertanya memastikan. Tidak ingin ditipu untuk yang kedua kali.

Ia menetapku serius. “Terserah. Kau bisa meminta berapa pun nominal yang kau inginkan. Bukan kami yang akan membayar. Tapi pelanggan.”

Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti. Sebelumnya ia mengatakan bahwa aku akan digaji oleh mereka. Ini sedikit membingungkan.

“Kau punya rekening?” Ia bertanya kemudian.

Aku mengangguk.

“Bagus.” Namun, menit berikutnya ia terlihat bingung sendiri. “Ah saya lupa. Sebaiknya kita ke bank untuk membuat rekening yang baru. Agar identitas aslimu tidak terbongkar. Nanti saya juga akan memberikan kartu tanda pengenalan yang palsu.” Ia berucap kemudian.

Aku semakin bingung. Untuk apa? Mengapa aku harus menggunakan identitas palsu? Apa pekerjaan ini seberbahaya itu?

“Katakan dengan jujur, apa ini berbahaya?” Aku bertanya dengan curiga. Kutatap ia dengan serius agar ia tidak bisa membohongiku.

Sejenak Sergio terdiam. Terlihat berat untuk menjawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 70. Ending

    “Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 69. Pisah

    “Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Paet 68. Ditinggal Sendiri

    “Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 67. Larissa Hamil

    Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 66. Terbakar Api Cemburu

    “Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann

  • Kembang Desa Milik Polisi Tampan   Part 65. Sesal

    Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status