Share

Part 4. Pertemuan dengan Sergio

“Bagus! Saya suka jawabanmu.” Sergio terdengar begitu semangat. Tampaknya lelaki itu memang sangat ingin agar aku bergabung sesuai dengan permintaannya.

“Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan. Ingin tahu apa yang harus dilakukan sebagai permulaan. Sebab, benar-benar belum tahu sama sekali seluk-beluk dunia seperti itu.

“Jam makan siang temui saya. Tempatnya akan saya share nanti.”

“Siap.” Aku menjawab dengan semangat. Tertular semangat lelaki itu.

Hanya itu perbincangan kami. Tidak ada bahasan tambahan. Panggilan langsung ia tutup setelahnya. Aku jadi penasaran. Tidak sabar ingin melakukan pekerjaan. Sebab, sudah terlalu lama menanti memegang lembaran banyak uang. Toh, aku hanya diminta bekerja sama. Tidak diminta untuk jual diri sungguhan. Nanti akan kupastikan benar-benar ketika bertemu saat makan siang.

Kulirik jam yang tertera di pojok kiri ponsel. Sudah pukul 09.15 pagi. Jauh terlambat jika harus berangkat kerja. Mungkin aku berhenti saja. Gajinya juga tidak mencukupi, sementara tenaga diperas habis oleh mereka. Jauh-jauh dari kampung ke Jakarta hanya bekerja sebagai cleaning service saja.

Kucari nomor pemilik kost agar bisa bernegosiasi. Setidaknya untuk hari ini saja. Aku tidak tahu harus ke mana membawa barang sebanyak ini. Mencari kost juga tidak semudah itu. Sulit mencari jika tidak dari jauh-jauh hari.

Nada sambung terdengar berbunyi setelah kutekan icon memanggil.

Hanya berselang beberapa detik panggilan langsung diterima.

“Saya tidak ingin mendengar cerita sedih kamu. Sebaiknya cepat tinggalkan kost, karena nanti sore akan ada penghuni yang baru.” Suara lantang wanita paruh baya itu langsung menyambut saat panggilan terhubung.

Ah, rupanya ia sudah tidak mempan lagi jika dibujuk dengan cara lama.

Shit! Begitu cepatnya ia mencari penyewa yang baru tanpa berbicara terlebih dahulu denganku. Aku tahu bangunan kokoh ini memang miliknya dan aku telah terlambat membayar biaya sewa. Namun, bukan berarti ia bisa bersikap seenaknya.

Sial!

“Beri saya waktu, Bu. Saya akan lunasi secepatnya. Saya ada pegang uang lima ratus ribu sekarang. Sisanya bisa saya bayar besok atau lusa.” Aku memelas, berharap agar ia iba.

Namun, sepertinya janji yang aku berikan tidak ingin ia terima. Mungkin karena terlalu sering mendapat janji palsu dariku.

“Saya sibuk, sudah, ya.” Ia langsung memutus panggilan tanpa ingin bicara lebih lama.

Arght! Ingin sekali aku berteriak. Mengeluarkan semua rasa yang selama ini mendekam di dada. Namun, rasanya suara tercekat di tenggorokan.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Harus ke mana. Harus menghubungi siapa.

Nama Sergio langsung terlintas begitu saja. Lekas kucari kembali nama lelaki itu, berharap agar ia bisa membantu.

“Ada apa? Kau melupakan sesuatu?” Ia bertanya dengan begitu santai. Seolah aku adalah teman dekat baginya.

Aku terdiam, menggigit bibir bawah. Ragu meminta bantu.

“Kau butuh bantuan?” Ia menebak dengan benar setelah aku hanya diam.

“Em, begini. Aku diusir dari kost-an, aku tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Karena ini mendadak sekali. Barang bawaanku cukup banyak.” Aku berucap dengan sungkan.

Takut dicap sebagai wanita apaan. Baru kenal sudah meminta bantuan. Merepotkan.

Terdengar lelaki itu menarik napas kasar. Aku sudah berpikir bahwa ia akan menolak.

“Share lokasimu sekarang. Mumpung tidak ada hal penting yang harus kulakukan.”

Aku menghela napas lega. Setidaknya ada harapan. Sergio juga tampaknya memang berniat membantu.

Cepat, kukirim lokasi di mana aku berada.

“Aku ke sana sekarang.” Ia berucap sebelum menutup panggilan.

Cukup lama aku menunggu di depan teras. Hingga matahari mulai naik dengan sinar yang panas.

Sebuah pesan masuk ketika aku tengah menunggu, kukira dari Sergio. Ternyata bukan.

[Kak, bapak masuk rumah sakit. Tadi jatuh dari tangga pas nukang di rumah Pak Rahmat. BPJS gak berlaku, karena sudah nunggak berbulan-bulan.] Pesan masuk dari Devan.

Aku menarik napas berat. Memang sudah saatnya Bapak berhenti bekerja. Akhir-akhir ini kesehatannya semakin memburuk. Namun, bagaimana lagi. Ada banyak perut yang harus diberi makan. Devan juga terlalu kecil jika diminta untuk bekerja. Ia masih duduk di bangku SMP. Sekolahnya lebih penting dibanding apa pun.

[Butuh uang berapa?] Aku bertanya. Sebab, sudah tahu apa maksud dari pesan itu.

[Belum tau. Bapak baru masuk ruang UGD. Tapi sepertinya kaki kanan bapak patah.]

Ya Tuhan.

Dadaku rasanya nyeri membaca pesan dari Devan. Ternyata hidup memang susah jika tidak punya uang. Jika kebutuhan tercukupi hanya dengan aku yang bekerja di kota, maka Bapak tidak akan cidera seperti itu.

Mata rasanya memanas. Merasa gagal menjadi anak karena belum bisa membahagiakan orang tua. Mereka semakin menua, tapi aku belum juga tampak jalan hidupnya.

Suara klakson mobil membuatku tersentak. Cepat, kuhapus mata yang sembab. Lalu bangkit berdiri saat kaca mobil turun dan muncul wajah lelaki yang menemuiku semalam.

Lelaki itu mematikan mesin mobil dan turun untuk menghampiri.

“Saya bisa membawamu ke tempat yang lebih mewah dari ini.” Ia berucap sembari menatap sekitar.

Tidak peduli seperti apa tempatnya. Yang terpenting bagiku sekarang memiliki tempat untuk berteduh dan istirahat dengan nyaman itu sudah lebih dari cukup.

“Siapa namamu?” Ia bertanya seraya menatapku.

Ah, aku lupa jika kami belum berkenalan sejak pertemuan itu. Aku tahu namanya karena ia memberi kartu nama.

“Dinda Olivia.” Aku menjawab dengan cepat.

Ia terdiam sejenak.

“Sekarang namamu Cindy Michaella.” Ia berucap setelah berpikir sejenak.

Kini giliranku yang diam. Mencoba untuk memahami kalimat itu. Kemudian mengangguk mengerti.

Ia memberikan identitas palsu.

“Kau punya uang berapa?” Lagi, ia bertanya.

Aku menunjukkan isi dompet berupa lembaran yang kudapat tadi malam.

“Oke. Setelah ini kita ke salon dan toko baju untuk shoping. Saya akan menalang terlebih dahulu. Kau bisa ganti uangnya setelah kau menerima gaji pertama.” Ia menawarkan.

Kurasa tawaran itu cukup menggiurkan.

“Tunggu dulu. Berapa nominal pasti yang akan saya dapatkan untuk satu tawaran?” Aku bertanya memastikan. Tidak ingin ditipu untuk yang kedua kali.

Ia menetapku serius. “Terserah. Kau bisa meminta berapa pun nominal yang kau inginkan. Bukan kami yang akan membayar. Tapi pelanggan.”

Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti. Sebelumnya ia mengatakan bahwa aku akan digaji oleh mereka. Ini sedikit membingungkan.

“Kau punya rekening?” Ia bertanya kemudian.

Aku mengangguk.

“Bagus.” Namun, menit berikutnya ia terlihat bingung sendiri. “Ah saya lupa. Sebaiknya kita ke bank untuk membuat rekening yang baru. Agar identitas aslimu tidak terbongkar. Nanti saya juga akan memberikan kartu tanda pengenalan yang palsu.” Ia berucap kemudian.

Aku semakin bingung. Untuk apa? Mengapa aku harus menggunakan identitas palsu? Apa pekerjaan ini seberbahaya itu?

“Katakan dengan jujur, apa ini berbahaya?” Aku bertanya dengan curiga. Kutatap ia dengan serius agar ia tidak bisa membohongiku.

Sejenak Sergio terdiam. Terlihat berat untuk menjawab.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status