Share

Part 3. Kerja Sama

Aku kembali bergabung bersama rombongan. Menunggu tahapan selanjutnya.

Benar kata wanita tadi, kami diminta untuk menginap di sini malam ini. Namun, tidak di dalam sel. Ada kamar khusus untuk kami tempati. Wanita dan pria dipisah. Hanya kamar kosong. Tanpa perabotan apa pun. Bahkan alas tidur pun tidak ada. Hanya ada lantai keramik tempat berbaring.

Ponsel yang berada dalam tas bergetar. Aku meraih untuk memeriksa pesan apa yang masuk. Nama Miska tertera di sana.

Anak ini!

[Katanya razia. Lu aman gak?]

Ternyata ia masih ingat denganku meskipun telah mendapatkan uang itu.

[Aman, disuruh nginap di kantor polisi.] Aku mengirimkan sebuah foto sebagai penguat bahwa aku tertangkap.

Kutunggu beberapa menit, tidak ada tanggapan sama sekali. Entah apa yang tengah ia lakukan. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang jelas, dia bukan teman yang patut untuk dipertahankan.

[Lu dimintain uang berapa?] Pesan dari Miska kembali masuk.

Tampaknya ia telah khatam masalah yang seperti ini.

[Emang lu mau bayar?] Aku memancing. Ingin tahu sebesar apa rasa pertemanan yang ia miliki.

[Ya kalau uang gue cukup, gue bakalan bantu.] Pesan balasan langsung masuk.

Tidak lagi kubalas pesan itu. Kuabaikan saja meski ia mengirim pesan berkali-kali.

Tampaknya ia memang peduli. Hanya saja ia telah tercemar pertemanan dan lingkungan yang tidak baik. Sehingga tidak tahu mana yang benar mana yang salah.

Sama sepeti diriku sebelumnya. Hanya karena uang lima ratus ribu, rela mengikuti saran yang ia berikan. Sehingga berada di tempat seperti ini sekarang.

***

Aku terbangun ketika mendengar gedoran. Para tahanan lain ikut terbangun. Entah kapan aku tertidur, aku tidak tahu. Ketika tersadar, hari sudah pagi.

Kami diminta untuk berkumpul kembali. Yang positif narkoba ditahan dan akan dirujuk untuk rehabilitasi. Sementara yang negatif, dipersilakan untuk pulang setelah menyerahkan uang yang mereka sebut dengan denda.

Ketika aku menyerahkan semua uang yang ada, mereka menolak. Aku bisa pulang tanpa membayar apa pun. Ketika kutanya mengapa, mereka tidak memberitahu apa alasannya.

Sudahlah. Tidak penting apa alasannya, yang terpenting aku bisa pulang sekarang tanpa menyerahkan uang sepeserpun.

Aku berjalan sembari memerhatikan sekitar. Tidak kutemui polisi yang menawarkanku semalam. Entah di mana dia. Ada sedikit rasa penasaran di dada.

Ketika tiba di parkiran, aku bertemu dengan Miska. Ternyata gadis itu menyempatkan waktu untuk menjemput. Ia juga membawa dua helm agar bisa memberikan boncengan.

“Lu gak kuliah?” Aku sedikit enggan untuk menjalin pertemanan kembali dengannya. Namun, melihat perhatian dan kepedulian yang ia berikan, sedikit sulit untuk menghindar dari dirinya.

“Entar habis ngantar lu pulang. Tadi gue lewat depan kost-an, barang-barang lu ada di luar.” Ia berucap dengan nada prihatin.

Ah, Miska. Aku menjadi bingung sebenarnya kamu ini tipe teman yang seperti apa? Di satu sisi kau begitu baik, tapi di sisi lain kau layaknya setan yang menjerumuskan.

“Lu masih punya uang buat bayar sewa kost gak?”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.

“Ada pegangan lima ratus ribu.” Aku menjawab niat tidak niat.

Ia meminta agar aku lekas mengenakan helm.

Kukenakan helm yang ia berikan. Setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan uang membayar ojek untuk jalan pulang.

Kali ini pertanyaan yang Miska berikan hanya kujawab dengan singkat. Ada sekat yang membuat hubungan kami tidak seerat biasanya.

Kami berasal dari kampung yang sama. Ia lebih dulu tinggal di Jakarta karena kuliah. Aku menyusul tahun berikutnya untuk mencari kerja. Nyatanya hidup di ibu kota tidak seindah yang dibayangkan. Aku menyerah. Namun, malu untuk pulang.

Sepertinya Miska tahu bahwa aku lebih banyak diam. Jadi, ia juga enggan untuk bicara banyak seperti biasanya. Sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.

“Mau gue temenin?” Miska menawarkan setelah kami tiba di depan kost.

Ia benar, semua barang-barang milikku telah berada di luar. Tentu saja, aku telah telat bayar selama dua bulan. Ia hanya minta separuh dari utang biaya sewa sebagai pemberat agar aku tetap menyewa di sana. Tadi malam adalah batas bayaran. Aku telat dari perjanjian.

“Mending lu langsung ngampus deh. Pasti udah telat.” Aku menolak tawaran Miska agar tidak merasa berhutang jasa padanya. Akan semakin sulit untuk menjauh jika aku terlalu bergantung pada gadis itu.

Ia menarik napas berat. “Hubungin gue kalau lu butuh apa-apa.” Ia meninggalkan pesan sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.

Aku menarik napas dalam. Mengempaskan pantat ke lantai keramik dekat barang-barang yang tergeletak begitu saja.

Beberapa saat hanya bisa merenungkan diri. Berpikir harus melakukan apa selanjutnya.

Mustahil jika pulang. Sebab, aku tidak punya uang untuk membeli tiket. Meminta uang pada orang tua pun, itu akan menjadi beban. Untuk makan mereka saja, aku harus mengirim dari gaji yang kusisihkan. Itulah sebabnya mengapa keuanganku tidak pernah stabil.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat.

Kurogoh saku untuk meraih ponsel agar bisa menghubungi ibu kost. Saat mengeluarkan ponsel, kartu nama yang kudapatkan tadi malam ikut serta terambil tanpa sengaja.

Sejenak, aku terdiam. Sementara otak tengah berpikir keras.

Kuperhatikan kartu nama itu. Tertera nama Sergio Adinaya. Nomor ponselnya juga tertera di sana.

Aku mulai tertarik untuk menerima tawaran itu. Toh ia tidak meminta agar aku tidur bersama para pejabat yang ia maksud. Ia hanya meminta agar kami tertangkap basah ketika tidak mengenakan pakaian. Kurasa itu tidak terlalu memalukan untuk bayaran senilai puluhan juta. Jauh berkali lipat dibanding harga keperawanan yang Miska tawarkan.

Kusalin nomor yang tertera ke dalam ponsel. Berniat untuk menghubungi. Namun, ternyata pulsa tidak mencukupi.

Kunyalakan wifi kost. Beruntungnya kata sandi wifi belum diganti, sehingga aku bisa menggunakan WA untuk menghubungi.

Nada sambung terdengar berbunyi ketika aku melakukan panggilan melalui aplikasi hijau itu. Tidak lama, panggilan langsung diterima.

“Halo ... saya wanita tadi malam yang Anda tawarkan pekerjaan.” Aku berucap sedikit ragu.

“Sudah kuduga kau akan menghubungi. Jadi, bagaimana?” Ia bertanya dengan semangat.

“Saya hanya ingin memastikan. Apa identitas saya akan terjaga jika saya bersedia? Apa saya akan mendapatkan perlindungan jika seandainya nyawa saya terancam? Atau mungkin saya akan ikut terpidana karena berada dalam satu kamar dengannya?” Aku menanyakan banyak hal.

Sergio tertawa kecil.

“Aman. Semuanya aman. Yang penting kau melakukan sesuai perintah.” Ia menegaskan. Meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, karena mereka yang meminta.

Aku terdiam untuk beberapa saat. Dilema. Di satu sisi aku tahu itu salah, tapi di sisi lain aku butuh uang.

Kutarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab. “Baiklah. Aku bersedia.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status