Aku kembali bergabung bersama rombongan. Menunggu tahapan selanjutnya.
Benar kata wanita tadi, kami diminta untuk menginap di sini malam ini. Namun, tidak di dalam sel. Ada kamar khusus untuk kami tempati. Wanita dan pria dipisah. Hanya kamar kosong. Tanpa perabotan apa pun. Bahkan alas tidur pun tidak ada. Hanya ada lantai keramik tempat berbaring.Ponsel yang berada dalam tas bergetar. Aku meraih untuk memeriksa pesan apa yang masuk. Nama Miska tertera di sana.Anak ini![Katanya razia. Lu aman gak?]Ternyata ia masih ingat denganku meskipun telah mendapatkan uang itu.[Aman, disuruh nginap di kantor polisi.] Aku mengirimkan sebuah foto sebagai penguat bahwa aku tertangkap.Kutunggu beberapa menit, tidak ada tanggapan sama sekali. Entah apa yang tengah ia lakukan. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang jelas, dia bukan teman yang patut untuk dipertahankan.[Lu dimintain uang berapa?] Pesan dari Miska kembali masuk.Tampaknya ia telah khatam masalah yang seperti ini.[Emang lu mau bayar?] Aku memancing. Ingin tahu sebesar apa rasa pertemanan yang ia miliki.[Ya kalau uang gue cukup, gue bakalan bantu.] Pesan balasan langsung masuk.Tidak lagi kubalas pesan itu. Kuabaikan saja meski ia mengirim pesan berkali-kali.Tampaknya ia memang peduli. Hanya saja ia telah tercemar pertemanan dan lingkungan yang tidak baik. Sehingga tidak tahu mana yang benar mana yang salah.Sama sepeti diriku sebelumnya. Hanya karena uang lima ratus ribu, rela mengikuti saran yang ia berikan. Sehingga berada di tempat seperti ini sekarang.***Aku terbangun ketika mendengar gedoran. Para tahanan lain ikut terbangun. Entah kapan aku tertidur, aku tidak tahu. Ketika tersadar, hari sudah pagi.Kami diminta untuk berkumpul kembali. Yang positif narkoba ditahan dan akan dirujuk untuk rehabilitasi. Sementara yang negatif, dipersilakan untuk pulang setelah menyerahkan uang yang mereka sebut dengan denda.Ketika aku menyerahkan semua uang yang ada, mereka menolak. Aku bisa pulang tanpa membayar apa pun. Ketika kutanya mengapa, mereka tidak memberitahu apa alasannya.Sudahlah. Tidak penting apa alasannya, yang terpenting aku bisa pulang sekarang tanpa menyerahkan uang sepeserpun.Aku berjalan sembari memerhatikan sekitar. Tidak kutemui polisi yang menawarkanku semalam. Entah di mana dia. Ada sedikit rasa penasaran di dada.Ketika tiba di parkiran, aku bertemu dengan Miska. Ternyata gadis itu menyempatkan waktu untuk menjemput. Ia juga membawa dua helm agar bisa memberikan boncengan.“Lu gak kuliah?” Aku sedikit enggan untuk menjalin pertemanan kembali dengannya. Namun, melihat perhatian dan kepedulian yang ia berikan, sedikit sulit untuk menghindar dari dirinya.“Entar habis ngantar lu pulang. Tadi gue lewat depan kost-an, barang-barang lu ada di luar.” Ia berucap dengan nada prihatin.Ah, Miska. Aku menjadi bingung sebenarnya kamu ini tipe teman yang seperti apa? Di satu sisi kau begitu baik, tapi di sisi lain kau layaknya setan yang menjerumuskan.“Lu masih punya uang buat bayar sewa kost gak?”Pertanyaan itu membuyarkan lamunanku.“Ada pegangan lima ratus ribu.” Aku menjawab niat tidak niat.Ia meminta agar aku lekas mengenakan helm.Kukenakan helm yang ia berikan. Setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan uang membayar ojek untuk jalan pulang.Kali ini pertanyaan yang Miska berikan hanya kujawab dengan singkat. Ada sekat yang membuat hubungan kami tidak seerat biasanya.Kami berasal dari kampung yang sama. Ia lebih dulu tinggal di Jakarta karena kuliah. Aku menyusul tahun berikutnya untuk mencari kerja. Nyatanya hidup di ibu kota tidak seindah yang dibayangkan. Aku menyerah. Namun, malu untuk pulang.Sepertinya Miska tahu bahwa aku lebih banyak diam. Jadi, ia juga enggan untuk bicara banyak seperti biasanya. Sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.“Mau gue temenin?” Miska menawarkan setelah kami tiba di depan kost.Ia benar, semua barang-barang milikku telah berada di luar. Tentu saja, aku telah telat bayar selama dua bulan. Ia hanya minta separuh dari utang biaya sewa sebagai pemberat agar aku tetap menyewa di sana. Tadi malam adalah batas bayaran. Aku telat dari perjanjian.“Mending lu langsung ngampus deh. Pasti udah telat.” Aku menolak tawaran Miska agar tidak merasa berhutang jasa padanya. Akan semakin sulit untuk menjauh jika aku terlalu bergantung pada gadis itu.Ia menarik napas berat. “Hubungin gue kalau lu butuh apa-apa.” Ia meninggalkan pesan sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi.Aku menarik napas dalam. Mengempaskan pantat ke lantai keramik dekat barang-barang yang tergeletak begitu saja.Beberapa saat hanya bisa merenungkan diri. Berpikir harus melakukan apa selanjutnya.Mustahil jika pulang. Sebab, aku tidak punya uang untuk membeli tiket. Meminta uang pada orang tua pun, itu akan menjadi beban. Untuk makan mereka saja, aku harus mengirim dari gaji yang kusisihkan. Itulah sebabnya mengapa keuanganku tidak pernah stabil.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas berat.Kurogoh saku untuk meraih ponsel agar bisa menghubungi ibu kost. Saat mengeluarkan ponsel, kartu nama yang kudapatkan tadi malam ikut serta terambil tanpa sengaja.Sejenak, aku terdiam. Sementara otak tengah berpikir keras.Kuperhatikan kartu nama itu. Tertera nama Sergio Adinaya. Nomor ponselnya juga tertera di sana.Aku mulai tertarik untuk menerima tawaran itu. Toh ia tidak meminta agar aku tidur bersama para pejabat yang ia maksud. Ia hanya meminta agar kami tertangkap basah ketika tidak mengenakan pakaian. Kurasa itu tidak terlalu memalukan untuk bayaran senilai puluhan juta. Jauh berkali lipat dibanding harga keperawanan yang Miska tawarkan.Kusalin nomor yang tertera ke dalam ponsel. Berniat untuk menghubungi. Namun, ternyata pulsa tidak mencukupi.Kunyalakan wifi kost. Beruntungnya kata sandi wifi belum diganti, sehingga aku bisa menggunakan WA untuk menghubungi.Nada sambung terdengar berbunyi ketika aku melakukan panggilan melalui aplikasi hijau itu. Tidak lama, panggilan langsung diterima.“Halo ... saya wanita tadi malam yang Anda tawarkan pekerjaan.” Aku berucap sedikit ragu.“Sudah kuduga kau akan menghubungi. Jadi, bagaimana?” Ia bertanya dengan semangat.“Saya hanya ingin memastikan. Apa identitas saya akan terjaga jika saya bersedia? Apa saya akan mendapatkan perlindungan jika seandainya nyawa saya terancam? Atau mungkin saya akan ikut terpidana karena berada dalam satu kamar dengannya?” Aku menanyakan banyak hal.Sergio tertawa kecil.“Aman. Semuanya aman. Yang penting kau melakukan sesuai perintah.” Ia menegaskan. Meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, karena mereka yang meminta.Aku terdiam untuk beberapa saat. Dilema. Di satu sisi aku tahu itu salah, tapi di sisi lain aku butuh uang.Kutarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab. “Baiklah. Aku bersedia.”“Bagus! Saya suka jawabanmu.” Sergio terdengar begitu semangat. Tampaknya lelaki itu memang sangat ingin agar aku bergabung sesuai dengan permintaannya. “Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan. Ingin tahu apa yang harus dilakukan sebagai permulaan. Sebab, benar-benar belum tahu sama sekali seluk-beluk dunia seperti itu. “Jam makan siang temui saya. Tempatnya akan saya share nanti.” “Siap.” Aku menjawab dengan semangat. Tertular semangat lelaki itu. Hanya itu perbincangan kami. Tidak ada bahasan tambahan. Panggilan langsung ia tutup setelahnya. Aku jadi penasaran. Tidak sabar ingin melakukan pekerjaan. Sebab, sudah terlalu lama menanti memegang lembaran banyak uang. Toh, aku hanya diminta bekerja sama. Tidak diminta untuk jual diri sungguhan. Nanti akan kupastikan benar-benar ketika bertemu saat makan siang. Kulirik jam yang tertera di pojok kiri ponsel. Sudah pukul 09.15 pagi. Jauh terlambat jika harus berangkat kerja. Mungkin aku berhenti saja. Gajinya juga tidak mencukupi, sem
“Mengapa kau hanya diam?” Aku mendesak agar ia lekas menjawab.“Dipikir bagaimana pun, tentu saja ini berbahaya. Kita berurusan dengan orang penting. Salah bertindak sedikit saja, nyawa taruhannya.” Ia berucap sangat serius.Ah, ternyata memang tidak ada cara yang mudah dalam mendapatkan uang. Aku yang bodoh karena menganggap ini pekerjaan yang gampang.“Tapi tenang saja. Saya yang akan betanggung jawab. Asal kamu melakukan apa yang saya minta.” Sergio berucap sangat meyakinkan.Aku semakin dilema. Entah seberapa bahayanya pekerjaan ini, yang terpenting bayarannya sangat tinggi. Aku butuh uang banyak.“Kau yakin akan selalu memihakku?” Aku bertanya memastikan.“Tentu saja.” Ia menjawab dengan cepat. Kemudian beranjak untuk membawa barang bawaan masuk ke dalam mobil.Tidak ada lagi keraguan di dalam dada. Apalagi mengingat pesan yang dikirim oleh Devan. Aku sangat butuh uang, apa pun caranya.Aku ikut masuk dan duduk di kursi depan samping kemudian setelah semua barang dimasukkan ke b
Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana. Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor. Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul. “Ini kost?” Aku bertanya memastikan. Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang. “Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil. Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya. “Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan. Aku hanya mengangguk
Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. “Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang
Sejenak kami terdiam dengan saling pandang. Ia memberikan senyum smirk yang menonjolkan kesan menyeramkan. “Kau yakin ingin menolak?” Sergio bertanya meyakinkan. Ia menatap seolah ingin menelanjangi. Tatapan itu sungguh menakutkan. Tajam, dan menusuk. Aku terdiam. Gemetar. Kali ini aku benar-benar takut melebihi apa pun. Bahkan lebih takut dibanding dengan malam terkutuk itu. Aku rasa ini benar-benar sebuah jebakan. Aku telah masuk terperangkap ke dalam lubang yang telah ia gali. Terlalu memikirkan duniawi hingga tidak memikirkan risiko yang ada. “Oke. Kau mau apa?” Aku bertanya dengan suara bergetar. Wajah lelaki itu memerah. Sejenak ia kembali terdiam. Kukira ia akan marah dan main tangan. Ternyata dugaanku lagi-lagi salah. Wajah memerah itu bukan karena menahan amarah, tapi karena menahan tawa. Tawanya pecah seketika. “Ternyata hanya sebesar itu perlawananmu. Saya pikir kau akan melakukan perlawanan yang lebih besar lagi.” Ia tidak bisa menghentikan tawa. Apa ini? Benar-ben
Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki
Setelah merasa puas, akhirnya wanita itu menghentikan aksi penyerangan. Namun, ia masih tidak henti untuk memberikan cacian dan makian. Sementara lelaki paruh baya yang tadi mendekapku, berusaha untuk menenangkan istrinya. “Dasar wanita murahan! Seenaknya menggoda suami orang!” Ia masih terdengar penuh emosi. Meski samar karena telah mendapatkan serangan, aku bisa melihat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka. Mereka tidak pantas disebut sebagai suami dan istri. Lebih cocok jika berperan sebagai bapak dan anak. Mungkin wanita itu adalah salah satu dari list istri simpanan yang disebut oleh Sergio. Kuusap hidung yang mengeluarkan cairan, kukira ingus ternyata darah. Bibir juga terasa perih. “Suami Anda yang salah, mengapa saya yang dianiaya? Anda mau saya laporin ke polisi? Ini bisa divisum sebagai bukti.” Aku mengancam karena sudah habis kesabaran. Wajah terasa sakit dan nyut-nyutan. Pandangan terasa buram. Akhirnya ia berhenti mengeluarkan makian. Wanita itu menghen
Kutatap pantulan wajah di layar kaca. Luka memar akibat pukulan beberapa hari yang lalu sudah lumayan memudar. Bibir juga tidak terlalu terasa perih lagi saat dibawa makan. Kuraih ponsel untuk melihat pesan masuk dari Sergio. Namun, nihil. Tidak ada pesan sama sekali. Video dewasa yang ia sebut dua hari lalu juga tidak ada dikirim hingga kini. Aku semakin merasa bersalah. Malam itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri. Sungguh, andai dia menolak aku tidak akan memaksa. Namun, ia malah menyambut dengan sangat baik. Memberikan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Ciuman itu masih membekas hingga kini. Bibirnya yang terasa kenyal dan basah, masih terasa hingga sekarang. Bibir itu terasa manis dan membuatku kecanduan. Aku ingin lagi. Sungguh. Namun, aku sadar bahwa itu sebuah kesalahan. Arght! Sadar, Dinda! Kutarik rambut dengan kasar agar bisa melupakan kejadian di malam itu. Dia bukan tipeku! Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan pekerjaan yang ia tawarkan. Sudah dua hari s