Share

Part 5. Dunia yang Tak Pernah Terpikirkan

“Mengapa kau hanya diam?” Aku mendesak agar ia lekas menjawab.

“Dipikir bagaimana pun, tentu saja ini berbahaya. Kita berurusan dengan orang penting. Salah bertindak sedikit saja, nyawa taruhannya.” Ia berucap sangat serius.

Ah, ternyata memang tidak ada cara yang mudah dalam mendapatkan uang. Aku yang bodoh karena menganggap ini pekerjaan yang gampang.

“Tapi tenang saja. Saya yang akan betanggung jawab. Asal kamu melakukan apa yang saya minta.” Sergio berucap sangat meyakinkan.

Aku semakin dilema. Entah seberapa bahayanya pekerjaan ini, yang terpenting bayarannya sangat tinggi. Aku butuh uang banyak.

“Kau yakin akan selalu memihakku?” Aku bertanya memastikan.

“Tentu saja.” Ia menjawab dengan cepat. Kemudian beranjak untuk membawa barang bawaan masuk ke dalam mobil.

Tidak ada lagi keraguan di dalam dada. Apalagi mengingat pesan yang dikirim oleh Devan. Aku sangat butuh uang, apa pun caranya.

Aku ikut masuk dan duduk di kursi depan samping kemudian setelah semua barang dimasukkan ke bagasi. Aroma parfum Sergio begitu enak menyapa cuping hidung. Ternyata begitu aroma parfum mahal. Aku juga menginginkanya. Mungkin akan tetap wangi tanpa harus mandi.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Pertama, ia membawaku ke salon terlebih dahulu. Meminta agar melakukan perawatan dari ujung rambut hingga ujung kuku. Sementara ia pamit pergi entah ke mana. Katanya akan kembali dalam 3-4 jam ke depan.

Aku menurut.

Pertama melakukan rangkain facial. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, hanya saja aku merasa begitu rilex di bagian wajah. Terasa begitu segar dan ringan setelah rangkaian itu selesai dilakukan.

“Mau model rambut yang seperti apa?” Seorang pekerja menawarkan sembari memberikan album berisi foto model-model rambut.

Aku berpikir dalam beberapa saat. Telah lama ingin memotong pendek seraya mewarnai pirang di bagian rambut dalam.

“Tau Lisa Black Pink?” Aku bertanya.

Wanita itu mengangguk menjawab.

“Aku ingin model rambut seperti itu. Dipotong pendek, kemudian diwarnai pirang di bagian dalamnya.” Aku menjelaskan.

Wanita muda itu mengangguk paham.

Aku tidak paham sama sekali mengenai semua perawan yang ada. Sebab, ini pertama kalinya masuk ke salon mahal. Biasanya ke salon hanya untuk memotong rambut. Itu pun jika tidak sempat untuk memotong sendiri.

Cukup lama aku berada di sana, mengikuti semua rangkaian perawatan yang ada. Sergio kembali di saat aku tengah duduk di depan kaca rias. Bersiap untuk dirias.

Lelaki itu duduk di kursi tunggu sembari memegang beberapa paperbag. Tampaknya ia habis belanja banyak. Sesekali lelaki itu melirik ke arahku. Sesekali juga melirik ke arah pergelangan tangan. Mengecek jam mungkin. Ia tampak gelisah menunggu, mungkin karena terlalu lama.

“Selesai.” Akhirnya wanita itu mengucapkan kata yang sudah kutunggu sejak tadi.

Beberapa saat aku menatap pantulan wajah di kaca. Tampak jauh berbeda dari tampilan sebelumnya. Seakan sosok yang ada di cermin itu bukan diriku.

Aku bangkit berdiri. Masih gamang melihat wajah sendiri. Cantik. Sungguh, aku tidak salah menilai. Seakan aku menemukan sosok lain dalam diriku.

“Kita harus cepat. Aku harus absen sebelum jam 4.” Lelaki itu berucap sembari menatap jam tangan.

Aku mendongak. Menatap jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 01.30 siang. Kami bahkan melewatkan jam makan siang.

“Semuanya berapa?” Sergio mendatangi kasir untuk totalan.

Aku begitu syok ketika melihat struk tagihan. Gila! Dengan apa aku akan menggantinya?

Sergio mengeluarkan sebuah kartu, hanya dengan sekali menggesek, semua tagihan telah dibayar. Aku juga ingin memiliki kartu seperti itu.

“Ini untukmu. Kau harus belajar dalam fashion agar terlihat menarik. Belajar pose-pose nakal.” Sergio berucap seraya menyerahkan empat paperbag untukku.

Dengan langkah cepat, lelaki itu masuk ke mobil. Aku mengikuti. Ia terlihat sangat buru-buru. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi setelahnya.

“Berapa saya harus membayar ini semua?”

Setelah beberapa saat memendam, akhirnya pertanyaan itu terucap juga. Aku sungguh ingin tahu semua baju ini dibeli dengan nominal berapa. Sebab, hanya dengan dilihat sekilas, ini barang mahal.

Sergio memberikan dua struk sebagai jawaban. Sementara ia tetap fokus pada jalanan.

Aku tertawa terbahak setelah menerima struk itu. Ini benar-benar membuatku gila.

Total dari dua struk itu 235 juta.

Seumur hidup, nominal paling banyak kupegang hanyalah 2,5 juta. Itu pun saat gajian.

“Bagaimana jika saya tidak bisa membayar?” Aku bertanya hampir gila.

Uang kost saja tidak bisa kulunasi, apalagi tagihan sebanyak ini.

Sergio menoleh sekilas. Kemudian menerbitkan senyum smirk.

“Ini bukan apa-apa jika kau berhasil dalam bekerja. Sebulan juga akan balik modal.” Ia terlihat begitu santai dalam berucap. Seolah sudah berpengalaman dalam hal yang seperti ini.

Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk merenung.

Benar juga. Jika tidak balik modal, Sergio tidak akan ingin keluar uang sebanyak itu. Ia mau, karena ia tahu uangnya akan kembali. Mungkin juga ia akan mendapatkan komisi yang lebih banyak dari ini.

Entahlah. Aku masih belum mengerti.

Mobil berbelok ke sebuah restoran. Melambat, kemudian berhenti ketika mendapatkan tempat parkir.

“Kamu tunggu di sini. Saya akan pesan makanan untuk dibungkus pulang.” Sergio berpesan dan segera turun dari mobil.

Aku hanya bisa menurut. Menunggu di dalam tanpa protes sama sekali.

Kukeluarkan isi paperbag untuk melihat model yang dibeli oleh Sergio.

Luar biasa!

Aku bahkan tidak pernah bermimpi bisa membeli barang branded seperti itu. Beberapa potong sama dengan model baju yang biasa dipakai oleh para selebgram.

Aku tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata penuh takjub. Ini luar biasa. Hidup yang ditawarkan oleh Sergio adalah hidup yang tidak berani kuimpikan selama ini.

“Kamera ponselmu bagus?”

Pertanyaan Sergio mengejutkanku.

Aku tidak sadar ketika ia kembali dari restoran. Sebab, terlalu fokus pada barang yang ada di tangan.

“Kenapa?” Aku balik bertanya.

“Seperti yang saya bilang sebelumnya, kau harus mengambil foto dengan pose nakal. Nanti kau unggah di I*******m. Saya akan bantu agar akunmu naik. Semakin banyak followers-mu, akan semakin tinggi nominal yang bisa kau tawarkan.”

Aku menyipitkan mata. Bingung.

“Jadi, seleranya bukan gadis biasa?” Aku bertanya memastikan.

Sergio tertawa kecil. “Dunia mereka tidak seperti yang kau bayangkan. Bisa tidur dengan artis atau selebgram adalah hal yang bisa mereka banggakan. Seolah sebuah pencapaian. Semakin banyak koleksi, semakin besar rasa bangga yang mereka dapatkan. Bukan hanya pejabat saja, ada banyak para pengusaha juga.” Sergio menjelaskan.

Aku manggut-manggut mengerti.

“Tapi ingat, kau tidak boleh berkhianat. Dunia yang mereka tawarkan akan jauh lebih indah dari dunia yang aku tawarkan.” Sergio mengingatkan.

Aku hanya mengangguk sebagai persetujuan. Sangat yakin bahwa tidak akan pernah terjatuh ke dunia yang seperti itu. Aku berjanji. Sebab, aku ingin menjaga kehormatan untuk suamiku kelak. Entahlah. Semoga saja aku bisa menjaganya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status