Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki
Setelah merasa puas, akhirnya wanita itu menghentikan aksi penyerangan. Namun, ia masih tidak henti untuk memberikan cacian dan makian. Sementara lelaki paruh baya yang tadi mendekapku, berusaha untuk menenangkan istrinya. “Dasar wanita murahan! Seenaknya menggoda suami orang!” Ia masih terdengar penuh emosi. Meski samar karena telah mendapatkan serangan, aku bisa melihat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka. Mereka tidak pantas disebut sebagai suami dan istri. Lebih cocok jika berperan sebagai bapak dan anak. Mungkin wanita itu adalah salah satu dari list istri simpanan yang disebut oleh Sergio. Kuusap hidung yang mengeluarkan cairan, kukira ingus ternyata darah. Bibir juga terasa perih. “Suami Anda yang salah, mengapa saya yang dianiaya? Anda mau saya laporin ke polisi? Ini bisa divisum sebagai bukti.” Aku mengancam karena sudah habis kesabaran. Wajah terasa sakit dan nyut-nyutan. Pandangan terasa buram. Akhirnya ia berhenti mengeluarkan makian. Wanita itu menghen
Kutatap pantulan wajah di layar kaca. Luka memar akibat pukulan beberapa hari yang lalu sudah lumayan memudar. Bibir juga tidak terlalu terasa perih lagi saat dibawa makan. Kuraih ponsel untuk melihat pesan masuk dari Sergio. Namun, nihil. Tidak ada pesan sama sekali. Video dewasa yang ia sebut dua hari lalu juga tidak ada dikirim hingga kini. Aku semakin merasa bersalah. Malam itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri. Sungguh, andai dia menolak aku tidak akan memaksa. Namun, ia malah menyambut dengan sangat baik. Memberikan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Ciuman itu masih membekas hingga kini. Bibirnya yang terasa kenyal dan basah, masih terasa hingga sekarang. Bibir itu terasa manis dan membuatku kecanduan. Aku ingin lagi. Sungguh. Namun, aku sadar bahwa itu sebuah kesalahan. Arght! Sadar, Dinda! Kutarik rambut dengan kasar agar bisa melupakan kejadian di malam itu. Dia bukan tipeku! Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan pekerjaan yang ia tawarkan. Sudah dua hari s
Sergio menawarkan untuk mencoba soup yang sudah kumasak. Istri dan anaknya setuju meskipun mereka telah sarapan sebelum ke sini. Aku dibuat kerepotan untuk menghidangkan soup tanpa nasi. Bukan, bukan menghidangkan makanannya yang membuatku menjadi kerepotan. Namun, jantung yang hingga kini tidak bisa berdetak dengan normal. Berada di tengah-tengah mereka sungguh membuatku tersiksa. Apalagi Sergio menunjukkan rasa cintanya pada sang istri dengan melimpahkan perhatian. Ada api yang terasa terpantik di dada ketika melihat kemesraan mereka. Sergio memberikan istrinya suapan, sebab wanita itu sibuk mengurus bayinya. Aku hanya bisa menggigit sendok menyaksikan itu semua. Mereka suami istri, Dinda! Kau tidak pantas cemburu seperti ini! Aku memaki diri sendiri. “Bibirmu masih terasa sakit?” Sergio bertanya ketika melihat aku hanya menggigit ujung sendok. Cepat, aku menggeleng dan menunduk. Rasanya ada aliran aneh ketika ia menyebut kata bibir. Adegan di malam itu kembali terputar denga
Mobil melambat dan berhenti ketika kami tiba di gedung mewah milik Sergio. Clayton mematikan mobil, tapi tidak langsung membuka kunci pintu. Ia menahanku sejenak di dalam. “Putuskan sekarang, kau punya dua pilihan. Uang 1 miliar atau kau akan pergi dari sini tanpa membawa apa-apa nantinya.” Lelaki itu sangat ingin aku pergi. Entah kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga ia bisa membenciku sedalam itu. Aku menarik napas dalam. Pilihannya memang sulit, tapi aku sudah memutuskan untuk tidak akan pernah pergi dari sini kecuali atas kemauanku sendiri. Aku ingin berlama-lama menikmati kehidupan mewah bersama bayang-bayang Sergio. “Aku tidak akan pergi. Terserah kau ingin berbuat apa, yang pasti aku akan tetap tinggal di sini.” Aku menjawab dengan tegas. Berharap ia akan mengerti. Jika aku menjelaskan rencana yang tengah kami susun, mungkin Clayton tidak akan mengerti. Lagipula ia akan semakin memandang rendah jika tahu pekerjaan yang ditawarkan oleh Sergio. Setelah beberapa saat, akh
Aku bergegas menuju kamar. Jantung kini sudah tidak dapat lagi dikendalikan. Setiap degup bahkan bisa kudengar. Kututup pintu sedikit kasar. Lalu, menghempaskan diri ke ranjang. Bayangan wajah Sergio kembali memenuhi pikiran. Senyumnya, tatapannya, tawanya, semua hal tentang dia mengambil alih otakku. Ia telah menyabotase pikiran agar aku tidak bisa memikirkan hal apa pun selain dirinya. Arght! Kutarik rambut dengan kedua tangan sedikit kasar. Setidaknya tindakan itu mampu mengurangi sedikit rasa sakit di kepala. Rasa sakit yang tadi hanya pura-pura saja, kini terasa nyata. Penyebabnya tentu saja Sergio. Aku begitu pusing memikirkan dirinya. Mengapa ada sosok lelaki seperti dirinya?Kau kenapa, Dinda?! Aku ingin berteriak sekuat tenaga, tapi keinginan itu kuurungkan karena akan memancing pusat perhatian. Namun, sungguh. Saat ini aku benar-benar gila karena lelaki itu. Aku tidak bisa berkata-kata.Tidak ada yang bisa kulakukan selain memejamkan mata. Berharap bayangan Sergio akan m
Terdengar ketukan di pintu kamar berkali-kali. Sore ini Sergio telah membuat janji untuk melakukan pemotretan kembali. Seperti yang sudah ia katakan semalam. Dengan malas, aku berjalan untuk membukakan. Sosok lelaki berhidung mancung itu menyambut di balik pintu ketika daun pintu terbuka. Ia tersenyum, memamerkan barisan gigi yang putih juga rapi. Senyum itu semakin hari semakin terlihat manis. “Kenapa pesanku tidak dibalas?” Sergio protes setelah pesan yang ia kirim berkali-kali hanya kubaca, tidak berniat untuk membalasnya sama sekali. Hingga detik ini aku masih belum bisa percaya jika ia bisa berbuat sejahat itu. Kupikir ia berbeda dengan lelaki lainnya. Ternyata sama saja. Memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan. Lelaki itu masuk dan menutup pintu setelah aku beranjak menuju ranjang. Ia mengekor, berjalan mengikutiku seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku memasang wajah tidak suka ketika ia menatap. Memberikan penegasan bahwa aku membenci sikapnya yang pe
Aku menghabiskan sisa sore di rooftoop. Hingga cahaya keungunan di kejauhan sana berubah menjadi gelap. Aroma tubuh Sergio masih tertinggal di tempat tadi ia duduk. Ia memakai parfum dengan ketahanan yang lama. “Kau sudah saya beri peringatan berkali-kali. Jangan menyesal di kemudian hari.” Suara berat Clayton terdengar menyapa telinga.Anak itu lagi! Apa dia tidak bosan ikut campur masalah hidupku? Aku tidak menanggapi. Ia mengambil posisi duduk di tempat di mana tadi Sergio duduk. Tatapan mereka hampir sama, mematikan. Aku membuang muka dengan menatap ke arah luar. Malam ini tidak ada bintang sama sekali di langit sana. “Sergio jarang ke sini. Biasanya dia ke sini hanya hari Minggu setelah ibadah di gereja. Atau ketika ada penyewa yang baru.” Lelaki itu berucap tanpa kuminta. Aku tetap diam. Tidak ingin diganggu sekarang. Sebab, hatiku masih kacau karena ulah Sergio. “Sudah berapa lama kalian berhubungan?” Lagi, Clayton masih membahas masalah itu.Aduh. Tolonglah, siapa pun tol