Share

Part 7. Bapak Beranak Tiga

Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. 

“Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. 

Waw? Realy? Tiga orang anak? 

Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. 

“Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. 

Sialan! 

Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. 

“Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. 

Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. 

Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang dalam waktu dekat. 

Aku jadi takut pada Sergio. Ia menawarkan banyak kemewahan. Aku takut jika nanti semua ini akan dibayar dengan tubuhku jika aku tidak berhasil melakukan pekerjaan. 

“Kau mencintai istrimu?” Aku bertanya hal tidak perlu. Hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkan.

Sergio tertawa tipis. Memperlihatkan kerutan di ujung mata ketika ia menatapku setengah tertawa. Sungguh, ia sangat manis.  

“Tenang saja. Saya tidak tertarik padamu.” Ia menjawab keresahan di hati. 

Ada kelegaan di dalam dada ketika ia berucap demikian. Setidaknya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. 

Lelaki berkulit kuning langsat itu kembali memandu ke kamar. Ia meminta agar aku duduk di tengah ranjang. Ingin melakukan pemotretan.

“Coba pose sedikit ngangkang. Terus kepalanya mendongak.” Ia memberikan arahan. 

Shit! 

Aku mengutuk dalam hati. Namun, tetap melakukan apa yang ia minta. 

Kudengar decakan halus dari lelaki itu setelah mengambil beberapa gambar melalui ponselnya. Sepertinya ia tidak puas atas hasil yang ia dapatkan. 

Sergio mengeluarkan isi paperbag. Kemudian memilih setelan yang paling minim. 

“Coba pakai ini!” Sergio memberikan sebuah lingerie berwarna hitam. 

“Ini bukan pemotretan majalah dewasa, bukan?” Aku protes. 

Ia terdiam sejenak. Kembali memilih setelan yang menurutnya pantas. 

Ia menyerahkan gaun mini berwarna merah menyala. Tali gaun itu lebih kecil dibanding jari kelingking. Jika diperkirakan, panjang gaun itu bahkan berada satu jengkal di bawah pangkal paha. Rata-rata semua kostum yang ia belikan tampak sangat minim dan terbuka. 

“Ini akan memudahkanmu untuk mendapatkan followers.” Sergio menjelaskan. Sesekali ia melirik pergelangan tangan. Tampak mengejar waktu, sebab ia harus kembali ke kantor sebelum jam empat agar tidak terlambat ketika mengisi absen. 

Aku pasrah. Mengikuti apa yang ia inginkan. Yang terpenting sekarang adalah uang. Bagaimana pun caranya. 

Aku turun dari ranjang, beranjak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Menit berikutnya kembali keluar setelah gaun itu melekat di badan. 

“Coba berbaring.” Ia memberikan instruksi. 

Aku terus menuruti meskipun merasa risih, sebab pakaian terlalu minim dan ada dia di sini. Aku diminta tengkurap, kemudian melipat kedua kaki ke belakang. Kedua telapak tangan memangku wajah. Tersenyum menghadap  kamera. 

Dia sangat ahli dalam memberikan pose. 

Setelah mengambil beberapa gambar dengan pose-pose berbeda. Akhirnya ia mengatakan cukup. Aku menarik napas lega. 

“Akan saya buatkan akun baru dengan nama yang baru.” Sergio berucap seraya mengambil posisi duduk di tepian ranjang.

Aku bangun untuk merangkak, lalu mengambil posisi duduk di samping Sergio. Memerhatikan apa yang tengah ia lakukan. 

Lelaki itu tampak begitu serius. Ia mengupload fotoku dengan menandai seseakun yang tidak kukenal setelah ia membuat aku baru dengan nama Cindy Michaella.

“Kita butuh foto profil yang sedikit menantang.”  Sergio menoleh, menatapku. 

Aku membalas tatapanya. Kurang menantang apa lagi semua foto yang sudah kami ambil? 

Pergerakan Sergio begitu cepat. Aku sangat terkejut ketika ia dengan cepat menurunkan tali gaun yang kukenakan. 

“Jangan macam-macam kamu!” Aku memberikan perlawanan dengan menunjuk wajahnya.

“Ayolah. Kita harus cepat.” Sergio kembali melirik pergelangan tangan. 

“Kau sudah berjanji tidak akan melakukan apa pun.” Aku memperingatkan. 

“Apa? Saya hanya ingin memotret.” Ia tampak nyolot dalam menjawab. 

“Kenapa tali gaun saya dipelorotkan?” Aku masih tidak terima. 

“Agar hasilnya tampak lebih menantang.” Ia menjawab dengan raut wajah kesal. “Kau sebenarnya menginginkan pekerjaan ini atau tidak?” Ia bertanya memastikan. 

Tentu saja aku ingin. Jika tidak berminat sama sekali, tidak mungkin aku berada di dalam kamar ini. 

Aku mengangguk lembut sebagai jawaban. 

“Ya sudah, jangan melawan.” Ia tampak benar-benar kesal. 

Akhirnya aku hanya bisa menurut. Kedua tali gaunku dipeloroti. Hingga gaun itu ingin terlepas dari badan. 

“Tahan gaunnya dengan kedua tangan di dada.” Sergio memberikan perintah. 

Kulakukan apa pun yang ia inginkan. Kedua tali gaun jatuh hingga lengan. 

“Buka bramu. Itu sangat mengganggu.” 

What! Yang benar saja? 

Aku terdiam beberapa saat. Kurasa ini sudah sangat keterlaluan. Ini sama saja aku hendak dijual dengan menawarkan foto-foto mesum. Apa dia sebenarnya seorang mucikari yang tengah menyamar? 

“Apa butuh bantuan saya?” Sergio hendak menyentuhku. Namun, segera kutepis tangannya dan langsung menuruti apa yang ia inginkan. Melepas penyangga dada di hadapannya hingga separuh dari bulatan buah dadaku terpampang dengan jelas karena gaun yang melorot.

“Bagus.” Ia tersenyum seraya kembali mengambil gambar. 

Namun, setelah beberapa kali pemotretan, tetap saja ia tampak kurang puas dengan hasilnya. 

“Kau perlu banyak belajar. Nanti akan saya kirim video dan foto-foto agar kau bisa paham.” Sergio tampak sangat kurang puas. 

Aku hanya mengangguk mengiyakan. 

“Satu foto lagi.” Sergio kembali ingin melanjutkan pemotretan. 

Aku menarik napas dalam. Merasa sangat tertekan. 

Lelaki itu menata rambutku agar terlihat sedikit acak-acakan tapi tetap terkesan menarik. Kemudian membenarkan tali gaun kembali pada tempatnya.

“Taruh kedua tangan di telinga. Seperti ini.” Sergio memperagakan. 

Lagi, aku hanya bisa menuruti.

Ia berdecak kesal setelah mengambil gambar.  

“Kau pernah ho*ny” 

Pertanyaan itu membuatku terbelalak. Kurasa ini sudah tidak benar. Bagaimana mungkin ini sebuah pekerjaan yang legal, sementara ia telah menyebar pornografi di I*******m.

Lagipula, aku wanita normal. Setiap akan datang bulan, nafsu akan berada di puncak paling tinggi. Setiap orang normal akan merasakan itu. Pasti. 

“Saya ingin mengambil gambar yang menunjukkan put*ngmu yang mengeras di balik gaun.” Ia berucap tanpa filter sama sekali. Langsung bicara blak-blakan. 

Aku tertawa miris. Semakin merasa curiga bahwa ada motif lain di balik semua ini. Mungkin saja ia benar-benar hendak menjualku. Semua tawaran yang  ia berikan hanyalah sebuah jebakan. Ia memberikan apa yang aku butuhkan agar aku terikat dengannya karena memiliki hutang. 

“Bagaimana jika saya menolak?” Aku menatap dengan tajam, menantang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status