Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku.
“Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang dalam waktu dekat. Aku jadi takut pada Sergio. Ia menawarkan banyak kemewahan. Aku takut jika nanti semua ini akan dibayar dengan tubuhku jika aku tidak berhasil melakukan pekerjaan. “Kau mencintai istrimu?” Aku bertanya hal tidak perlu. Hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan melakukan hal yang tidak diinginkan.Sergio tertawa tipis. Memperlihatkan kerutan di ujung mata ketika ia menatapku setengah tertawa. Sungguh, ia sangat manis. “Tenang saja. Saya tidak tertarik padamu.” Ia menjawab keresahan di hati. Ada kelegaan di dalam dada ketika ia berucap demikian. Setidaknya tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Lelaki berkulit kuning langsat itu kembali memandu ke kamar. Ia meminta agar aku duduk di tengah ranjang. Ingin melakukan pemotretan.“Coba pose sedikit ngangkang. Terus kepalanya mendongak.” Ia memberikan arahan. Shit! Aku mengutuk dalam hati. Namun, tetap melakukan apa yang ia minta. Kudengar decakan halus dari lelaki itu setelah mengambil beberapa gambar melalui ponselnya. Sepertinya ia tidak puas atas hasil yang ia dapatkan. Sergio mengeluarkan isi paperbag. Kemudian memilih setelan yang paling minim. “Coba pakai ini!” Sergio memberikan sebuah lingerie berwarna hitam. “Ini bukan pemotretan majalah dewasa, bukan?” Aku protes. Ia terdiam sejenak. Kembali memilih setelan yang menurutnya pantas. Ia menyerahkan gaun mini berwarna merah menyala. Tali gaun itu lebih kecil dibanding jari kelingking. Jika diperkirakan, panjang gaun itu bahkan berada satu jengkal di bawah pangkal paha. Rata-rata semua kostum yang ia belikan tampak sangat minim dan terbuka. “Ini akan memudahkanmu untuk mendapatkan followers.” Sergio menjelaskan. Sesekali ia melirik pergelangan tangan. Tampak mengejar waktu, sebab ia harus kembali ke kantor sebelum jam empat agar tidak terlambat ketika mengisi absen. Aku pasrah. Mengikuti apa yang ia inginkan. Yang terpenting sekarang adalah uang. Bagaimana pun caranya. Aku turun dari ranjang, beranjak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Menit berikutnya kembali keluar setelah gaun itu melekat di badan. “Coba berbaring.” Ia memberikan instruksi. Aku terus menuruti meskipun merasa risih, sebab pakaian terlalu minim dan ada dia di sini. Aku diminta tengkurap, kemudian melipat kedua kaki ke belakang. Kedua telapak tangan memangku wajah. Tersenyum menghadap kamera. Dia sangat ahli dalam memberikan pose. Setelah mengambil beberapa gambar dengan pose-pose berbeda. Akhirnya ia mengatakan cukup. Aku menarik napas lega. “Akan saya buatkan akun baru dengan nama yang baru.” Sergio berucap seraya mengambil posisi duduk di tepian ranjang.Aku bangun untuk merangkak, lalu mengambil posisi duduk di samping Sergio. Memerhatikan apa yang tengah ia lakukan. Lelaki itu tampak begitu serius. Ia mengupload fotoku dengan menandai seseakun yang tidak kukenal setelah ia membuat aku baru dengan nama Cindy Michaella.“Kita butuh foto profil yang sedikit menantang.” Sergio menoleh, menatapku. Aku membalas tatapanya. Kurang menantang apa lagi semua foto yang sudah kami ambil? Pergerakan Sergio begitu cepat. Aku sangat terkejut ketika ia dengan cepat menurunkan tali gaun yang kukenakan. “Jangan macam-macam kamu!” Aku memberikan perlawanan dengan menunjuk wajahnya.“Ayolah. Kita harus cepat.” Sergio kembali melirik pergelangan tangan. “Kau sudah berjanji tidak akan melakukan apa pun.” Aku memperingatkan. “Apa? Saya hanya ingin memotret.” Ia tampak nyolot dalam menjawab. “Kenapa tali gaun saya dipelorotkan?” Aku masih tidak terima. “Agar hasilnya tampak lebih menantang.” Ia menjawab dengan raut wajah kesal. “Kau sebenarnya menginginkan pekerjaan ini atau tidak?” Ia bertanya memastikan. Tentu saja aku ingin. Jika tidak berminat sama sekali, tidak mungkin aku berada di dalam kamar ini. Aku mengangguk lembut sebagai jawaban. “Ya sudah, jangan melawan.” Ia tampak benar-benar kesal. Akhirnya aku hanya bisa menurut. Kedua tali gaunku dipeloroti. Hingga gaun itu ingin terlepas dari badan. “Tahan gaunnya dengan kedua tangan di dada.” Sergio memberikan perintah. Kulakukan apa pun yang ia inginkan. Kedua tali gaun jatuh hingga lengan. “Buka bramu. Itu sangat mengganggu.” What! Yang benar saja? Aku terdiam beberapa saat. Kurasa ini sudah sangat keterlaluan. Ini sama saja aku hendak dijual dengan menawarkan foto-foto mesum. Apa dia sebenarnya seorang mucikari yang tengah menyamar? “Apa butuh bantuan saya?” Sergio hendak menyentuhku. Namun, segera kutepis tangannya dan langsung menuruti apa yang ia inginkan. Melepas penyangga dada di hadapannya hingga separuh dari bulatan buah dadaku terpampang dengan jelas karena gaun yang melorot.“Bagus.” Ia tersenyum seraya kembali mengambil gambar. Namun, setelah beberapa kali pemotretan, tetap saja ia tampak kurang puas dengan hasilnya. “Kau perlu banyak belajar. Nanti akan saya kirim video dan foto-foto agar kau bisa paham.” Sergio tampak sangat kurang puas. Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Satu foto lagi.” Sergio kembali ingin melanjutkan pemotretan. Aku menarik napas dalam. Merasa sangat tertekan. Lelaki itu menata rambutku agar terlihat sedikit acak-acakan tapi tetap terkesan menarik. Kemudian membenarkan tali gaun kembali pada tempatnya.“Taruh kedua tangan di telinga. Seperti ini.” Sergio memperagakan. Lagi, aku hanya bisa menuruti.Ia berdecak kesal setelah mengambil gambar. “Kau pernah ho*ny” Pertanyaan itu membuatku terbelalak. Kurasa ini sudah tidak benar. Bagaimana mungkin ini sebuah pekerjaan yang legal, sementara ia telah menyebar pornografi di I*******m.Lagipula, aku wanita normal. Setiap akan datang bulan, nafsu akan berada di puncak paling tinggi. Setiap orang normal akan merasakan itu. Pasti. “Saya ingin mengambil gambar yang menunjukkan put*ngmu yang mengeras di balik gaun.” Ia berucap tanpa filter sama sekali. Langsung bicara blak-blakan. Aku tertawa miris. Semakin merasa curiga bahwa ada motif lain di balik semua ini. Mungkin saja ia benar-benar hendak menjualku. Semua tawaran yang ia berikan hanyalah sebuah jebakan. Ia memberikan apa yang aku butuhkan agar aku terikat dengannya karena memiliki hutang. “Bagaimana jika saya menolak?” Aku menatap dengan tajam, menantang.“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe